FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Koki Bagus Tahan Banting Sekarang Makin Langka di Industri Restoran

Banyak anak muda bermimpi jadi koki karena berpikir ini profesi keren. Tapi, kalau kamu cuma mengincar ketenaran, masuk TV dan pengen punya waralaba restoran, mendingan jangan ngarep jadi koki deh.
Photo via Flickr user mattfour

Opini ini tayang pertama kali di MUNCHIES

Menemukan koki yang bagus bukan perkara enteng belakangan. Beneran deh. Saya tidak bercanda. Malah, asal kalian tahu ya, beberapa restoran terbaik di muka bumi—yang punya daftar tunggu panjang bagi para koki yang ingin menjajal kemampuannya di sana—merasakan hal yang sama. Restoran-restoran ternama ini memang tak pernah kekurangan koki, tapi menemukan koki yang mumpuni itu perkara lain lagi. Ada banyak koki muda penuh potensi di luar sana. Sayang, mereka umumnya tak mau bersusah payah menggembleng diri di dapur-dapur restoran tertentu. Contohnya, kamu pasti pernah menemui seorang koki muda yang sudah memasak untuk sebuah restoran ternama selama setahun penuh. Tak lama berselang, sang koki muda ini menjadi seorang sous chef di sebuah restoran hip yang buka cabang di kawasan ngetren di kotamu. Umumnya, para koki muda ini cuma menjalani profesinya lantaran menjadi koki adalah pekerjaan yang keren untuk anak punk, metalhead atau hipster yang tubuhnya mirip pameran tato berjalan.

Iklan

Nyaris tak ada yang memperhatikan apakah koki-koki ini punya latar belakang pendidikan kuliner yang memadai. Di saat yang sama, dapur restoran terus mencari koki-koki baru. Belum lagi, terdapat semacam pemikiran pragmatis yang bilang “Halah, siapa yang peduli pendidikan kuliner? Ini cuma masalah makanan doang kok.”

Sebenarnya, kamu juga bisa jadi koki dalam waktu singkat kalau mau. Modalnya gampang kok: sedikit gairah, akses internet yang lancar, buku-buku resep mahal serta sedikit waktu untuk berlatih. Niscaya, kamu akan menjelma menjadi koki songong, elitis dan yang tak bisa masak apapun.

Saya pertama kali bekerja di restoran pada saat berulang tahun ke-15. Nama restorannya Trattoria. Letaknya di Savannah, Georgia. Pokoknya, restoran ini cupu banget dan tidak terkenal sama sekali. Saya hanya sempat bekerja selama setahun di sana. Koki yang saya anggap sebagai seorang mentor pindah ke sebuah restoran fine dining yang letaknya tak jauh dari restoran cupu itu. Saya juga ikut-ikutan pindah. Saat itu, restoran fine dining ini dianggap sebagai salah satu restoran terbaik di Savannah. Pengakuan ini sebenarnya lebay dan tak penting-penting amat. Namun, setidaknya, restoran fine dining ini memperkenalkan saya pada kancah restoran yang keras. Di restoran ini, saya digembleng habis-habisan. Malah, kalau boleh jujur, saya diplonco dengan keras di sana. Buktinya, saya sering kena pecut handuk yang terlebih dulu dicelup ke deep fryer. Sudah pasti rasanya panas sekali dan meninggalkan bekas. Meskipun saya kurang sreg dengan gaya melatih koki muda seperti ini—makanya, saya tak mengizinkan metode macam ini di restoran saya—harus saya akui, penggojlokan model ini punya tujuan tersendiri. Kamu boleh menudingnya sebagai cara-cara militer, tapi pelatihan macam ini bertujuan untuk membentuk mental baja. Penting bagimu—atau siapapun yang bercita-cita menjadi koki—untuk melewati penderitaan serta trauma fisik dan emosional ini. Tujuannya agar kelak kalau sudah jadi koki betulan, fisik dan mentalmu sudah siap; Tak ada satupun hal yang bikin kamu jiper saat memasak di dapur sebuah restoran.

Iklan

Saya tak kenal satupun koki muda yang sudah pernah nampang di sampul majalah kenamaan. Saya cuma berpikir tampang-tampang itu cuma dipasang di sana agar artikelnya lebih enak dibaca. Menurut saya sendiri, koki-koki ini keblinger. Saya bukan iri loh ya. Saya cuma merasa mereka belum punya kemampuan memasak yang cukup untuk mejeng di sampul majalah terkenal. Ini mirip seperti seorang yang langsung belajar trigonometri dan kalkulus tanpa terlebih dahulu memahami dasar-dasar matematika seperti pertambahan atau pembagian.


