The VICE Guide to Right Now

Hasil Patroli Siber, Polisi Klaim Sudah Tangkap Penyebar Hoaks UU Cipta Kerja

Dana ratusan miliar pemerintah untuk patroli siber dipakai untuk menjaring suara kontra terhadap omnibus law. Patroli ini mulai memakan korban.
Polisi Tangkap pemilik akun diduga sebar Hoaks UU Cipta Kerja
Ilustrasi patroli siber di indonesia oleh Bobby Satya Ramadhan/VICE

Korban pertama adalah seorang warganet dengan akun Twitter @videlyae. Kemarin (8/10) ia terciduk patroli siber polisi terkait isu penolakan UU Cipta Kerja. Patrol ini merupakan tindak lanjut telegram Kapolri tertanggal 2 Oktober yang memberi wewenang ke seluruh jajaran polisi untuk melakukan dua hal yang lebih cocok dilakukan institusi propaganda. Pertama, Kapolri minta dilakukannya pembangunan opini publik agar tidak setuju atas aksi unjuk rasa UU Cipta Kerja di tengah pandemi. Kedua, polisi akan bikin pasukan melawan narasi publik yang berupaya mendiskreditkan pemerintah.

Iklan

Begitu akun Twitter @videlyae dijaring, pemiliknya yang merupakan seorang perempuan berinisial VE berusia 36 tahun, berdomisili di Makassar, langsung ditangkap. Tuduhan yang dipakai ialah menyebarkan hoaks terkait UU Cipta Kerja. VE dijerat UU 1/1946 dan diancam 10 tahun penjara. Anehnya, polisi ngaku sampai menerbangkan VE ke Jakarta untuk diperiksa langsung Bareskrim Polri. Niat banget deh. Emangnya polisi Makassar enggak bisa meriksa?

“Kita lakukan penyelidikan di sana dan kita menemukan adanya seorang perempuan yang diduga melakukan penyebaran yang tidak benar, itu ada di Twitter-nya, Twitter @videlyae. Contohnya [berita tidak benar terkait UU Cipta Kerja adalah] uang pesangon dihilangkan, kemudian UMP/UMK dihapus, kemudian semua hak cuti tidak ada kompensasi, dan lain-lain. Ada 12 [hoaks] gitu ya,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Argo Yuwono dalam konferensi pers, Jumat (9/10) ini, dikutip dari Kompas.

Argo mengatakan, motif VE menyebar hoaks karena kecewa sekarang tidak punya pekerjaan.  Pada saat berita ini dituliskan, cuitan yang membuat VE terjerat sudah dihapus dan profil media sosial tersangka sudah dikunci.

Polisi sedang masif bergerilya di media sosial. Pada 7 Oktober, Argo menegaskan pihaknya secara masif akan meluruskan berbagai berita bohong terkait UU Cipta Kerja di internet. Doi bilang, mengantisipasi penyebaran hoaks di masyarakat adalah tugas kepolisian, yang disebutnya sebagai “tugas preemptive” alias pencegahan.

Iklan

Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat dituduh akan melakukan rencana pemblokiran media sosial kala demonstrasi terjadi. Namun, Menkominfo Johnny G. Plate menyanggahnya. Sama kayak polisi, Kominfo “hanya” akan melakukan patroli siber dengan alasan sama: mencegah penyebaran berita bohong. Apabila ada indikasi disinformasi di media sosial, pihaknya akan memberi tahu Bareskrim Polri.

“Di Kominfo ada peralatan yang melakukan patroli siber nonstop siang-malam, ada sif di sana, 24 jam mereka bekerja. Kalau ada [hoaks] itu harus dicegah, harus dibersihkan. Tidak saja untuk urusan UU Cipta Kerja ini, untuk semuanya. Termasuk juga untuk masalah Covid, semua itu emang pekerjaan itu,” ujar Johnny dilansir Detik.

Pembentukan opini publik dan melawan narasi kontra pemerintah dianggap banyak pihak tidak sejalan dengan tugas polisi sebagai pengayom masyarakat. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyampaikan, polisi seharusnya bertugas menjaga keamanan dan ketertiban, bukan mendukung agenda pemerintah.

“Selain itu [kata] ‘mendiskreditkan’ [dalam telegram Kapolri] adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan,” kata Isnur dalam keterangan tertulis, dilansir Kompas.

Menanggapi kebijakan polisi di internet ini, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan institusi tersebut memang sedang mendapatkan gelontoran dana besar-besaran untuk mendukung kinerjanya di dunia maya. Dalam tiga tahun terakhir, pengadaan peralatan pemantauan digital mencapai Rp1,025 triliun.

Rinciannya: pada 2017 ICW menemukan 3 paket pengadaan alat patroli siber dengan total Rp447,2 miliar. Pada 2018, ada pengadaan alat bernama media social analytic platform Bareskrim Polri sebesar Rp99,9 miliar. Lalu 2019 ditemukan lagi satu paket peralatan kontra dan cipta kondisi sosial media senilai Rp97,4 miliar. Pada 2020, ada empat pengadaan barang penunjang patroli siber dengan total Rp380,8 miliar.

Soal misinformasi dan disinformasi UU Cipta Kerja yang diterima dan disebar masyarakat, sebenarnya akarnya dari pemerintah dan legislatif juga. Hingga saat ini masih misterius seperti apa rupa UU Cipta Kerja versi draf final.