Panduan Memahami Plus-Minus Revisi UU Terorisme yang Baru Saja Disahkan DPR
Polisi anggota satuan antiteror Densus 88 mengikuti latihan pembebasan sandera sipil di Teluk Benoa, Bali. Foto oleh Nyoman Budhian/Antara Foto/via Reuters.

FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Panduan Memahami Plus-Minus Revisi UU Terorisme yang Baru Saja Disahkan DPR

Kami rangkum poin-poin penting buat Anda.

Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Terorisme akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada rapat paripurna yang digelar Jumat 25 Mei siang tadi, anggota dewan mensahkan aturan yang telah dibahas sejak 2016 itu. Ada banyak ketentuan baru yang tercantum dalam Undang-undang ini, salah satunya tentang keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme. UU Terorisme sementara menutup perdebatan perihal keterlibatan militer dalam menghadapi teroris. Militer kini sah ikut andil mengatasi terorisme, kendati detail mekanismenya masih harus dirinci lewat Peraturan Presiden. Hal baru lain, yang menuai apresiasi dari kalangan pegiat hak asasi, adalah soal perlindungan korban. Undang-undang Terorisme tegas menyatakan bahwa korban merupakan tanggung jawab negara. Pelaku pun diwajibkan mengganti kerugian korban jika tak mau dihukum lebih berat.
Kami merangkum beberapa poin penting yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk anda simak:

Iklan

Definisi Terorisme

Sejauh apa suatu penyerangan dikatakan sebagai aksi terorisme? Bagaimana caranya membedakan aksi terorisme dengan, misalnya, unjuk rasa yang digelar oposisi pemerintah? Bagimana jika aksi oposisi berlangsung damai? Atau sebaliknya, berujung jadi huru-hara yang mengganggu keamanan negara, apakah jadi aksi terorisme juga? Persoalan definisi terorisme jadi salah momok yang membuat pembahasan RUU Terorisme jadi alot hingga tak kunjung disahkan walau sudah dibahas sejak 2016. Jumat 25 Mei pagi tadi, setelah melalui berbagai proses lobi dan dengar pendapat, DPR akhirnya sepakat menetapkan definisi tindak pidana terorisme. Pasal 1 UU baru itu menyebut terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Adalah frasa “dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan” yang lama diperdebatkan anggota dewan. Bahkan PDI Perjuangan sekalipun, yang notabene adalah partainya pemerintah, dua hari sebelum disahkan masih tak setuju dengan adanya frasa ‘motif keamanan’ dalam definisi karena membuka peluang keterlibatan tentara dalam menangani terorisme. Peneliti Amnesty International Papang Hidayat menyatakan frasa itu bersifat luas sehingga berpotensi kabur. Pasal-pasal yang sifatnya seperti itu, kata Papang, bisa jadi ancaman terhadap kebebasan sipil. “ketika ada modifikasi yang terlalu kita anggap kabur dan luas punya implikasi yang mematikan buat kebebasan sipil.”

Iklan

Melibatkan TNI Untuk Hadapi Teroris

Tarik ulur pasal keterlibatan TNI dalam menangani terorisme berakhir sudah. Keputusannya, bermodalkan tiga pasal dalam UU Terorisme, militer diperkenankan turut campur mengatasi aksi terorisme. Pasal ini bisa dibilang poin yang paling panas dibahas. Bahkan dua hari sebelum paripurna DPR, tiga partai pendukung pemerintah, termasuk PDI Perjuangan, sempat menolak keterlibatan TNI.

Lalu apa sebenarnya motif pemerintah memberi karpet merah pada militer? Apa pula motif TNI ingin terlibat dalam penanganan teroris? Peneliti Imparsial Bhatara Ibnu Reza tak percaya jika keterlibatan TNI dalam hal ini murni motif pemerintah. Pemerintahan Joko Widodo hanya mengafirmasi saja permintaan tentara. Afirmasi itu kemudian berkembang jadi niat mendorong TNI terlibat. “Ini benar-benar kesempatan yang digunakan tentara untuk membuktikan pernyataan ‘seharusnya kami ikut’ itu benar, dan elit politik dalam hal ini setuju apalagi presiden.” TNI, kata dia, berusaha sekali menunjukkan bahwa mereka juga mampu mengatasi terorisme. Dan mereka sudah berupaya membuktikannya bahkan sebelum ada payung hukum berupa Undang-Undang, salah satunya lewat operasi Tinambola di Sulawesi 2016 lalu, di mana aparat sukses memberangus gembong teroris Santoso beserta pengikut-pengikutnya.
Kapan Semestinya TNI Dilibatkan? Yang jadi masalah menurut Bhatara adalah soal keberlangsungan keterlibatan TNI. Membaca situasi yang ada, ia melihat ada keinginan untuk melibatakan TNI secara permanen. Betul memang mereka bisa terlibat dalam operasi militer selain perang, tapi semestinya sifatnya sementara saja. Itu pun harus berada di bawah kendali polisi karena pemberantasan teroris konteksnya adalah penegakkan hukum yang membutuhkan kemampuan dan wewenang untuk menyelidik dan menyidik, bukan perang.

