FYI.

This story is over 5 years old.

Bitcoin

Ngobrol Bareng Satu Keluarga Yang Menjual Semua Harta Benda Demi Bitcoin

Agar hidup sesuai impiannya, Didi bersama istri dan tiga putrinya tak lagi punya rumah, perabot, dan motor. Semuanya dijual demi mengumpulkan mata uang digital yang sedang ngetren itu.
DS
Diterjemahkan oleh Daniel Stächelin
Audy Bernadus
Diterjemahkan oleh Audy Bernadus

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard Jerman.

Didi Taihutto menjual rumahnya di Belanda tahun ini, lengkap beserta semua meja-kursi-perkakas, ketiga mobilnya, serta sebuah sepeda motor. Dia hanya menyimpan barang-barang penting saja, misalnya satu album foto keluarga, beberapa memorabilia, dan satu laptop. Bersama istrinya, Romaine, serta tiga anak mereka, sekarang Didi tinggal di rumah petak kecil kawasan perkemahan umum dekat perbatasan Jerman.

Iklan

Keluarga Taihutto menjual harta benda mereka demi bitcoin. Mata uang digital ini, biasa disebut cryptocurrency, mereka percaya nilainya bakal bertambah tiga kali lipat pada 2019 mendatang. Selain itu, Didi dan Romaine melakukan tindakan gila ini bukan semata didorong motivasi meraih keuntungan besar. Mereka ingin mewujudkan cita-cita lama, yakni menjalani hidup sesuai kemauan sendiri, tak diatur orang lain.

Taihutto bukan orang gila. Bekas entrepreneur bisnis digital ini tetap akan menafkahi keluarganya. Caranya dengan menjadi day trader bitcoin. Lewat skema jual beli yang dia kelola, polanya seperti bisnis valuta asing, Didi optimis bisa meraih untung besar dalam sekali sesi perdagangan. Bitcoin memang sedang populer. Nilainya juga memang terus naik. Tapi jarang sekali kita melihat ada orang begitu yakin pada Bitcoin untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, rekan kami dari Motherboard Jerman mengajak Didi ngobrol, membahas apa saja yang sudah dia jual demi memenuhi cita-cita sebagai spekulator Bitcoin penuh waktu, serta menyinggung apa yang dia rasakan setelah tahu kekayaannya di dunia saat ini praktis tinggal keluarganya saja.

MOTHERBOARD: Kamu masih tinggal di Eropa. Tahu kan musim dingin sebentar lagi tiba. Kamu sekeluarga sekarang menetap di mana? Hangat enggak?
Didi Taihutto: Di bungalow kawasan perkemahan gitulah, dekat perbatasan Jerman. Bungalow-nya sempit dan dingin. Keluarga saya ada lima orang. Kami harus dempet-dempetan di ruangan cuma seluas 50 meter persegi. Saya juga baru sadar, artinya satu orang cuma dapat bagian 10 meter persegi.

Iklan

Cerita hidupmu setahun ini mulai ditulis banyak media, setidaknya di Eropa. Apa responsmu terhadap sorotan dan ketenaran ini?
Awalnya yang menulis artikel soal keputusanku bareng keluarga menjual semua harta adalah surat kabar lokal di Belanda. Belakangan, banyak media ikut-ikutan. Bahkan situs Business Insider melansir artikel tentang kami juga. Sejak itu, nyaris setiap hari ada saja jurnalis yang menelepon saya, janjian wawancara ngobrol soal Bitcoin dan keputusan keluarga saya yang nyeleneh.

(Akun Instagram Didi menampilkan kalimat motivasi seperti ini)

Berapa lama prosesmu merenung dan berpikir, sebelum akhirnya menjual semua harta lalu serius bertahan hidup dari Bitcoin saja?
Enggak lama sih sebenarnya. Semua terjadi begitu saja. Kami sekeluarga waktu itu baru aja balik dari liburan. Saya ingat itu tepatnya Juli kemarin, kami pulang dari Bali. Saya, istri, dan anak-anak duduk bareng. Kami berunding, membahas rencana-rencana untuk mengubah hidup. Jadi, tak lama setelah balik di Belanda, kami segera menjual rumah, dan benar-benar mengubah arah hidup satu keluarga.

