Konflik Papua

"Hukum Indonesia Tra Berlaku Buat Kami": Kisah Pilu Para Tapol Papua

Sejak awal, penangkapan aktivis-mahasiswa Papua di Jakarta penuh kejanggalan, termasuk ketika mereka dihalangi dapat asimilasi. Akar masalahnya adalah pasal makar yang tafsirannya amat karet.
Tahanan politik Indonesia penangkapan aktivis mahasiswa Papua di Jakarta penuh kejanggalan
Semua foto para tapol 'Jakarta Six' dari arsip Suarbudaya Rahadian.

Pesan WhatsApp masuk ke gawai Suarbudaya Rahadian pada 30 Agustus 2019 mengabarkan dua mahasiswa asal Papua ditangkap polisi di asrama di Kota Depok, Jawa Barat. Saat itu, Suar tengah berada di Surabaya dalam rangka peluncuran buku yang dibikin oleh Gereja Komunitas Anugrah (GKA), sebuah gereja nonarus utama yang dia kelola mandiri. Suar tidak terlalu kaget dan beranggapan eskalasi tindakan aparat tidak akan terlampau serius.

Iklan

Suarbudaya keliru. Keesokan harinya, 31 Agustus, dia kembali dapat kabar: Surya Anta Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, ikut diciduk oleh polisi di Plaza Indonesia. Selain Surya, polisi turut meringkus Charles Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Issay Wenda, Naliana Lokbere, Ariana Lokbere, dan Norice Kagoya.

"Setelah mendengar kabar itu, saya langsung sadar bahwa [penangkapan] ini enggak main-main," kata Suarbudaya kepada VICE. "Saya kemudian segera [balik] ke Jakarta."

Kedekatan Suarbudaya dengan orang-orang Papua di Jakarta tidak lahir dari ruang kosong. Gereja binaannya, yang berdiri pada 2013, sering dipakai berdiskusi seputar tema aspirasi sosial-politik masyarakat Papua. Interaksi tersebut terbangun lintas profesi dan disiplin: baik itu mahasiswa, aktivis, sampai pekerja biasa.

Sesampainya di Jakarta, Suarbudaya bergegas menuju Polda Metro Jaya. Di sana, menurut penuturan Suarbudaya, "tensi cukup tinggi." Pasalnya, dia harus berkali-kali dipermainkan aparat polisi ketika hendak mencari keberadaan para tahanan. Akhirnya, Suarbudaya mengetahui para tahanan tidak berada di Polda Metro Jaya melainkan dipindah ke Mako Brimob, Depok. "Puji Tuhan, waktu saya temui, mereka enggak [mengalami] luka-luka," terangnya.

Dari yang semula delapan orang, jumlah tahanan lantas susut menjadi enam—Naliana dan Norice dibebaskan—yang nantinya disebut oleh tim advokasi sebagai "Jakarta Six." Mereka adalah Charles, Surya Anta, Ambrosius, Dano, Issay, dan Ariana. Keenam orang ini ditangkap atas tuduhan makar terkait kasus pengibaran bendera Bintang Kejora sewaktu unjuk rasa damai depan Istana Negara pada 28 Agustus 2019. Oleh polisi, mereka disangkakan melanggar Pasal 106, 110, dan 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Iklan

Sepanjang Agustus 2019 adalah masa yang begitu panas bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Semua bermula dari insiden di Surabaya, pada 16 Agustus, ketika aparat melakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa di asrama yang berlokasi di Tambaksari dengan meneriaki mereka sebagai "monyet." Aparat yang pendek akal ini menuduh mahasiswa melecehkan bendera merah putih yang tidak terpasang sedemikian rupa—tergeletak di dalam saluran air.

"Karena kami tidak tahu soal itu [bendera merah putih] di dalam got. Kami minta bernegosiasi. Tapi, TNI menolak," ujar Dorlince Iyowau, salah satu mahasiswa yang berada di lokasi. "Dalam dua hari pemasangan [bendera itu] masih baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin tiba-tiba ada di got."

Tak sebatas rasis, aparat yang marah bersama Satpol PP dan ormas melempari batu, memaksa masuk asrama, sebelum akhirnya menangkap paksa 42 mahasiswa yang berada di dalam bangunan itu digelandang ke Mapolrestabes Surabaya. Aksi represif ini disertai pula kekerasan fisik yang menyebabkan lima orang luka-luka.

