FYI.

This story is over 5 years old.

Opini

Betapa Melelahkan Melihat Kaum Tuna Wacana Bangga Merazia Buku

Aparat militer, polisi, dan kejaksaan terus membiakkan sikap anti-intelektual tanpa dasar dengan merazia buku tanpa persetujuan Mahkamah Konstitusi.
tentara bangga memamerkan buku sitaan diduga 'mengajarkan komunisme'.
Personel tentara bangga memamerkan buku sitaan diduga 'mengajarkan komunisme'. Foto oleh Antara Foto/Oky Lukmansyah/ via Reuters

Sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia Bonnie Triyana masih tak habis pikir mengapa buku karyanya tiba-tiba disita oleh aparat TNI dan Kejaksaan. Buku berjudul Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno yang diterbitkan Seri Historia, disita di sebuah toko buku di Padang, Sumatera Barat pekan lalu. Alasannya, buku tersebut dianggap mengandung ajaran komunisme.

“Itu kan buku isinya berdasarkan riset dan reportase tim Historia selama berbulan-bulan tentang bagaimana Bung Karno semasa memerintah itu paling tidak tujuh kali pernah diserang secara fisik, mau dibunuh," kata Bonnie dikutip BBC Indonesia.

Iklan

Yang membuat Bonnie heran, buku tersebut sama sekali tidak menyinggung soal komunisme. Malahan, Megawati dan Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno sempat menghadiri peluncuran buku tersebut pada November 2017.

“Ini puncak gunung es dari wabah anti-intelektual pada sebagian kalangan masyarakat dan sebagian elit negeri,” tutur Bonnie.

Dalam sweeping buku tersebut aparat juga menyita buku berjudul Kronik 65; Anak-Anak Revolusi; Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto; serta Jasmerah. Kadispen TNI Angkatan Darat Brigjen Candra Wijaya mengatakan bahwa razia tersebut didasari oleh laporan warga dan peraturan negara yang melarang penyebaran ajaran komunis.

Pada akhir Desember lalu aparat TNI, Polisi, dan Kejaksaan juga melakukan razia di dua toko buku di Kediri, Jawa Timur. Setidaknya ada 15 judul buku yang disita oleh aparat.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo dikutip awak media mengatakan saat ini buku-buku tersebut masih dipelajari oleh Kejaksaan hingga 30 hari ke depan. Jika memang terbukti mengandung ajaran komunisme, maka buku tersebut akan disidik oleh kepolisian, kata Dedi.

Padahal jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010, aparat dan Kejaksaan tidak bisa menyita buku secara sewenang-wenang tanpa proses hukum dan izin dari pengadilan negeri. Dalam putusan tersebut juga menyebut penyitaan buku tanpa proses pengadilan sama saja dengan pengambilalihan hak pribadi.

Iklan

Penyitaan buku dan paranoia terhadap komunisme adalah warisan Orde Baru yang masih langgeng sampai sekarang. Tak cuma oleh aparat, razia terhadap buku yang disinyalir berbau kiri juga kerap dilakukan ormas. Pada 2001, kelompok yang menamakan diri Aliansi Anti Komunis (AAK) merazia toko buku dan kontrakan mahasiswa di beberapa daerah di Jakarta. Tak cuma menyita, ormas tersebut juga membakar buku-buku tersebut. Sepanjang 2016 setidaknya terjadi tiga kali razia buku di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang dilakukan oleh kepolisian.

Tragisnya lagi, merujuk sebuah penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyebut Indonesia berada di ranking 60 dari total 61 negara yang hobi membaca. Posisi terendah dipegang Botswana.

“Sebagaimana ilmu pengetahuan telah menjadi produk dan alat, kesejahteraan ekonomi setiap negara akan ditentukan oleh tingkat literasi warga negaranya,” kata John Miller selaku presiden Central Connecticut State University.

Hal tersebut juga berbanding lurus dengan data Pusat Data dan Statistik Kemendikbud 2015 yang menyebut angka buta huruf di Indonesia masih tinggi dengan jumlah mencapai 5.984.075 orang.

Sementara dari data Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2017 menyebut rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan dalam survei ini per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Anggota TNI yang nekat merazia—walau belum tahu isi buku yang disitanya—dan Kejaksaan yang butuh waktu sebulan meneliti isi buku yang disitanya, adalah simbol kondisi literasi di Indonesia yang menyedihkan.