FYI.

This story is over 5 years old.

Lelaki vs Perempuan

Sains Buktikan Perempuan Lebih Kuat Bertahan di Lingkungan Keras dibanding Lelaki

Tiap kali terjadi kelaparan dan wabah di berbagai negara, perempuan (dan bayi perempuan) lebih berpeluang selamat dibanding lelaki. Jadi, simpan argumenmu kalau perempuan lebih lemah!

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic

Pada 1846, 22 anggota keluarga Donner bepergian menuju barat California dari Illinois. Mereka memungut pelancong sepanjang perjalanan, di Utah dan Wyoming, hingga grup mereka—dikenal sebagai Donner Party—bertumbuh menjadi 87 orang. Mitosnya, mereka harus menghadapi musim dingin yang kejam di sisi timur Sierra Nevada dan dipaksa untuk camping. Akibat temperatur yang menggigil, mereka kelaparan dan melakukan kanibalisasi.

Iklan

Donner Party mengungkap teori klasik biologi tentang daya tahan lelaki dan perempuan: sebetulnya perempuan lebih unggul dalam situasi keras. Hampir dua kali lipat lelaki dalam Donner Party meninggal ketika dibandingkan anggota perempuan. Tiga puluh dari 53 lelaki meninggal. Coba bandingkan itu dengan 10 dari 34 perempuan yang meninggal. Para korban diduga tewas akibat kedinginan, kelaparan, sakit, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

Kita sejak lama sadar perempuan cenderung hidup lebih lama dibanding lelaki, biarpun dalam kondisi hidup normal sekalipun. Di setiap negara di dunia, perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih lama dibanding lawan jenisnya. Di AS, data menunjukkan populasi perempuan hidup nyaris lima tahun lebih lama dibanding laki-laki.

Tapi kita tidak pernah benar-benar tahu apa penyebab kecenderungan ini. Para ilmuwan yang meneliti penuaan menunjuk beberapa faktor biologis, seperti hormon dan genetik, guna mencoba menjelaskan penyebab lebih banyak lelaki meninggal akibat kanker paru-paru, sirosis hati, empisema, dan penyakit jantung—dibanding perempuan. Masalahnya, selalu ada satu faktor yang membingungkan dari temuan tersebut: perilaku spesifik gender. Banyak yang meyakini selain perbedaan biologis, lelaki tidak bertahan hidup seperti perempuan karena lelaki cenderung mengambil lebih banyak risiko aktivitas fisik. Misalnya melakukan pekerjaan berbahaya, pergi ke medan perang, lebih banyak minum dan merokok, memiliki angka kecenderungan bunuh diri lebih tinggi, lebih abai sama gaya hidup sehat, dan lebih jarang pergi konsultasi ke dokter dibanding perempuan.

Iklan

Masalahnya perbedaan kelakuan gender ini juga tidak lantas menjelaskan semuanya. Ketika peneliti mencari tahu apabila perbedaan kelamin dalam hal harapan hidup tidak berlaku dalam komunitas Mormon—di mana para lelakinya tidak banyak melakukan banyak kegiatan “beresiko fisik” dibanding masyarakat umum—ternyata perbedaan ini tetap muncul. Hasil yang sama muncul dari angka harapan hidup biarawi dan biarawan. Dalam satu penelitian membandingkan kesehatan perempuan non-perokok dengan lelaki non-perokok, tetap perempuan yang lebih unggul.

“Biarpun banyak dibahas dalam literatur tentang perbedaan daya tahan lelaki dan perempuan, tidak jelas apakah ini disebabkan oleh biologi atau perilaku,” kata Virginia Zarulli, seorang asisten profesor dalam bidang biodemografi di University of Southern Denmark. “Ada dua pihak yang berbeda, dan ketika debat dilakukan, jawabannya tetap tidak jelas.”

Jawabannya, tentu saja, bukanlah mutlak salah satu—biologi atau kelakuan. Tapi dalam sebuah penelitian yang belum lama terbit, diterbitkan online minggu lalu di PNAS, Zarulli menawarkan bukti baru kalau sejak awal memang ada perbedaan biologis bawaan, bukan perilaku, yang menjadi akar dari perbedaan daya tahan lelaki dibandingkan perempuan. Studi ini meneliti lebih jauh situasi seperti Donner Party, ketika manusia dihadapkan dengan kondisi ekstrem, seperti kelaparan atau kemunculan wabah penyakit.

“Ketika kamu ingin menganalisa alasan di balik daya tahan sebuah spesies, biasanya kamu meletakkan sebuah organisme di dalam laboratorium dan membuat mereka bereaksi terhadap kondisi ekstrem dan melihat hasilnya,” kata Zarulli. “Jadi kami mencari data dari manusia yang akan mensimulasikan kondisi ekstreme macam itu dan menemukan beberapa populasi macam itu.”

Iklan

Zarulli dan kolaboratornya memeriksa tujuh periode dalam sejarah di mana orang memiliki tingkat harapan hidup yang sangat rendah—20 tahun atau kurang—yang juga memiliki dokumentasi kredibel seputar angka kematian dan gender. Beberapa contoh tragis: Budak Liberia dari awal 1800an yang bermigrasi ke Afrika memiliki tingkat mortalitas 1.68 tahun bagi lelaki dan 2.23 tahun bagi perempuan. Akibat sistem tanam paksa modern pada 1933 di Ukraina, wabah kelaparan menyebabkan harapan hidup jatuh ke angka rata-rata 7,3 tahun bagi lelaki dan 10.9 tahun bagi perempuan setempat.

