FYI.

This story is over 5 years old.

Politik Internasional

Pengalaman Saya Bekerja Sebagai Pemandu Tur Wisatawan Asing di Korea Utara

Sepatu roda, lelucon seks, dan Titanic. Hal-hal ini kata Alek Sigley, pemandu wisata asal Australia yang bertugas di Korut, adalah kegemaran anak-anak muda Korea Utara.
Semua foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Sejak 2013, Alek telah menyediakan jasa tur ke Korea Utara lewat Tongil Tours—mengantar kelompok (kebanyakan) turis Australia ke Pyongyang via Cina. “Biasanya naik pesawat, dan seringnya menggunakan pesawat domestik Korea Utara, Air Koryo (고려항공),” jelasnya. “Atau naik kereta, yang sebetulnya lebih menarik karena perjalanannya selama 22 jam. Ini adalah perjalanan epik melewati timur laut Cina, dan kemudian kamu menyeberangi Sungai Yalu…kemudian barulah kamu tiba di Korea Utara.”

Iklan

Alek mengatakan pengalamannya di Korea Utara sebagai pemandu tur dan pelajar pertukaran—dia adalah warga Australia pertama yang pergi ke sana untuk pertukaran pelajar—menunjukkannya bahwa banyak sekali kesalahpahaman tentang negeri tersebut. Terutama tentang orang-orangnya. “Semakin lama saya tinggal di Korea Utara, semakin saya menyadari saya harus berhati-hati dengan praduga yang sama miliki,” jelasnya. “Kamu melihat imej di media tentang Korea Utara, dan pasukan militer mereka dan sebagainya. Tapi ketika kamu pergi ke sana…rasanya berbeda.”

Tentu saja ini bukan berarti Korea Utara itu surga pekerja seperti klaim para pemimpin negaranya. Investigasi yang dilakukan oleh berbagai grup internasional, seperti Amnesti Internasional, menemukan bahwa rezim Kim masih secara aktif membiayai kamp penjara, yang disebut kwanliso. Kelaparan dan malnutrisi masih menjadi isu besar, menurut Program Pangan Dunia. Menjelang penampilan Korut di Olimpiade Musim Dingin 2018, ada versi Korea Utara yang pemerintah mereka ingin dunia lihat—yang penuh dengan atlit hebat, cheerleader dan bintang pop.

Tapi cara media menggambarkan generasi muda Korut sebagai robot tanpa jiwa, kata Alek, juga kelewat sederhana.

“Ada narasi bahwa semua orang Korea Utara itu seperti robot yang tinggal di dalam negara terisolasi yang penuh dengan rasa takut. Bahwa mereka memperlakukan semua orang dengan penuh rasa tidak percaya, dan berlaku agresif,” jelasnya. “Mereka sebetulnya sama saja dengan semua orang. Mereka kalem, ramah, baik—penasaran juga, mereka ingin lebih banyak interaksi dengan orang dari dunia luar. Mereka doyan bersenang-senang dan berpesta.”

Iklan

Pasangan muda-mudi kencan di Kebun Binatang Pyongyang. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Di hari Minggu, Alek mengatakan banyak orang di Pyongyang berjalan-jalan di taman kota, yang juga dibuka untuk turis. “Mereka semua keluar piknik dan minum-minum. Mereka doyan minum shōchū, dan di Korea Utara, shōchūnya sangat kuat…mungkin hampir 25 persen kadar alkoholnya.”

Sebetulnya, anak-anak kampus seharusnya tidak boleh minum alkohol. Faktanya, kehidupan anak muda di Korea Utara diatur secara ketat, paling tidak di permukaan. “Perempuan harus memiliki rambut pendek, dan kamu tidak diperbolehkan berkencan di kampus,” jelas Alek. “Ada yang disebut ‘kehidupan organisasi,’ semacam sabuk pengaman—kamu membutuhkan sekelompok orang dengan ideologi yang tepat, dan solidaritas.

“Tapi kayaknya, begitu mereka keluar dari kampus, mereka bebas mau ngapa-ngapain.”

Kencan di lapangan sepatu luncur ruang terbuka di Pyongyang. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Percakapan seputar dunia kencan dan hubungan romantis adalah topik favorit orang muda Korea Utara yang ditemui Alek di tur. Tentu saja, tanpa adanya internet, kencan caranya masih tradisional. Kebanyakan orang masih dijodohkan dengan pacar oleh teman atau orang tua. Tinder belum masuk internet dalam negeri Korea Utara, yang juga hanya bisa diakses oleh segelintir orang muda yang memiliki smartphone.