Beneran gitu doang? Saya kira kamu bakal bilang hidup tanpa terikat pada harta benda adalah impian sejak kecil.
Sebenarnya saya dan istri sudah mikir kemungkinan hidup seperti ini setiap tahun. Kami baru berani mengambil keputusan empat bulan yang lalu. Kami tidak mau hidup di dalam ketakutan terus menerus. Menurut saya, hidup yang penuh rutinitas dan penuh keterikatan membuat kita tidak berani bermimpi. Agar benar-benar bahagia, manusia harus berani lepas dari berbagai hal yang mengikat mereka.

Iklan

Di postingan instagram ini, Didi menjual motornya. Siapapun yang bersedia membayar pakai Bitcoin dijanjikan potonga harga khusus.

Itukah alasanmu menjual rumah, perabot, mobil-mobil, sampai motor?
Jangan lupa, harus disebut juga mesin pembuat kopi rusak seharga 800 Euro. Barang kayak gitu juga kami jual. Semua hal yang membutuhkan waktu dan perhatian kami terpaksa dilego. Saya tidak mau berkutat dalam materialisme lagi. Saya mau lebih dekat sama keluarga, meluangkan lebih banyak waktu sama mereka, dan tidak perlu lagi merasa kehilangan apapun. Hal yang sama untungnya dialami anak-anak. Waktu kami menjual semua mainan yang mereka miliki selama ini, ketiga anak saya ternyata enggak sedih. Mereka bisa berpikir bahwa ketika dijual, mainan itu membuat anak-anak lain senang. Artinya, meloakkan mainan mereka malah bermakna positif. Benda-benda tidak akan membuat orang senang. Materi hanya sebuah pengalih perhatian.

Kamu bahkan sampai menjual perusahaan digitalmu yang sebenarnya sangat sukses
Kami sekeluarga sangat suka traveling, berkenalan sama orang-orang baru. Pekerjaan penting, tapi travelling lebih mengasyikkan dan memuaskan. Tentu ada masanya saya fokus sama pekerjaan, terutama ketika merintis bisnis sendiri, hanya berbekal sebuah komputer di basement. Saya mengajari orang cara terbaik menggunakan komputer. Dulu, saya merasa itu pekerjaan yang menyenangkan. Kemudian bisnis saya terus berkembang. Sampai akhirnya saya memiliki 16 pegawai. Saya jadi sibuk mengatur orang lain melulu, 80 jam sampai 90 jam seminggu. Tidak ada waktu lagi untuk traveling.

Iklan

Ketiga anakmu semua perempuan dan masih kecil-kecil. Homeschooling dilarang di Belanda. Faktor pendidikan bakal jadi masalah enggak sih kalau hidup keluargamu berpindah-pindah?
Saya dan istri sudah beberapa kali jalan-jalan keliling dunia. Terakhir malah sambil mengajak anak-anak kami selama 9 bulan, tanpa tahu apa konsekuensi seperti itu. Tidak apa-apalah. Ibaratnya sekarang kami harus membayar dendanya.

Sempat merasa khawatirkah kalau pemerintah merebut hak asuh anak-anakmu, karena kamu dan istri dianggap tidak memberi pendidikan dasar yang layak?
Ya, tentu saja kamu takut. Kami sudah berinvestasi cukup besar dalam pendidikan anak-anak. Kami tetap mendidik dan mengajari mereka banyak hal selama jalan-jalan. Sebetulnya, buat saya, mereka bertiga sangat pandai di sekolah. Anak saya yang paling kecil bahkan menjadi yang terbaik dalam hal membaca dan menulis di sekolahnya dulu, setelah kami kembali ke Belanda. Saya paham sih, pemerintah Belanda bikin kebijakan wajib belajar demi memastikan semua anak mendapat pendidikan dasar yang baik. Tapi pemerintah Belanda juga harus bisa bersikap fleksibel dalam beberapa kasus. Saya rasa pemerintah tidak terlalu memperhatikan kelas menengah yang nomaden seperti keluarga saya. Kami suka tinggal di perbatasan Belanda-Jerman ini, tapi sepertinya kami harus pindah sewaktu-waktu kalau pemerintah kelak ingin merebut hak asuh anak-anak kami.

