Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Terorisme akhirnya disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada rapat paripurna yang digelar Jumat 25 Mei siang tadi, anggota dewan mensahkan aturan yang telah dibahas sejak 2016 itu.
Ada banyak ketentuan baru yang tercantum dalam Undang-undang ini, salah satunya tentang keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme. UU Terorisme sementara menutup perdebatan perihal keterlibatan militer dalam menghadapi teroris. Militer kini sah ikut andil mengatasi terorisme, kendati detail mekanismenya masih harus dirinci lewat Peraturan Presiden.
Hal baru lain, yang menuai apresiasi dari kalangan pegiat hak asasi, adalah soal perlindungan korban. Undang-undang Terorisme tegas menyatakan bahwa korban merupakan tanggung jawab negara. Pelaku pun diwajibkan mengganti kerugian korban jika tak mau dihukum lebih berat.
Kami merangkum beberapa poin penting yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk anda simak:
Kami merangkum beberapa poin penting yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk anda simak:
Iklan
Definisi Terorisme
Iklan
Melibatkan TNI Untuk Hadapi Teroris
Kapan Semestinya TNI Dilibatkan? Yang jadi masalah menurut Bhatara adalah soal keberlangsungan keterlibatan TNI. Membaca situasi yang ada, ia melihat ada keinginan untuk melibatakan TNI secara permanen. Betul memang mereka bisa terlibat dalam operasi militer selain perang, tapi semestinya sifatnya sementara saja. Itu pun harus berada di bawah kendali polisi karena pemberantasan teroris konteksnya adalah penegakkan hukum yang membutuhkan kemampuan dan wewenang untuk menyelidik dan menyidik, bukan perang.
Iklan
Kecuali, kata Bhatara, jika ada satu lokasi yang diduduki secara masif oleh teroris seperti yang terjadi di Marawi, Filipina. “Itu tidak perlu UU baru, karena negara dalam keadaan bahaya. Tinggal dideklarasikan saja negara dalam keadaan bahaya, tentara bisa masuk,” ujarnya.Pada intinya keterlibatan tentara mestilah jadi keputusan politik yang dicetuskan oleh Presiden. Jika pimpinan negara sudah setuju, barulah tentara bisa aktif bergerak. “Tentara enggak boleh mengaktifkan dirinya sendiri,” kata Bhatara.Draf awal semula memuat ketentuan bahwa tersangka teroris bisa ditahan sebagai tersangka sampai 300 hari lamanya. Saking lamanya sampai-sampai pasal ini dijuluki pasal Guantanamo, merujuk pada penjara militer di AS tempat Amerika menahan banyak terduga teroris. Ini belum termasuk penahanan sebagai terdakwa yang bisa mencapai 270 hari lamanya. Jadi kalau ditotal masa penahanan bisa mencapai 570 hari alias lebih dari satu setengah tahun.
Di beleid yang baru saja disahkan, masa penahanan sebagai tersangka dan terdakwa dipangkas masing-masing jadi 200 hari dan 90 hari. Angka ini lebih lama tiga bulan jika dibandingkan ketentuan pidana umum yang diterapkan pada penjahat pada umumnya seperti pencuri, pembunuh, pemerkosa, dan juga koruptor.Polisi jadi target serangan teroris sama sekali bukan hal baru. Laporan dari Tirto menyebut sudah sejak 2010 polisi jadi sasaran serangan. Faktor dendam berperan besar dalam hal itu. “Karena polisi paling banyak menangkap, memenjarakan, membunuh teman-teman (teroris). Sehingga kemudian mereka melakukan semacam balas dendam,” kata Ridwan Habibi, peneliti terorisme dari Universitas Indonesia sebagaimana dikutip Tirto.
Tak banyak yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik ruang penyidikan, apakah aparat sepenuhnya menghargai hak asasi -bahkan hak seorang teroris sekalipun- atau sebaliknya, menerapkan banyak metode penyiksaan untuk menguak informasi.
Menggunakan kekerasan dalam rangka mengungkap kasus bisa jadi jalan pintas yang memudahkan pekerjaan aparat. Tapi jika cara itu ternyata menyuburkan dendam, yang kemudian mengakibatkan lebih banyak polisi mati diserang teroris di kemudian hari, kekerasan itu, menurut peneliti Imparsial Evitarossi Budiawan, sebenar-benarnya kontraproduktif.
“Itu kontraproduktif. Kalau misalnya elo ngebunuh satu sel dan muncul 10 sel yang baru,” kata Evitarossi alias Eva.
Itulah sebabnya Eva mengapresiasi keberadaan butir-butir pasal yang mengharuskan kepolisian menjunjung tinggi prinsip HAM dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Bahkan ada satu butir yang khusus menyebut penyidik bisa dipidana jika tak melindungi HAM teroris.Undang-undang Terorisme mewajibkan pelaku teror mengganti kerugian yang dialami oleh korban atau ahli warisnya. Berapa besarnya? Merujuk pada penjelasan pasal 36 UU Terorisme, besar ganti rugi akan ditentukan oleh korban bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum. Ketentuan ini, kata Eva dari Imparsial, sebelumnya tak ada dalam Rancangan Undang-Undang. Jika si pelaku tak bisa bayar ganti rugi, maka hukumannya akan diperberat. “Ini progres besar dalam perlindungan korban,” kata Eva.