Di saat bersamaan, insiden serupa muncul di Semarang, Ambon, Ternate, hingga Malang tatkala aksi damai memeringati 57 tahun Perjanjian New York (New York Agreement)—yang mengatur ihwal pemindahan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia—secara serentak digelar di kota-kota tersebut.

Kondisi yang tidak kondusif itu membuat mahasiswa merasa tertekan sehingga banyak dari mereka memutuskan kembali ke kampung halaman. Total, ada sekira lebih dari dua ribu mahasiswa yang pulang ke Papua usai peristiwa di Surabaya pecah.

Iklan

Konsekuensi yang timbul pasca-insiden Surabaya berentetan munculnya. Perlawanan balik itu mewujud dalam demonstrasi besar-besaran meletus di Manokwari, ibu kota Papua Barat. Massa tumpah ruah di jalanan, memblokade akses transportasi, hingga membakar kantor DPRD setempat sebagai wujud kekesalan. Aksi massa yang sama juga hadir di Jayapura serta Sorong. Tuntutannya sejenis: hentikan rasisme aparat.

Sementara di Jakarta, respons terhadap perilaku rasis aparat di Surabaya menggema secara damai. Di depan Istana Negara, orang-orang Papua yang terdiri dari gabungan elemen sipil seperti aktivis sampai mahasiswa menyuarakan permintaan yang nyaring terdengar: "beri kami kebebasan." Namun, ketenangan tersebut tak berlangsung lama.

1590229768714-c68f3aa9-cc6f-4bf9-8e72-344657871d43

Dua hari setelah demonstrasi, polisi memburu orang-orang Papua. Mereka dianggap kelompok separatis, dan segala atribut buruk lainnya—yang punya keinginan makar dari Indonesia—setelah membentangkan bendera Bintang Kejora. Sama seperti kasus-kasus di kota yang lain, ada perilaku rasis dan tindak represif yang menyertai laku aparat.

Penangkapan aktivis dan mahasiswa di Jakarta kian memperlihatkan betapa Indonesia gagap melihat posisi politik (orang-orang) Papua.

"Kasus [penangkapan] mereka ini banyak kejanggalan," ucap Michael Hilman, anggota tim advokasi Jakarta Six, ketika dihubungi VICE.

Kejanggalan yang dimaksud, menurut Hilman, muncul sejak proses penggeledahan dan penangkapan. Hilman menegaskan polisi telah mengangkangi prosedur yang ada. Dalam kasus Charles dan Dano, misalnya, polisi tak memberikan surat penangkapan. Selain itu, mereka juga masuk tanpa izin dan melakukan penggeledahan secara paksa yang disertai tindakan sewenang-wenang, semisal menodongkan senjata api ke para penghuni asrama.

Iklan

"Kecuali memang tertangkap tangan, prosedur masuk ke rumah seseorang itu mesti disertai izin. Mereka [polisi] ini tidak. Asal main masuk aja," tandasnya.

Cacat prosedural tak berhenti sampai situ saja. Dalam konteks penetapan status tersangka, polisi hanya butuh waktu tiga hari menetapkan aktivis dan mahasiswa Papua sebagai tersangka tanpa lebih dulu memanggil mereka sebagai saksi. Ketentuan yang diterabas ini diatur lewat Perkap Nomor 14 tahun 2012 Jo Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Persyaratan lain agar seseorang dapat disebut sebagai tersangka yakni adanya bukti permulaan yang cukup, merujuk pada Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Konteks "bukti permulaan yang cukup" diartikan dengan keberadaan minimal dua alat bukti (Pasal 184 KUHAP) yang berbentuk keterangan saksi, ahli, terdakwa, surat, atau petunjuk.

Masalahnya, Michael bilang, polisi dinilai tidak cukup bukti menetapkan aktivis-mahasiswa Papua sebagai tersangka. "Masa hanya karena membawa bendera [Bintang Kejora] lantas disebut makar?" tanya Michael. "Yang dilakukan polisi ini banyak yang tidak sesuai KUHAP sehingga [jadi] tidak equal."

Isu "makar" menjadi topik serius yang muncul pasca-reformasi. Penggunaan pasal makar sendiri telah banyak dikritik oleh kalangan aktivis maupun pakar hukum karena sifatnya yang karet serta beberapa kali dipakai membungkam suara kritis atau oposisi.

