Kekerasan Seksual

Komnas Perempuan: Setiap 2 Jam, 3 Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual

Selama 8 tahun menunggu RUU TPKS disahkan DP, Komnas Perempuan terima 45 ribu laporan KS. Selama itu pula, tak ada UU yang menjamin perlindungan korban.
Data Komnas Perempuan 2022 Sebut Setiap 2 Jam Ada 3 Perempuan Indonesia Alami Kekerasan Seksual
Aktivis menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR pada 4 Mei 2016, menuntut adanya RUU soal kekerasan seksual. Foto oleh Dasril Roszandi/NurPhoto via Getty Images

Data yang membuat bulu kuduk siapapun berdiri diungkap Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam dialog dengan Ketua DPR RI Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/1) lalu. Angka riil korban kekerasan seksual di Indonesia diyakini lebih tinggi dari data resmi kepolisian, karena perhitungan ini didasarkan pada laporan yang diterima Komnas. Andy menambahkan, jumlah kasus pemerkosaan yang diproses polisi hanya setara 30 persen laporan yang didapat Komnas.

Iklan

“[Angka] itu yang terlapor, karena kita tahu lebih banyak lagi perempuan yang tidak melaporkan kasusnya," ujar Andy dilansir Kompas. Data ini disampaikan Andy sebagai bentuk desakan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera disahkan DPR RI.

Perkembangan terkini RUU TPKS, Puan berjanji bahwa RUU TPKS akan ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada Selasa pekan depan (18/1). "Sehingga insya Allah minggu depan, Selasa tanggal 18 Januari, RUU TPKS akan dapat disahkan sebagai RUU inisiatif DPR RI," pidato Puan di Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang III 2021-2022, Selasa (11/1), dilansir CNN Indonesia.

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menyebut, rencana memparipurnakan RUU TPKS telah disepakati oleh rapat pimpinan DPR dan Badan Musyawarah, serta disepakati oleh 9 fraksi di DPR.

Walau begitu, terkait substansi RUU ini masih muncul tentangan dari internal DPR. Sementara Fraksi PPP dan Golkar yang semula memberi catatan kini turut mendukung dipercepatnya pengesahan RUU TPKS, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) konsisten menolak draf saat ini.

Iklan

Menurut anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa, RUU TPKS seharusnya juga mempidana seks bebas dan seks menyimpang. Kedua hal tersebut telah PKS mintakan kepada Badan Legislasi untuk ditambahkan, namun tidak dipenuhi. 

“Masalahnya, draf terakhir tidak memenuhi catatan tersebut,” ujar Ledia kepada Tempo, Rabu (12/1). “Kami melihat bahwa budaya kita tidak bisa disamakan dengan pengertian consent seperti yang diatur di Barat,” tambahnya.

Dalam kesempatan lain, anggota Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan seks bebas (ia menggunakan istilah “kebebasan seksual”) dan penyimpangan seksual sama daruratnya dengan kekerasan seksual. Untuk mendukung argumennya, Kurniasih menyutip data BKKBN bahwa seks bebas dan penyimpangan seksual menjadi penyebab utama penyebaran infeksi HIV, serta 25 persen kehamilan tidak diinginkan disebabkan seks di luar nikah.

Lisa Peilow, anggota Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU TPKS, menganggap usulan PKS tentang tambahan dua poin tersebut enggak nyambung. "Tidak relevan dengan semangat dan tujuan melindungi korban kekerasan seksual. Dalam kebebasan seks dan penyimpangan seks, dimensi kekerasannya di mana? Siapa korban? Siapa pelaku?" ujar Lisa kepada Tempo.

Soal “kebebasan seks” dan “penyimpangan seksual”, data justru bicara lain. Catatan Kemenkes selama 32 tahun (1987-2019), merangkum bahwa sebanyak 70,2 persen kasus HIV disebarkan lewat hubungan seksual berisiko antara… orang heteroseksual. Penularan lewat jarum suntik mencatatkan angka 8,2 persen dan hubungan seks homoseksual tak lebih dari 7 persen.

Dalam kasus AIDS, ibu rumah tangga adalah kelompok profesi nomor tiga paling banyak mengidap, di atas penjaja seks yang berada di peringkat ke-8. AIDS pada ibu rumah tangga umumnya ditularkan dari suami dengan perilaku berisiko, seperti menggunakan jarum narkotika jarum suntik dan kerap berganti pasangan.

Balik ke pernyataan Komnas Perempuan di awal. Menurut Komnas sih, faktanya ada kenaikan laporan kasus kekerasan seksual. Dan itu enggak diimbangi dengan adanya undang-undang yang bisa “menghambat perkembangan kualitas dan kuantitas kekerasan seksual” apalagi menyediakan “jaminan hak-hak korban dan reviktimisasi selama menempuh jalur hukum”.