Tonton dokumenter VICE saat mendalami kuliner yang asyik di Pecinan Jakarta:


Andai saja semua koki mengambil jalur singkat untuk mencapai ketenaran seperti ini, entah apa jadinya industri kuliner di masa depan? Meski demikian, saya senang-senang saja melihat anak muda zaman sekarang punya ketertarikan yang mendalam terhadap seni memasak dan bermimpi menjadi seorang koki. Masalahnya, mereka tak seharusnya tampil di TV. Yang perlu mereka lakukan adalah turun dan belajar di dapur restoran jika memang mereka ingin sekali menimba ilmu memasak—bukan cengar-cengir di depan kamera. Kecuali memang tujuan mereka dari awal adalah menjadi koki TV. itu beda soal. Dan kalau itu tujuan mereka, saya sih cuma bisa mendoakan agar mereka berhasil walau sebenarnya koki TV bukanlah seorang koki dalam pengertian yang sebenarnya.

Asal kalian tahu, koki atau chef diambil dari kosa kata dalam bahasa Perancis yang berarti “pemimpin” atau seorang pengemban tanggung jawab. Belakangan, istilah koki sudah dipahami dengan cara yang salah. Kita semua adalah koki. Malah, kita mendaku sebagai seorang koki ketika tengah memegang kuasa atas sebuah dapur. Sejatinya, kalau seseorang memang memendam hasrat menjadi seorang koki mumpuni, saya sih masih percaya yang perlu dia lakukan adalah menggembleng dirinya di dapur sebuah restoran minimal sepuluh sampai 12 tahun sebelum memikirkan untuk membuka restorannya sendiri. Kadang proses pembentukan seorang koki bisa berjalan lebih lama dari itu. Misalnya, untuk menjadi sushi master, seorang calon koki harus berguru pada seorang master hingga 25 tahun. Tak hanya itu, di lima tahun pertamanya, dia tak diperkenankan menyentuh ikan sama sekali. Sayangnya, Koki-koki baru umumnya ingin memotong proses panjang ini dan langsung meloncat ke tatanan paling atas dalam dunia kuliner. Dan bangsatnya lagi, mereka berhasil.

Iklan

Kini, di zaman media sosial ini, segalanya bisa diakses dengan mudah setiap saat. Kamu bisa mengundurkan diri dari pekerjaanmu dan menjadi koki cuma dalam satu atau dua bulan, asal kamu mau. Lalu, apa arti semua ini bagi kami koki bangkotan yang menghabiskan seumur hidupnya bekerja keras dan menempa kemampuan kami di dapur restoran? Apa kami cuma menyia-nyiakan umur kami? Banyak orang sih tak peduli. Selama kamu bisa menyajikan santapan—yang di mata mereka—kelihatan mengundang nafsu makan dengan cepat (bahkan kalau kamu cuma menirunya plek-plekan dari sebuah buku resep masak) sekalipun itu bukan intepretasi sebuah resep menarik, kamu tetap seorang koki. Mereka toh tak peduli-peduli amat akan kualitas makanannya karena mereka tak pernah menyantap versi asli makanan itu. Segalanya jadi runyam dan saya ingin semua koki-koki karbitan ini menyadarinya. Saya ingin mereka kembali merenungi jalan hidup Wolfgang Puck, celebrity chef pertama dalam sejarah. Dia sudah memasak beragam macam santapan seumur hidupnya, tapi namanya baru dikenal saat ini ketika usianya menjelang senja. Kendati begitu, saya berani taruhan dia bisa dengan mudah memasak makanan yang jauh lebih lezat dari kita semua, apalagi dari sekadar koki-koki karbitan yang muncul belakangan.