Iklan

Dalam KUHP, tercatat, ada beberapa jenis makar: makar terhadap keselamatan presiden dan wakil presiden (Pasal 104 KUHP), makar wilayah negara (Pasal 106), sampai makar pemerintahan (Pasal 107). Masalahnya, kata "makar" merupakan produk salah tafsir dari kata aslinya: aanslag, berarti serangan, yang dulunya termaktub dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS-NI)—sebelum diterjemahkan dan diadopsi menjadi KUHP pasca-kemerdekaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "makar" didefinisikan sebagai akal busuk, tipu muslihat, maupun perbuatan dengan maksud menyerang orang.

Kekeliruan ini lantas membuat implementasi hukumnya menjadi serampangan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), lembaga penelitian dan advokasi yang fokus pada isu hukum, menyebut pasal makar dapat menciptakan inkonsistensi dalam penerapannya. Artinya, pasal makar bisa dipakai aparat menjerat mereka yang cuma mengibarkan bendera identitas wilayahnya sebab dinilai tengah berupaya memisahkan diri dari NKRI atau mempersiapkan serangan terhadap pemerintahan yang sah.

Usaha mengembalikan makna makar pada bentuk aslinya, aanslag, pernah dilakukan ICJR pada 2017. Oleh Mahkamah Konstitusi (MK), upaya tersebut dipatahkan. MK, yang waktu itu dipimpin Arief Hidayat, memutuskan kata "makar" tetaplah konstitusional.

Sebelum aktivis-mahasiswa asal Papua, pasal makar lebih dulu menjerat Eggi Sudjana, seseorang bernama HS, serta Kivlan Zen. Eggie dan Kivlan dituduh melanggar Pasal 107 KUHP karena menggaungkan “people power” dalam rangka menolak hasil Pilpres 2019 yang dimenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin.

Iklan

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menyatakan di luar faktor teknis berupa salah tafsir, betapa karetnya pasal makar juga disebabkan penegakan hukum yang lemah dan tidak independen. "Kasus makar banyak yang tidak disertai dengan bukti-bukti kekerasan," jelasnya kepada VICE.

Selanjutnya, kata Usman, adanya kekakuan ideologi baik di tingkat elite politik maupun aparat keamanan yang merupakan hasil dari indoktrinasi Orde Baru. "Ketika ada yang menganggu kekuasaan, maka solusinya adalah [dengan] hukum. Ini termasuk para elit atau aparat yang langsung marah ketika ada pemandangan yang dinilai mencederai kesatuan NKRI," tambah lulusan Universitas Trisakti sekaligus pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini.

Dalam kasus Jakarta Six, pengusutan kasus dimulai tak lama setelah polisi menerima laporan dari pimpinan ormas Laskar Merah Putih, Adek Erfil Manurung. Berbekal video berisikan aksi pengibaran bendera Bintang Kejora yang diunggah Suara.com, Adek kemudian berinisiatif untuk mengambil langkah hukum. Yang perlu diperhatikan: Adek tak pernah kenal enam orang asal Papua yang dijadikan tersangka. "Bagi kami, Bintang Kejora adalah tindakan separatisme," ujarnya. "Kita tidak terima hal-hal itu. Karena kita cinta terhadap NKRI."

Menjadikan enam aktivis-mahasiswa asal Papua sebagai tersangka makar, menurut Suarbudaya, adalah keputusan keliru. Pasalnya, mereka hanya berdemonstrasi secara damai dengan, salah satunya, mengibarkan bendera Bintang Kejora. Tak ada upaya sistematis yang ditujukan guna memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melawan pemerintahan yang resmi lewat pendudukan pos-pos strategis.

Iklan

"Mereka cuma mengekspresikan aktivisme politiknya. Tujuan utama [aksi demonstrasi 28 Agustus] adalah tuntutan untuk mengadili pelaku [rasisme]. Lagi pula, makar itu suatu tindakan yang tergolong berat. Masa iya mereka mengibarkan [bendera] Bintang Kejora saja langsung dicap perbuatan makar?" tanya Suarbudaya.

Derita tahanan asal Papua terus berlanjut. Di Mako Brimob, para tahanan diawasi dengan penjagaan ekstra ketat yang membuat tim advokasi maupun pendamping kesusahan bertemu. Mereka rutin diperiksa dalam intensitas yang tinggi sampai berjam-jam lamanya.



