FYI.

This story is over 5 years old.

Komik Indonesia

Di Abad 21, Si Buta dari Gua Hantu Ganti Melawan Antek Kolonial Belanda

Bukan masanya lagi Barda sekadar adu jurus sama pendekar lain atau Mata Malaikat. Komikus Aji Prasetyo bersama Iwan Nazif berkolaborasi menghadirkan Si Buta melawan kejinya sistem tanam paksa.
Foto dari akun instagram Bumi Langit Official

Di masa jayanya lima dekade lampau, sebagai karakter paling ikonik komik silat Indonesia, Barda Mandrawata alias Si Buta dari Gua Hantu lebih sering menghadapi jawara bermental tengik, petarung pilih tanding dari golongan hitam, ataupun musuh bebuyutannya: Si Mata Malaikat yang dulu membunuh Marni, kekasih Si Buta. Di Abad 21, musuh Si Buta bersama monyet peliharaannya, Kliwon, siap menghabisi musuh yang tak disangka-sangka: para begundal yang jadi antek pemerintah kolonial Belanda di era Tanam Paksa, serta meneror para petani. Karakter Si Buta, memang sering digambarkan oleh penciptanya, Ganes TH, keliling berbagai wilayah Indonesia selama mengembara. Tapi Badra tidak pernah benar-benar coba dihadirkan merespons kronologi sejarah riil bangsa kita.

Iklan

Ide untuk menempatkan sosok Si Buta menjadi superhero yang melawan antek-antek kolonialisme ini diajukan oleh Bumi Langit, perusahaan komik yang resmi memegang hak publikasi ulang seri Si Buta. Pada season 1 dan 2, posisi penulis naskah diisi oleh Oyasujiwo, nama kawakan dalam dunia komik Tanah Air. Fokus cerita masih pada perjalanan Badra, seorang pesilat kampung, harus menghadapi nasib pahit kehilangan semua orang yang dicintai dan berubah jadi sosok Si Buta. Sementara untuk season ke-3 versi baru Si Buta, kini tampuk penulisan beralih ke Aji Prasetyo, nama yang juga tak kalah kesohor. Aji mengubah fokus perjalanan Si Buta menjadi pahlawan yang siap melawan ambisi lalim aparatus kolonialisme.

Aji, komikus 42 tahun yang kini bermukim di Kota Malang, Jawa Timur, adalah sosok yang dikenal sering menghasilkan komik-komik berbekal riset sejarah kental. Sebelumnya dia pernah menghadirkan cerita bergambar tentang sosok Sentot Prawirodirjo, panglima perang Pangeran Diponegoro yang meneror Belanda selama masa Perang Jawa (1825-1830). Komik itu diberi judul Harimau dari Madiun, meraih sambutan hangat dari pecinta komik lokal.

Pilihan menggandeng Aji untuk membuat kisah Si Buta jadi menjejak peristiwa sejarah riil Abad 19 tentu cukup berani, tapi bukan hal baru untuk Bumi Langit. Perusahaan komik satu ini memang salah satu yang paling ambisius di kancah komik lokal.

Jika sekarang anak muda Indonesia masih sibuk menikmati rentetan film adaptasi komik besutan Marvel Cinematic Universe, jangan kaget kalau dalam jangka kurang dari satu dasawarsa giliran yang akan diadaptasi ke layar lebar adalah karya-karya Bumi Langit Cinematic Universe. Film Gundala, adaptasi komik superhero Indonesia yang juga dipegang hak edarnya oleh Bumi Langit, jadi yang pertama diumumkan ke publik. Versi layar lebar Gundala akan digarap sutradara Joko Anwar. Bulan lalu, giliran Si Buta diumumkan ikut muncul (lagi) versi filmnya, rencananya digarap Timo Tjahjanto.

Iklan

Sebelum kabar mengenai filmnya lebih jelas, mari kita ngobrol dulu sama Aji Prasetyo membahas perubahan cerita Si Buta versi kontemporer. Apa alasan Bumi Langit dan dia berkolaborasi membuat kisah Si Buta jadi lebih berpijak pada sejarah nasional, bagaimana respons pembaca, dan seperti apa cara Aji melakukan risetnya? Berikut cuplikan obrolan kami.

VICE: Gimana awalnya bisa ikut berkontribusi di komik Si Buta dari Gua Hantu ini? Kenapa baru bergabung di season tiga?
Aji Prasetyo: Sebagian orang di penerbit PT Bumi Langit sudah mengenal saya cukup lama. Mereka mengenal saya sebagai komikus yang sering memakai setting sejarah dengan riset yang cukup serius. Sedangkan kenapa baru menggarap season 3, karena season 1 dan 2 lebih "pakem" karena mengisahkan awal kisah kenapa Barda akhirnya menjadi Si Buta. Sedangkan season 3 adalah pengembangan cerita, jadi tidak berpakem pada cerita yang sudah pernah dibuat oleh Pak Ganes TH.

