LGBTQ di Indonesia

Berdasar Survei Terbaru, Makin Banyak Orang Indonesia Bisa Menerima Komunitas LGBTIQ

Belum signifikan, tapi ada peningkatan persepsi positif dibanding data tujuh tahun lalu. Pengiat HAM dan aktivis LGBTIQ punya respons beragam terhadap survei tersebut.
Survei PEW Sebut Makin Banyak Orang Indonesia Bisa Menerima Komunitas LGBTIQ
Salah satu poster bernada inklusivitas dari Women's March di Jakarta pada 2017. Foto oleh Arzia Wargadiredja/VICE

Sebuah survei mengenai tema penerimaan terhadap komunitas LGBTQ dirilis lembaga penelitian dari Amerika Serikat, Pew Research Center, pada 25 Juni lalu. Survei dilakukan Mei-Oktober 2019, untuk mengetahui tingkat penerimaan 40 ribu orang di 34 negara terhadap homoseksualitas.

Hasilnya: secara global, lebih banyak masyarakat sekarang yang menerima homoseksualitas dibanding persentase yang didapat survei serupa pada 2013. Tren tersebut juga berlaku di Indonesia, yang mana persentase masyarakat yang menerima homoseksualitas naik dari 6 persen ke 9 persen. Walau, angka ini cukup menyedihkan jika dibandingkan negara jiran Filipina (73 persen) dan Australia (81 persen).

Iklan

Saat dimintai komentarnya oleh The Jakarta Post, aktivis LGBTIQ Hartoyo mengungkapkan harapan positif terkait hasil riset ini. "Meskipun angkanya masih sedikit, saya percaya bahwa mereka [9 persen orang yang setuju] adalah pembawa perubahan," ujar Hartoyo kepada The Jakarta Post."Saya sangat optimistis karena memang tidak ada alasan fundamental untuk menolak keberadaan komunitas LGBTIQ sebagai seorang manusia. Mungkin suatu hari, kita bisa mencapai perbandingan 40:60 di mana 40 persen mendukung LGBT. Tapi, 40 persen orang itu akan membuat keputusan-keputusan penting untuk negeri ini."



Meski hasil survei kali ini cukup positif, pegiat HAM sekaligus Tim Kampanye Amnesty International Indonesia (AII) Aldo Marchiano mengingatkan pentingnya konsistensi menekan pemerintah untuk merespons berbagai tindakan diskriminasi terhadap orang LGBTIQ yang masih saja terjadi.

Kepada VICE, Aldo menceritakan tahun ini saja, AII sudah mencatat dua kasus besar terkait ancaman kepada LGBTIQ. Pertama, razia pemerintah kota Depok terhadap LGBTIQ. Kedua, pembakaran hidup-hidup transpuan di Jakarta Utara. Aldo dan AII menganggap dua kasus ini sangat membahayakan.

"Karena peningkatan kepercayaan publik apabila tidak dibarengi dengan respons yang perlu dan proporsional dari pemerintah sama saja bohong. Tanpa itu, akhirnya enggak akan ada perlindungan yang nyata bagi kawan kawan LGBTIQ," ujar Aldo kepada VICE. "Banyak sekali pejabat publik yang melontarkan intimidasi terhadap kaum LGBTIQ melalui kebijakan daerah diskriminatif maupun pernyataan publik, meski pada kenyataannya, enggak ada UU di Indonesia yang mengkriminalisasi LGBTIQ."

Iklan

AII memberi lima rekomendasi untuk melenyapkan diskriminasi LGBTIQ dari Indonesia. Pertama, bentuk lembaga yang imparsial dan independen demi menyelidiki berbagai kasus pelanggaran HAM yang menarget LGTBIQ. Kedua, bawa semua pelakunya ke pengadilan. Ketiga, reparasi bagi korban melihat banyaknya tuntutan korban yang tidak digubris pemerintah. Keempat, hentikan kriminalisasi LGBT oleh pejabat daerah. Kelima, bebaskan kawan LGBTIQ yang dikriminalisasi atas tuduhan melanggar norma.

Aldo menilai, makin beragamnya akses informasi berperan membuat homoseksualitas makin ditoleransi. "Kalau boleh berspekulasi, di media sosial sendiri masyarakat sudah mulai punya opsi terkait informasi seputar LGBTIQ. Mereka udah punya sumber informasi untuk menandingi pernyataan publik oleh pejabat-pejabat kita yang ngawur dan tidak berlandaskan fakta. Menurut saya, mungkin itu bisa jadi salah satu faktor meningkatnya respons penerimaan masyarakat," ujar Aldo.

Aktivis sekaligus advokat hak LGBTIQ dari The ASEAN SOGIE Caucus Lini Zurlia tidak terlalu gembira dengan hasil survei ini. Kepada VICE Lini mengatakan, angka 9 persen ini justru memprihatinkan. Melihat metodologi survei, setelah stagnan di 3 persen pada survei Pew 2013 dan 2016, Lini menduga kenaikan penerimaan di survei ini dipengaruhi oleh penambahan sampel Indonesia yang awalnya 1.000 menjadi 1.200 sampel.

"Awalnya ada 1.000 sampel [2013], terus selanjutnya ditambah 98 orang pada 2017 dengan hasil stagnan di 3 persen [2016]. Belakangan ditambah 200-an orang pada 2019 dan angka bertambah jadi 9 persen. Jangan-jangan angka bertambah karena kebetulan ketambahan sampel orang yang agak ‘ open’. Jadi, malah sebenarnya miris ya. Tahun 2020 angka penerimaan kita dengan sampel yang cuma 1.200 malah cuma 9 persen. Saya tidak terkejut. We can do more, we can do better,” ujar Lini kepada VICE.

Lini menambahkan, hasil survei juga tidak bisa serta-merta dianggap melambangkan penerimaan masyarakat umum pada berbagai minoritas seksual, karena pertanyaannya lebih mengacu tentang homoseksualitas, belum mencakup spektrum LGBTIQ yang lebih luas.

Namun, senada dengan Aldo, peningkatan penerimaan terjadi karena masyarakat kini bisa menerima informasi soal LGBTIQ dengan mudah berkat internet. "Pengetahuan orang dulu masih iyuh karena belum banyak pengetahuan yang bisa diakses. Tapi, akhir-akhir ini jadi lebih mudah [karena internet]."