Dalam kelompok-kelompok ini, perempuan memiliki angka mortalitas lebih rendah di semua kategori umur, dengan pengecualian populasi budak Trinidad. (Dalam kasus ini, Zarulli berpendapat budak lelaki dewasa dianggap lebih berharga.)

Biarpun perempuan cenderung bertahan lebih lama di semua kategori, peneliti menemukan bahwa bayi perempuanlah yang memiliki daya tahan terbaik. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan besar dalam daya tahan antar gender. Karena bayi lelaki dan perempuan memiliki perbedaan kelakuan yang minimal, kata Zarulli, dan belum ikut berpartisipasi dalam perilaku gender, akhirnya dia merasa penemuan ini setidaknya dapat menjelaskan betapa faktor biologi memainkan peran utama mempengaruhi daya tahan perempuan yang unggul dibanding lawan jenisnya.

Dia mengatakan mereka terkejut atas penemuan perihal bayi ini karena, dalam konteks sejarah, anak-anak lelaki selalu diprioritaskan di atas anak perempuan. “Biarpun adanya diskriminasi ini, fakta bahwa perempuan masih memiliki daya tahan yang lebih baik dibanding lelaki sangatlah mengejutkan,” ungkapnya. “Ini menunjukkan adanya akar biologis mendalam dalam perihal daya tahan perempuan, terutama remaja perempuan.”

Iklan

Zarulli mengatakan penjelasan biologis ini bisa jadi faktor hormon atau genetik. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara lelaki memiliki kromosom X dan Y. Dalam kajian yang sederhana, apabila mutasi negatif muncul di satu atau dua kromosom X, perempuan cenderung lebih bisa bertahan menghadapinya. Seiring manusia berevolusi, ini memberikan perempuan material genetik ekstra untuk menghadapi tantangan kekebalan atau lingkungan yang berubah. Lelaki juga mungkin, seiring evolusi, secara genetik memprioritaskan reproduksi dibanding harapan hidup.

Mary Schooling, seorang profesor di CUNY Graduate School of Public Health, meyakini bahwa hormon memiliki peranan yang besar di sini. Dia mempelajari evolusi biologi dan kesehatan publik, dan telah meneliti efek testoteron terhadap penyakit selama beberapa tahun, khususnya hubungan testosteron terhadap penyakit jantung. Dia mengatakan estrogen terbukti menunjukkan manfaat kesehatan bagi otak, jantung, dan pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan bahwa testosteron mungkin justru meningkatkan resiko mortalitas untuk penyakit. Estrogen terbukti dapat meningkatkan kekebalan tubuh, sementara testosteron sebaliknya memiliki efek imunosupresif: artinya estrogen lebih memperkuat daya tahan tubuh perempuan melawan penyakit dibanding hormon lelaki.

Schooling mengatakan ide perbedaan harapan hidup antara lelaki-perempuan diakibatkan oleh faktor biologis tidak selalu diterima dengan baik. “Ide ini dianggap tidak menyanjung lelaki, apabila apabila disebutkan penyebabnya adalah testosteron,” ujarnya.

Iklan

Karena teori biologis tidak selalu diterima, ini menyebabkan sedikitnya penelitian yang dilakukan, kata Steven Austad, ahli biogerontologi dari University of Alamaba, Birmingham yang mempelajari proses penuaan binatang. Ini artinya kita masih tahu sangat sedikit tentang seluk-beluk bagaimana perbedaan ini bisa menyebabkan hidup yang lebih panjang. “Hanya sedikit sekali orang yang meyakini perbedaan ini disebabkan faktor biologis,” ujarnya. “Konsekuensinya, tidak banyak penelitian berbasis biologis yang dilakukan.”

Steven selalu merasa jawabannya pasti berhubungan dengan biologi, katanya. Tapi penemuan baru ini, dari sudut pandang sejarah di mana perempuan justru dihadapkan dengan situasi yang lebih sulit, telah merubah cara pandangnya. “Ini membuat sebuah pernyataan yang sangat kuat,” jelasnya. “Ini berarti perempuan memang didesain lebih baik untuk bertahan hidup. Mereka didesain lebih baik untuk bertahan dalam waktu yang nyaman, ini sudah jelas, tapi juga dalam situasi yang ekstrem. Faktor biologi muncul sebagai satu-satunya penjelasan yang masuk akal.”

Dia berharap makalah ini akan mendorong peneliti lain untuk mempelajari perbedaan ini dalam level mekanistik, untuk mengerti lebih jauh secara biologis. Dalam penelitiannya, yang biasanya berfokus di umur tua demi mengerti harapan hidup, kini dia terinspirasi untuk meneliti bayi dan masa muda manusia.

Bahkan dengan hasil-hasil ini, Zarulli tetap tidak mau mengecualikan peran faktor sosial. Ujung-ujungnya, biologi dan perilaku saling mempengaruhi satu sama lain, tapi dia berharap selain mendorong lebih banyak penelitian, penemuannya juga akan memiliki implikasi kultural.

“Kita seharusnya mulai berhenti menganggap perempuan sebagai seks yang lebih ‘lemah’ karena mungkin fakta justru mengatakan sebaliknya,” jelasnya. “Seringkali kita melihat bahwa perempuan hidup lebih lama, dan kita mendengar ini disebabkan karena hidup mereka lebih mudah, karena pekerjaan mereka lebih enteng, lebih sedikit dan sebagainya. Tapi bisa juga mungkin ini disebabkan faktor biologi.”