Apa yang membuatmu makin yakin hidup tanpa harta dan mengandalkan Bitcoin saja?
Ayah saya meninggal Januari 2016, di usia 61 tahun. Ibu saya lebih dulu meninggal ketika beliau berusia 48. Ayah saya pemain sepakbola profesional. Olahraga itu merupakan kegemarannya. Dia bisa cari nafkah dari hobi, maka hidupnya bahagia. Saya juga ingin melakukan hal yang sama selama hidup. Pada dasarnya, kita seringkali dipaksa bekerja terus dan menunda hal-hal keren atau berguna dikerjakan nanti. Tapi untuk ayah dan ibu saya, ternyata tidak ada kata ‘nanti'. Orangtua saya meninggal di usia relatif muda. Fakta itu benar-benar membuat saya berpikir: bagaimana kalau tidak ada kata ‘nanti’ juga untuk saya? Bagaimana kalau ternyata saya mati sebelum sempat melakukan hal-hal yang saya inginkan dalam hidup?

Iklan

Masuk akal alasanmu. Katakanlah, kamu diberkahi umur panjang, sempat terbersit enggak rasa takut kehilangan segalanya gara-gara spekulasi Bitcoin?
Saya masih harus terus belajar menjadi sebuah day trader Bitcoin. Tapi kalau pun saya ternyata kehilangan semua harta, saya sebetulnya tetap tidak kehilangan segalanya. Selama saya punya keluarga, saya bakal baik-baik saja. Kalau memang terpaksa rencana ini gagal, saya akan mencari pekerjaan, memulai dari awal. Tapi bagaimana kalau ternyata saya berhasil? Bagaimana kalau ternyata saya bisa sukses dan bisa menjalani apa yang ingin saya lakukan sesuai cita-cita? Kadang kamu memang harus mengalami momen tidak boleh kembali. Kenekatan itu, dengan sedikit keberuntungan, bisa membuat seseorang sangat sukses.

Mendiang ayah Didi semasa masih hidup bersama cucu-cucunya. Foto oleh Sharon Mafficioli

Misalnya bisnis Bitcoin ini sukses. Kamu kaya. Mau ngapain lagi?
Saya tetap akan hidup sederhana. Yang langsung kepikiran sekarang tentu saja keliling dunia, dalam rangka membantu orang-orang mempelajari pentingnya keuangan digital. Hampir tiga miliar orang di Planet Bumi tidak punya akses langsung ke rekening bank. Padahal tidak perlu lagi seperti itu. Sekarang sudah ada teknologi blockchain, semua orang bisa seperti memiliki bank sendiri.

Masalahnya, kenapa harus jual beli cryptocurrency? Kenapa tidak berinvestasi di saham saja?
Menyimpan uang di bank bukan lagi pilihan bijak. Sistem perbankan kacau banget sekarang. Dampaknya tentu ke kinerja bursa saham. Kadang-kadang situasi pasar keuangan sangat buruk, sampai-sampai kamu bukannya menabung, tapi malah harus membayar biaya administrasi rekening. Sementara untuk saham, okelah di belanda dan Jerman kondisi pasar modal atau perbankannya masih bagus. Tapi coba lihat di Yunani, Bolivia, dan Venezuela. Negara-negara yang mata uangnya sudah tidak ada nilainya lagi. Sudah sahamnya mustahil diperdagangkan dengan nilai menarik, pasar keuangannya hancur, eh tiba-tiba kamu dibatasi kalau narik uang tunai dari rekening. Andai krisis ekonomi terjadi lagi, risiko kayak gitu terlalu gila sih. Saya pikir crypto bisa menjadi alternatif yang bagus.

Iklan

Simak video dokumenter VICE meliput tambang Bitcoin rahasia di Cina:

Masalahnya, barang yang bisa dibayar pakai Bitcoin kan masih sedikit. Nyaris semua jenis barang harus dibayar pakai kartu debit/kredit. Apa yang kamu lakukan kalau kelak mau beli sesuatu?
Ya tetap lah, kami bayar pakai uang. Sampai sekarang kami masih bertransaksi menggunakan Euro kok. Keluarga saya menyewa sebuah garasi. Kami menjual apa saja yang kami punya di sana. Kadang dibayar pakai Euro, kadang Bitcoin.

Mungkinkah mata uang crypto kayak Bitcoin menggantikan uang tradisional di masa mendatang?
Saya pikir uang tradisional tidak bisa sepenuhnya hilang. Cuma, saya yakin suatu saat kita akan tiba di era kekayaan Bitcoins setara nilainya dengan kekayaan uang tradisional. Teknologi terus berkembang, pastinya sistem keuangan bakal ikut berkembang juga.