“Kamu punya pacar?” biasanya adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan ke Alek ketika orang muda Korea sadar dia fasih berbicara bahasa Korea. “Saya mengatakan, ‘punya’ dan mereka biasanya langsung ingin melihat foto pacar,” jelasnya. “Mereka kemudian mulai menunjukkan foto-foto pacarnya. Mereka semua memiliki foto-foto bareng yang imut, lengkap dengan efek Photoshop dan sebagainya.”

Iklan

Suasana di luar bioskop Taedongmun di Pyongyang pusat. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

“Mereka juga suka bergurau tentang seks. Ini topik favorit mereka,” jelas Alek. “Ada sebuah gua di Korea Utara yang menjadi atraksi turis dan penuh dengan stalagmit. Ketika kami berkunjung, seorang pemandu tur setempat menghabiskan waktu berkelakar tentang bagaimana stalagmit itu terlihat seperti alat kemaluan manusia. Dia bahkan mulai bergurau dengan beberapa turis dan mengatakan, ‘Pasti punya kamu bentuknya kayak gitu ya.’”

Alek mengatakan dia melihat kemunculan “kultur anak muda” ketika dia sedang berada di Korea Utara. “Kadang kamu melihat orang-orang muda di jalanan Pyongyang, dan mereka terlihat mirip—dari cara berpakaian—seperti orang Jepang atau Korea Selatan,” ujarnya. “Tapi tentu tetap ada batasnya…kamu tidak akan melihat seseorang dengan rambut mohawk hijau dan jaket kulit…Saya belum pernah melihat goth di Korea Utara hingga sekarang.”

Mahasiswi-mahasiswi dari Australian National University (ANU) bersama seorang pemandu wisata dari Pyongyang. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Beberapa elemen dari kultur barat memang berhasil menembus perbatasan. Titanic dan Leonardo DiCaprio sangat populer di Korut, juga sama dengan Harry Potter, dan film-film Disney, yang bisa ditonton lewat DVD dengan dub bahasa Korea. “Saya bertemu seorang perempuan yang mengandrungi Hilary Duff,” jelas Alek. Dia juga memiliki teman yang menggemari Metallica, dan tahu siapa itu Eminem.

Dalam perihal popularitas, seleb lokal masih merajai, misalnya Moranbong Band. Kelompok musisi perempuan ini, yang saat ini memimpin delegasi budaya Korea Utara menuju Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan, memiliki “seorang gitaris lead yang bisa nge-shred kadang-kadang,” jelas Alek. “Belum sampe level Hendrix, tapi lumayanlah.” Lucunya, kabarnya penyanyi utama band tersebut adalah mantan kekasih Kim Jong-Un dan dia sempat takut dieksekusi oleh sang pemimpin beberapa tahun yang lalu.

Iklan

Seorang anak muda berseragam militer, ngider-ngider pakai papan luncur roda dua. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Arena main sepatu roda di Pyongyang. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Seorang anak main sepatu roda di Pyongyang. Foto dari Alek Sigley/Tongil Tours

Olahraga dan bina raga adalah bagian besar dari kehidupan orang muda di Pyongyang. “Ini berhubungan kuat dengan ideologi nasionalis…karena kamu harus menjadi fit untuk bisa membangun masa depan yang sejahtera bagi bangsa,” jelas Alek. Semenjak maniak basket Kim Jong-Un meneruskan jejak ayahnya, semakin banyak lapangan basket dibangun di Korea Utara. Dan juga taman roller skate. “Kini mereka semakin populer di kalangan anak muda…tidak hanya di Pyongyang tapi juga di kota-kota regional,” jelas ALek.

Namun, secara keseluruhan, kehidupan anak muda Korea Utara masih sangat terisolasi dari dunia luar. Kehidupan mereka sangat diatur, penuh dengan pembelajaran ideologi dan pelatihan keras untuk event-event publik. “Mereka berbicara tentang ‘penyatuan’ karena ini bagian penting dari propaganda, tapi bagi mereka ini konsep yang lebih abstrak,” jelas Alek. Biarpun ada gairah untuk semakin terhubung dengan dunia luar, rasa tidak percaya yang besar masih tertanam. “Mereka meyakini bahwa AS menginvasi mereka dalam Perang Korea,” jelas Alek.”Dan mereka selalu seperti ini.”

Pada tanggal 4 Juli tahun lalu, partner bisnis Alek sedang berada di Pyongyang ketika rezim Kim meluncurkan tes nuklir sukses di Jepang—tanggalnya, tepat ketika Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, bukanlah sebuah kebetulan. “Ada perayaan besar-besaran…orang-orang merayakan di jalanan,” ingat Alek. “Ada peristiwa yang terjadi di Kim Il-Sung Square…partner bisnis saya pun ikutan. Tidak ada ketegangan atau semacamnya—justru sebaliknya. “