Waktu saya remaja dan mulai tertarik menjadi koki di awal dekade 90-an, internet belum bisa diakses semua orang. Koneksi dial-up AOL baru bisa dinikmati segelintir orang. Saya tak punya akses melimpah seperti yang dimiliki koki-koki muda saat ini. Saking kupernya, saya tak pernah tahu nama-nama restoran top di dunia, saya tak cara mencari bahan-bahan yang dibutuhkan dalam sebuah resep makanan. Sumber-sumber pengetahuan kuliner saya hanya berasal dari ensiklopedia dan buku-buku resep yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Saya membaca buku resep pertama saya , The French Laundry Cookbook, mungkin sampai 1.000 kali. Saya menghapal semua resep di dalamnya. Malah, saya sering kena tegur di sekolah karena lebih sering memusatkan perhatian saya pada resep-resep dalam buku itu alih-alih pada materi yang diajarkan guru. Suatu kali, saya belajar membuat bernaise. Saya tak tahu sebagian besar bahan dan bumbunya. Saya belum pernah melihat kubis savoy, foie gras atau bahkan roti manis. Jangankan melihat, nama-nama bahan itu saja masih asing di kuping. Walaoun begitu, saya tahu cara mengolah masing-masing bahan itu.

Iklan

Ada satu istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan koki-koki muda zaman sekarang: kreativitas. Mentor saya, Thomas Keller, tak akan setuju tentang hal ini. Tak ada yang namanya kreativitas dalam memasak. Malah, ini adalah kata beracun yang sering disalahartikan dan memberikan seseorang legitimasi palsu. Dulu waktu saya masih remaja dan gemar membaca buku TFL, saya sering sok-sokan menulis menu berdasarkan gambar sajian makanan dalam buku itu. Saya melakukannya semata karena ini pekerjaan yang mengasikan. Kadang saya akan memandangi foto makanan dan saya tak pernah tahu bahan apa saja yang dipakai untuk membuatnya. Lantas, saya pun berpikir unruk menirunya setidaknya secara visual. Pertanyaanya selalu sama: bagaimana saya harus melakukannya?

Meniru sesuatu tetaplah bukan kreativitas—bahkan ketika kita menambahinya dengan intepretasi kita sendiri. Dan meski kami para koki sudah berkali-kali meniru koki-koki legendaris, kami sadar kami tak bisa dibilang kreatif. Dulu, waktu masih remaja, saya sering menghasilkan makanan yang absurd. Tapi, itukan dulu, 15 tahun lalu. Saya belum tahu apa-apa dan ilmu saya masih cetek. Seingat saya, saya pernah menyajikan makanan-makanan aneh seperti pigeon liver mousse, apricot sorbet, dan lavender caramel, yang kedengarannya keren, padahal, saya sebenarnya tak tahu apa yang saya masak.

Preferensi kita akan rasa berubah drastis. Dan ini tak sekadar mencakup suka atau tidak suka, tapi persepsi kita juga. Miriplah seperti perjalanan seorang menjadi sommelier. Pertama kali seseorang mencoba anggur, dia tak akan mengerti apa yang mereka cicipi. Dia bahkan tak bisa memutuskan menyukai atau membenci anggur atau tidak dua-duanya sama sekali.

Nah, begitu orang ini berniat menjadi sommelier, dia harus mulai memusatkan segala inderanya pada wine-wine yang dia rasakan. Dia harus menciptakan semacam perpustakaan rasa dalam dirinya. Dia harus tahu bagaimana rasa wine memengaruhi dirimu. Kamu harus tahu cara mendeskripsikan rasa itu pada dirimu sendiri dan kamu harus bisa mengingat-ingat rasa ini. Menjadi koki juga tak jauh berbeda, inderamu akan berkembang seiring waktu dan lama-lama kelamaan inderamu akan bisa kamu percayai. Contohnya, setelah memasak sedemikian lama, kini saya bisa menebak bahan sebuah makanan—serta apa yang kurang dan kelebihan—hanya dengan mencicipinya saja.

Menjadi seorang koki bukan sebuah perkara mudah. Ini profesi yang berat. Kamu bisa kehilangan teman, menghancurkan sebuah hubungan personal dan jadi orang yang susah disayang cuma karena jadi seorang koki. Asal kamu tahu, banyak loh yang depresi lantaran melakoni pekerjaan sebagai seorang koki. Makanya, kamu hanya boleh jadi koki kalau benar-benar menginginkannya. Jadi, kalau kamu berniat jadi koki cuma karena koki itu pekerjaan keren, kamu akan menghadapi kesengsaraan hidup di tempatmu bekerja. Lagipula, akan jadi mubazir kalau kamu iseng menjadi koki, mengerahkan segala daya upayamu lalu menyerah beberapa tahun kemudian. Lagipula, selama prosesnya, kamu toh tak akan dapat banyak uang.

Pendeknya, kecuali kamu bersiap menjalani proses yang panjang dan memiliki keinginan kuat, jangan sekali-kali bermimpi jadi koki. Mending nonton Top Chef saja sana!