Iklan

Kecuali, kata Bhatara, jika ada satu lokasi yang diduduki secara masif oleh teroris seperti yang terjadi di Marawi, Filipina. “Itu tidak perlu UU baru, karena negara dalam keadaan bahaya. Tinggal dideklarasikan saja negara dalam keadaan bahaya, tentara bisa masuk,” ujarnya.

Pada intinya keterlibatan tentara mestilah jadi keputusan politik yang dicetuskan oleh Presiden. Jika pimpinan negara sudah setuju, barulah tentara bisa aktif bergerak. “Tentara enggak boleh mengaktifkan dirinya sendiri,” kata Bhatara.

Penahanan Teroris dan Penghapusan Pasal Guantanamo

Draf awal semula memuat ketentuan bahwa tersangka teroris bisa ditahan sebagai tersangka sampai 300 hari lamanya. Saking lamanya sampai-sampai pasal ini dijuluki pasal Guantanamo, merujuk pada penjara militer di AS tempat Amerika menahan banyak terduga teroris. Ini belum termasuk penahanan sebagai terdakwa yang bisa mencapai 270 hari lamanya. Jadi kalau ditotal masa penahanan bisa mencapai 570 hari alias lebih dari satu setengah tahun. Di beleid yang baru saja disahkan, masa penahanan sebagai tersangka dan terdakwa dipangkas masing-masing jadi 200 hari dan 90 hari. Angka ini lebih lama tiga bulan jika dibandingkan ketentuan pidana umum yang diterapkan pada penjahat pada umumnya seperti pencuri, pembunuh, pemerkosa, dan juga koruptor.

Polisi yang Langgar HAM Teroris Bisa Dipidana

Polisi jadi target serangan teroris sama sekali bukan hal baru. Laporan dari Tirto menyebut sudah sejak 2010 polisi jadi sasaran serangan. Faktor dendam berperan besar dalam hal itu. “Karena polisi paling banyak menangkap, memenjarakan, membunuh teman-teman (teroris). Sehingga kemudian mereka melakukan semacam balas dendam,” kata Ridwan Habibi, peneliti terorisme dari Universitas Indonesia sebagaimana dikutip Tirto. Tak banyak yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik ruang penyidikan, apakah aparat sepenuhnya menghargai hak asasi -bahkan hak seorang teroris sekalipun- atau sebaliknya, menerapkan banyak metode penyiksaan untuk menguak informasi. Menggunakan kekerasan dalam rangka mengungkap kasus bisa jadi jalan pintas yang memudahkan pekerjaan aparat. Tapi jika cara itu ternyata menyuburkan dendam, yang kemudian mengakibatkan lebih banyak polisi mati diserang teroris di kemudian hari, kekerasan itu, menurut peneliti Imparsial Evitarossi Budiawan, sebenar-benarnya kontraproduktif. “Itu kontraproduktif. Kalau misalnya elo ngebunuh satu sel dan muncul 10 sel yang baru,” kata Evitarossi alias Eva. Itulah sebabnya Eva mengapresiasi keberadaan butir-butir pasal yang mengharuskan kepolisian menjunjung tinggi prinsip HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Bahkan ada satu butir yang khusus menyebut penyidik bisa dipidana jika tak melindungi HAM teroris.

Restitusi = Pelaku Teror Mesti Ganti Kerugian Korban

Undang-undang Terorisme mewajibkan pelaku teror mengganti kerugian yang dialami oleh korban atau ahli warisnya. Berapa besarnya? Merujuk pada penjelasan pasal 36 UU Terorisme, besar ganti rugi akan ditentukan oleh korban bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan ini, kata Eva dari Imparsial, sebelumnya tak ada dalam Rancangan Undang-Undang. Jika si pelaku tak bisa bayar ganti rugi, maka hukumannya akan diperberat. “Ini progres besar dalam perlindungan korban,” kata Eva.