hukum

Batal Bebas, Bapak Pemerkosa Anak Kandung di Aceh Divonis MA 200 Bulan Penjara

Sebelumnya, pelaku divonis bebas oleh mahkamah syariah. Advokat menyebut mayoritas kasus kekerasan seksual pada anak di Aceh dilakukan orang dekat.
Batal Bebas, Bapak Pemerkosa Anak Kandung di Aceh Divonis MA 200 Bulan Penjara
Ilustrasi salah satu terpidana pengadilan syariah di Banda Aceh yang hendak dihukum cambuk. Foto oleh Chaideer Mahyuddin/AFP

Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Aceh Besar terkait kasus pemerkosaan yang menyita perhatian masyarakat Negeri Serambi Makkah. Sebelumnya, pelaku yang berinisial MA divonis bebas dalam kasus pemerkosaan anaknya sendiri oleh Mahkamah Syariah (MS) Jantho.

Mahkamah Agung menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja melakukan pemerkosaan terhadap korban. Akhirnya, sesuai Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat, terdakwa dijatuhi pidana penjara 200 bulan atau setara 16 tahun.

Iklan

“Mahkamah Agung membatalkan putusan Mahkamah Syariah Jantho No. 21/JN/2020/MS. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, terpidana pemerkosa anak telah dieksekusi ke Rutan Kelas IIB Jantho,” kata Kasubsi Humas Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Besar, Ardian, saat dihubungi Kompas, Kamis (24/6). 

Begitu vonis dari Jakarta keluar, MA sempat melarikan diri dari rumahnya saat hendak dijemput aparat. Pada Rabu (23/6), Kejari Jantho menemukan rumah MA dalam keadaan kosong. Pelaku ditangkap sehari kemudian.

MA terjerat hukum setelah berulang kali memperkosa anaknya sendiri yang berusia 11 tahun pada 2020 lalu. Pemerkosaan terjadi sejak istrinya meninggal bulan April tahun itu. Selain dirinya, paman korban yang berinisial DP juga melakukan perbuatan bejat terhadap kemenakannya sendiri. JPU menyebut ayah korban memperkosa dua kali, sedangkan sang paman lima kali. Kedua pelaku ditangkap pada 17 Agustus 2020 setelah korban melapor ke polisi.

Pada 30 Maret 2021, MS Jantho memvonis bebas MA dan menjatuhkan pidana 200 bulan kepada DP. DP kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh dan dikabulkan. Ia pun kini bebas. Vonis santai untuk pemerkosa anak tersebut langsung memicu kecaman dari aktivis perempuan dan anak di Aceh. Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) Suraiya Kamaruzzaman menyebut kasus ini membuktikan pasal pemerkosaan dan pelecehan seksual yang diatur dalam Qanun Aceh perlu segera direvisi.

Iklan

”Cukup sudah, jangan ada lagi kasus seperti ini. Kemudian kalau alasan cambuk sebagai satu argumen membuat efek jera, tidak ada. Dalam saat bersamaan ini di Calang dan di Nagan Raya juga ada korban pemerkosaan yang dilakukan oleh paman dan ayahnya,” ujar Suraiya kepada BBC Indonesia. "Itu bukan kasus satu-satunya dan bukan terbaru. Pandemi Covid-19 tidak menghentikan kasus ini, bahkan terus terjadi.”

Soraya menyorot berbagai kejanggalan pada persidangan. Pertama, keputusan hakim Mahkamah Syariah tidak menerima kesaksian korban, serta mengabaikan perspektif anak sebagai korban, khususnya mempertimbangkan pengalaman traumatis korban. Kedua, hakim tidak memakai visum sebagai alat bukti dengan alasan hasil visum tidak menunjukkan siapa pelakunya. Ketiga, majelis hakim mengabaikan hak anak yang menghadapi pengadilan tanpa didampingi Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) dan psikolog.

Aulianda Wafisa dari LBH Banda Aceh mendesak pemerkosaan dan pelecehan seksual ditangani lewat mekanisme peradilan umum, bukan Qanun. “Bisa dipakai UU Perlindungan Anak, pakai UU Sistem Peradilan Pidana Anak, atau mungkin pakai UU Penghapusan Kekerasan Seksual kalau nanti sudah disahkan,” ujar Aulianda dilansir Merdeka.

Berkat otonomi khusus, Aceh memang punya kebebasan bikin aturan sendiri. Sebagai pengganti KUHP, misalnya, Aceh memiliki Qanun 6/2014 atau Qanun Jinayat yang mengatur “10 pidana utama”, seperti miras, berhubungan seksual tanpa ikatan nikah, maksiat, dan pemerkosaan.

Iklan

Sayang, aturan ini terbukti tidak membuat pelaku pemerkosa jera. Direktur LBH APIK Aceh Roslina Rasyid mengatakan, selama Januari-Juni 2020 lembaganya telah mendampingi 30 kasus kekerasan seksual di 4 kabupaten/kota Aceh.

“Rata-rata korban berusia 3 sampai 16 tahun, sebanyak 70 persen dari kasus tersebut, pelakunya adalah orang terdekat,” ungkap Roslina saat diwawancarai Kumparan. Roslina menyayangkan kasus kekerasan seksual pada anak masih menggunakan Qanun Jinayat yang bisa menghukum pelaku dengan cambuk, bukan hukuman penjara. Hal ini, menurut Roslina, merugikan korban, karena pelaku  bisa bebas begitu saja selesai dicambuk, sedangkan korban masih mengalami trauma dan sulit pulih.

Data lain, P2TP2A Aceh mencatat selama 2020 terjadi 69 kasus pelecehan seksual terhadap anak di Aceh, diantaranya 33 kasus pemerkosaan, dan 58 kasus kekerasan psikis.

Khusus di Banda Aceh, polisi punya data sendiri. Sepanjang 2019, polisi mencatat ada 21 kasus pemerkosaan, meningkat jadi 32 kasus di 2020.  “Pelakunya orang terdekat: paman, bapak tiri, pacar, dan lain-lain,” kata Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh AKP M. Ryan Citra Yudha dilansir Detik.

“Diperlukan juga memberikan penyuluhan dan pemahaman pada masyarakat untuk lebih peka dan melaporkan pada pihak berwajib apabila mengetahui terjadinya pidana, khususnya terhadap anak. Selain itu juga menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku untuk memberikan efek jera.”

Usai dikabulkannya kasasi terhadap pelaku MA, jaksa masih menunggu hasil kasasi untuk pelaku DP yang kini masih berkeliaran bebas.