Kondisi para tahanan di dalam sel pun memprihatinkan. Mereka ditempatkan di ruang yang kecil, tanpa sirkulasi udara yang memadai, dan hanya diperbolehkan menghirup udara segar selama maksimal 45 menit setiap harinya. Kesehatan mental mereka seketika terdampak: beberapa ada yang depresi, muntah-muntah, sampai berkeinginan bunuh diri. Tim advokasi melayangkan protes. Akan tetapi, oleh kepolisian, yang saat itu diwakili Argo Yuwono (sekarang Kadiv Humas Polri), protes tersebut ditampik seraya menegaskan bahwa para tahanan tidak berada dalam kondisi isolasi khusus.

Menggugat kesewenangan aparat lalu menjadi usaha berikutnya yang ditempuh tim advokasi Jakarta Six. Menjelang 2019 tutup buku, mereka melayangkan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Namun, praperadilan mereka ditolak Agus Widodo, hakim tunggal, yang menganggap poin permohonannya cacat formil dan materiil.

Iklan

Usai praperadilan gugur, para tahanan lantas dipindahkan dari Mako Brimob ke rutan Salemba (sebanyak lima orang) dan Pondok Bambu (satu orang). Situasi tak serta merta membaik. Tekanan terus mengintai mereka. Dari yang semula tertekan karena merasa seperti diisolasi, kali ini tekanan muncul sebab mereka mesti bertemu dengan banyak kerumunan. Sebagai obat penawar, kapel di dalam rutan Salemba seringkali dipilih para tahanan untuk sekadar menenangkan diri.

Cerita di dalam rutan tak selamanya nelangsa. Seiring waktu, tahanan asal Papua berhasil menjaring solidaritas dan rasa hormat dari sesama tahanan. Mereka dianggap menjadi simbol perjuangan kebebasan. “Setiap habis sidang, kami selalu orasi di depan pengadilan. Itu yang mungkin membuat tahanan lain bersimpati," terang Suarbudaya.

April 2020, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat mengeluarkan vonis terhadap enam tahanan asal Papua. Mereka didakwa dengan tuduhan makar dan pemufakatan jahat yang tertuang lewat Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP atau Pasal 110 ayat (1) KUHP. Oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), lima tahanan dituntut 17 bulan penjara dan sisanya, Issay, 10 bulan. Hakim berkata lain. Dano, Suryanta, Ambrosius, Charles, serta Arina diputus bersalah dan divonis 9 bulan penjara. Sementara Issay memperoleh vonis 8 bulan.

"Hakim, dalam pertimbangannya, ada keragu-raguan. Ini juga jadi hal yang ganjil. Karena, di dunia hukum sendiri, kita kenal ada istilah jika hakim ragu, maka terdakwa mesti dibebaskan—in dubio pro reo," ungkap Michael menanggapi putusan hakim. Gambaran keraguan tersebut, Michael bilang, terlihat kala hakim menegaskan bahwa aksi terdakwa termasuk aksi damai di samping menyatakan kasus makar membuka tafsir bermacam rupa sehingga melahirkan pro dan kontra.

Iklan

"Belum lagi fakta bahwa kenapa kalau kasusnya makar tapi [mereka] dihukum dengan vonis yang, katakanlah, rendah [hanya hitungan bulan]?"

Aktivis dan mahasiswa yang masih ditahan di Jakarta memperoleh status sebagai tahanan politik, atau biasa disebut “tapol.” Sejauh ini, total, ada 63 tapol yang bernasib segendang-sepenarian: dipenjara karena dianggap separatis maupun hendak merencanakan teror terhadap pemerintahan yang sah. Rincian para tapol yang ditahan terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang Polandia. Semua dijerat menggunakan Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP tentang makar dengan ancaman bui selama maksimal 20 tahun.

Di Wamena, misalnya, polisi menahan Jakub Skrzypski (Polandia) dan Simon Magal pada 2018. Dua orang ini masing-masing divonis empat dan tujuh tahun penjara karena tuduhan makar. Di Ambon, pasangan Izaak Siahaja dan Pelpina Werinussa diringkus aparat sebab kedapatan menyimpan bendera RMS (Republik Maluku Selatan) di dalam rumah mereka.

Siahaja divonis 5,5 tahun penjara, sedangkan Werinussa—bersama tiga orang lain yang saat penangkapan berada di rumah mereka: Johan Noya, Basten Noya, dan Markus Noya—dihukum lima tahun penjara. Alasan vonis tak jauh beda: tuduhan makar.