Sebagai penulis naskah tentu ada beban tersendiri, Si Buta adalah komik legendaris yang hampir semua orang Indonesia tahu. Apa tantangan terbesar menjadi writer di komik ini?
Tentu saja beban moralnya cukup berat. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana tokoh legendaris seperti Si Buta masih mampu memikat pembaca di generasi sekarang. Kita tahu tiap generasi memiliki seleranya sendiri. Penggemar Batman Zaman sekarang pun belum tentu suka dengan komik batman tahun 70'an. Padahal cerita di komik itu cukup menarik di masanya. Demikian juga dengan Si Buta, tentunya.

Iklan

Tadi dibilang bahwa season 3 tidak berpakem ke versi Ganes TH. Bisa dijelaskan lagi perbedaan yang ada? Mungkin dari alur ceritanya?
Cerita di season 3 ini benar-benar baru. Yang sedang ditekankan di season ini adalah sisi realistik dari pendekar buta ini yang semakin mempertajam desain awal Pak Ganes TH. Misalnya tentang gaya bertarung, kelemahan, keterbatasan, konflik psikologis, dan lain-lain.

Setting di season 3 ini berlatar sejarah. Barda bakal menghadapi antek kolonial Belanda. Apa alasan terbesar menempatkan Barda dalam alur sejarah ini?
Saat tokoh cerita kita tetapkan hidup di masa lalu, ada dua pilihan. Pilihan pertama adalah masa itu tidak jelas kapan. Yang penting konflik dan aksinya dibikin menarik, maka ceriga itu sudah bisa diminati pembaca. Conan the Barbarian, misalnya.

Pilihan kedua adalah diperjelas setting masanya. Itu peristiwa terjadi tahun berapa, di mana, apa konflik yang saat itu terjadi, dan sebagainya. Lantas kita arahkan tokoh rekaan kita ini merespons peristiwa sejarah yang terjadi di masa itu. Nah, season 3 ini menempatkan Barda pada realita sejarah yang dialami bangsa kita masa itu.

Sejauh mana riset yang dilakukan agar sejarah tersebut tidak jauh melenceng?
Kami mempelajari berbagai literatur sejarah tentang kondisi masyarakat kita di era 1870an. Di masa itu negeri kita sedang "disewakan" kepada para investor asing. Pemrakarsanya adalah pemerintah kolonial yang teknisnya dibantu oleh para pejabat lokal. Banyak buku-buku hasil riset sejarawan nasional maupun asing yang membahas periode masa itu. Asalkan kita mau baca saja, enggak akan melenceng.

Iklan

Masalahnya kan masyarakat kita sudah mulai malas membaca. Itu ironis, saat para sejarawan seperti Ong Hok Ham, Peter Carey, John Roosa, Ben Anderson dan lain sebagainya menghabiskan puluhan tahun untuk riset tentang sejarah bangsa ini, hingga menghasilkan puluhan buku ilmiah, kita malah malas baca dan lebih memilih memahami sejarah berdssarkan mitos. Ironis, kan?

Ada beberapa pendekar kelana yang justru menghindari konflik. Mereka tidak ingin terlalu mencolok. Sedangkan Barda tak ragu menumpahkan darah membantu orang-orang lemah. Apakah ini sebuah cara bagi Barda untuk melepas tekanan psikologisnya di masa lalu? Atau karena konflik hanya bisa diselesaikan dengan konflik juga?
Barda bukan beringas dan haus darah, juga bukan mencari konflik. Dia hanya tidak bisa diam saat melihat ada yang menderita dan dianiaya. Dia mencoba menolong sesuai dengan kemampuannya. Kebetulan dia pendekar. Jika dia pengacara tentu lain lagi langkahnya. Hahaha…

Antusiasme pembaca sendiri bagaimana dalam menanggapi komik Si Buta dari Gua Hantu?
Respons pembaca cukup beragam. Dari semua komentar mereka di sosmed, para pembaca muda sangat antusias dengan Si Buta kemasan baru ini, baik dari sisi visual maupun cerita. Namun ada juga beberapa kritikan dari penggemar fanatik Si Buta yang kurang rela dengan berbagai perubahan yang terjadi pada tokoh kesayangannya itu.

Kalau dilihat dari yang terjadi di sosmed, jumlah pembaca muda memang lebih signifikan. Dan mereka cukup kritis. Sehingga tidak salah jika selama ini kami kerja keras untuk membangun detail demi detail tokoh ini. Pembaca jaman sekarang menuntut hal itu.

Sedikit bocoran buat yang belum membaca episode 3, kenapa baju ular Barda tidak ditampilkan sedari awal? Padahal itu adalah ciri khas tokoh Si Buta?
Kami tidak menghilangkan trade mark itu kok. Baju kulit ular Barda sesekali ditutupi agar tidak mencolok. Itu salah satu upaya kami membangun sisi realistis dari cerita ini.