Insiden lebih serius muncul di Fakfak. Akhir 2019, polisi menangkap 23 orang, mayoritas petani, saat mereka tengah berjalan dari Desa Warpa dan Pikpik menuju Fakfak merayakan peringatan kemerdekaan Papua Barat dari Belanda yang jatuh pada 1 Desember. Mereka dijerat pasal makar dan sekarang tengah menunggu persidangan.

Iklan

Keadaan para tapol bisa dibilang tak pernah ideal. Laporan yang disusun TAPOL, organisasi non-profit yang berfokus pada isu HAM serta berkantor pusat di Inggris, berjudul Tidak Ada Tahanan Politik? Pembungkaman Protes Politik di Papua Barat menerangkan para tapol kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif: mulai dari dibatasinya akses mereka bertemu pengacara atau keluarga hingga tidak dipenuhinya hak-hak dasar mereka—seperti kesehatan—oleh otoritas terkait.

Sejarah tapol di Indonesia adalah catatan gelap bangsa ini. Di era Orde Baru, tapol lekat dengan kelompok kiri. Mereka yang jadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), atau setidaknya punya afiliasi terhadap partai tersebut, hampir pasti kena sikat personel Angkatan Darat dan ormas-ormas binaannya. Langkah pembersihan ini bersifat sistematis dan dijalankan di berbagai daerah. Buktinya dapat dilihat manakala Orde Baru membikin sistem klasifikasi untuk mengelompokan tahanan tertentu.

Ada tiga tipe pembagian. Pertama, kategori A, yakni mereka yang dinilai terlibat langsung dalam usaha kudeta. Ketika berhasil ditangkap, mereka akan diadili di pengadilan. Kedua, kategori B, atau mereka yang dianggap secara tidak langsung terlibat kudeta. Peran yang mereka lakukan bisa dalam bentuk pemberian dukungan terhadap rencana kudeta maupun memimpin organisasi massa terkait. Konsekuensi yang mesti diterima orang-orang kategori B yaitu penjara. Mereka bakal dibebaskan asalkan bersedia meninggalkan paham komunis dan kembali memeluk nilai-nilai Pancasila. Kategori terakhir, C, terdiri dari orang-orang yang terindikasi terlibat secara langsung atau tidak terhadap percobaan kudeta 1965. Biasanya, mereka hanya ditangkap untuk diinterogasi sebelum nantinya dibebaskan.

Iklan

Dalam rentang lima tahun, dari 1965 sampai 1969, ada kurang lebih 73.542 orang yang ditangkap dan ditahan sehubungan dengan tuduhan terlibat percobaan kudeta. Mereka tersebar di 350 penjara dan kamp konsentrasi di seluruh wilayah Indonesia, dari Tangerang hingga Pulau Buru, Maluku. Akan tetapi, bagi banyak pihak, angka yang dilaporkan Orde Baru itu dinilai tak cocok dengan fakta di lapangan. Amnesty International, ambil contoh, menyebut jumlah tahanan politik bisa mencapai lebih dari 100 ribu orang.

Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal tindak pidana politik. Ini kemudian mengakibatkan penegakan atas kasus yang berhubungan dengan aspirasi maupun ideologi politik ditindak menggunakan pasal makar. Alasannya jelas terpampang: pemikiran politik yang tidak sejalan dengan konsep "NKRI Harga Mati".

Orde Baru meninggalkan noktah hitam tentang tapol. Reformasi belum sepenuhnya menghapus cela itu dengan baik.

Sati Kossay langsung lemas ketika dia mendengar sang kakak, Charles, ditangkap polisi pada 31 Agustus 2019. "Awalnya, aku tak percaya. Sampai akhirnya kabar [penangkapan] itu beredar di grup WhatsApp, baru aku percaya," cerita perempuan 22 tahun ini kepada VICE. "Aku tak berdaya dan marah."

Sang kakak menurutnya ditangkap dengan prosedur yang asal-asalan. Selain itu, dia merasa Charles tidak terlalu aktif dalam pergerakan politik. Di luar aksi damai di depan Istana Negara tiga hari sebelum penangkapan, Charles, sepenuturan Sati, "jarang berorganisasi."

Iklan

Awan gelap kian menyelimuti pikiran Sati tatkala Charles divonis bersalah dan diharuskan mendekam di bui selama 9 bulan lamanya. Sati begitu kecewa dan kehilangan sebab bagi Sati, Charles sudah dianggap seperti figur seorang ayah.

"Kalau ada apa-apa aku pasti cerita ke Kak Charles. Setelah pulang kerja, ketika dia capek, aku tetap curhat dan dia akan mendengarkan," tuturnya. "Termasuk saat aku tak punya uang, aku pasti minta Kak Charles."

1590229821479-88f25009-0797-46de-9c0e-d8fe74fcd699

Momen 12 Mei 2020 jadi hari yang dinanti-nanti Sati. Pasalnya, Charles, beserta tahanan lain, akan bebas lebih cepat dari vonis berkat kebijakan asimilasi yang digaungkan Kementerian Hukum dan HAM sehubungan dengan pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan penjara yang berlebih kapasitas. Demi menyambut kebebasan sang kakak, Sati menyiapkan aneka sajian masakan khas Papua.

Harapan Sati kandas bak ditelan bumi. Charles dan tahanan lainnya gagal bebas di detik-detik terakhir, kendati memenuhi seluruh persyaratan administratif, termasuk menjalani rapid test. Petugas lapas datang menghampiri mereka dan mengatakan proses pembebasan terhalang Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang memuat ketentuan larangan pemberian asimilasi kepada narapidana yang melakukan "kejahatan terhadap negara." Ketentuan tersebut hanya berlaku kepada lima tahanan saja dan tidak dengan Issay Wenda yang bebas pada 28 April lalu.

Kejadian yang menimpa tapol Papua berkebalikan dengan imbauan juru bicara Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville. Dia menegaskan selain orang tua, difabel, dan wanita hamil, kelompok tahanan yang mesti segera dibebaskan dalam menyikapi wabah yakni tahanan politik, aktivis HAM, maupun jurnalis yang dipenjarakan sebab bersuara kritis.

"Di sini malah kebalik. Karena pertimbangan kemanusiaan, semestinya tahanan politik itu diprioritaskan," kata Suarbudaya dengan nada kecewa.

VICE meminta konfirmasi Nugroho, selaku Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, tapi hingga artikel ini dilansir, tidak ada jawaban dari Nugroho.

Urung bebasnya Charles bikin Sati kecewa untuk kedua kalinya. Dia merasa ketidakadilan tersebut didasari pandangan “karena kami orang Papua." Kekecewaan tak cuma dirasakan Sati. Chika Tabuni, istri Dano, turut merasakan hal serupa.

Hampir sembilan bulan tanpa kehadiran Dano, Chika menjalani semuanya seorang diri, termasuk berkali-kali diawasi oleh intel berpakaian preman. Pembebasan yang tertunda membuat Chika harus menahan rindu sedikit lama lagi kepada sosok sang suami. "Yang dikangenin dari Dano itu keusilan dia. Dia suka banget ngejahilin saya, terutama waktu tidur. Itu yang selalu bisa bikin saya senang," ungkapnya sembari tertawa.

Chika tak ingin muluk-muluk berharap. Dia hanya ingin segera bertemu sang suami dalam kondisi normal agar dia bisa melakukan rutinitas yang sebelumnya urung terlaksana, seperti merayakan hari jadi pernikahan sampai Natal.

Hal senada turut diungkap Naliana Lokbere, adik kandung dari Arina, yang mengatakan dirinya sudah begitu kangen akan kehadiran sang kakak. "Kak Arina itu tempat curhat buat aku. Dia juga jadi temen organisasi. Dia lebih dari seorang kakak," ucap perempuan yang sempat ditahan 1x24 jam pada malam penyergapan itu ketika dihubungi VICE.

Sati, Chika, dan Naliana memang kecewa dengan penundaan pembebasan orang-orang terdekat mereka. Meski demikian, mereka tetap berbahagia. Pasalnya, akhir Mei, di mana para tapol bakal bebas sesuai masa hukuman, tinggal sebentar lagi.

Tapol Papua di Jakarta bebas setelah melalui jalur berliku. Namun, tidak dengan tapol lainnya yang masih mendekam dalam tahanan. Satu hal yang patut dicatat, kejadian seperti ini berpotensi terus terulang pada orang-orang Papua, karana seperti yang dikatakan Chika, "Hukum Indonesia tra berlaku buat kami."

Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram