FYI.

This story is over 5 years old.

Mitos Made in Indonesia

Mengubur Plasenta, Mitos Atau Keperluan Medis?

Saya pernah diminta menggali kuburan ari-ari keponakan saya. Saya melakukannya dengan hidmat walau tak tahu apa filosofi di baliknya. Untuk apa sih sebenarnya?
Illustration by Dini Lestari

"Takhayul Populer" adalah seri artikel VICE mengungkap akar mitos-mitos populer dari Indonesia yang masih dipercayai sampai sekarang. Klik di sini untuk membaca artikel serupa.

Dari bermacam-macam ritual dalam kebudayaan di Indonesia, mengubur plasenta atau ari-ari bayi yang baru lahir umum dilakukan di hampir semua daerah. Dalam beberapa kepercayaan, mengubur plasenta bahkan harus disertai sederet syarat mulai dari memasukkan beberapa benda hingga merapal doa-doa. Tradisi turun temurun tersebut tak lagi dipertanyakan dan menjadi sesuatu yang diterima begitu saja.

Iklan

Belum jelas sejak kapan tradisi tersebut berkembang, namun dalam kebudayaan Jawa setiap proses mulai dari pernikahan, kelahiran, hingga kematian dilakukan dengan penuh penghayatan. Entah dihayati atau tidak, ada filosofi di balik setiap ritual-ritual itu.

Keluarga saya tak luput dari praktik tersebut. Suatu malam saya diperintahkan untuk menggali tanah di halaman depan yang besarnya tak seberapa. "Ini buat ari-ari keponakanmu," ujar kakak saya. Tanpa banyak tanya, saya menggali dengan khidmat hingga mencapai kedalaman yang diinginkan. Di atas galian tersebut lantas dipasang lampu bohlam. Entah buat apa. Mungkin hanya sebagai penanda.

"Kalau bicara kepercayaan, kan ari-ari ini adalah saudara si bayi," ujar anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mahesa Paranadipa. "Sementara kalau dilihat dari segi medis, itu hanya etika saja untuk mengubur bagian tubuh."

Menurut Mahesa, terlepas dari mitos dan kepercayaan, bagian tubuh seseorang memang harus dikubur agar tidak mengundang penyakit atau dimakan binatang liar.

"Dari fungsinya ari-ari itu kan menyalurkan makanan," ujar Mahesa. "Kalau enggak ada ari-ari mustahil janin bisa bertahan hidup. Dari situ berkembang kepercayaan di tengah masyarakat."

Antropolog Universitas Padjajaran Ira Rendrawardana mengatakan bahwa karena fungsinya yang vital, masyarakat kemudian percaya bahwa plasenta adalah saudara si janin, yang selayaknya harus dikuburkan dengan sederet ritus yang menyertai. Dalam agama Islam, plasenta dianggap menjadi anggota tubuh yang tidak boleh dibuang begitu saja. "Dalam bahasa Sunda, plasenta itu disebut dulur sakembaran (saudara kembar),"ujar Ira kepada VICE Indonesia. "Ketika fungsi plasenta tersebut sudah paripurna maka sebagai rasa terima kasih harus diberikan pemakaman khusus."

Tradisi menghormati plasenta berbeda-beda di setiap daerah. Di Bali, menurut Ira, ada tradisi menempatkan plasenta ke dalam batok kelapa yang kemudian ditaruh di pohon. Namun pada dasarnya memiliki prinsip sama, yaitu menghormati bagian tubuh yang sudah berjasa sejak dalam kandungan.

"Plasenta yang dikubur juga menjadi pengikat batin manusia dengan tempat dia dilahirkan," tutur Ira. "Makanya ada tradisi ketika orang pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia akan mengambil tanah dari tempat plasenta dikuburkan untuk kemudian disebar di tempat pindah barunya."

Dalam dunia medis, plasenta ternyata lebih dari sekadar bagian tubuh yang harus dibuang setelah persalinan. Saat ini bidang kedokteran tengah mengembangkan sel punca (stem cell) hematopoietik yang diambil dari cairan tali pusat. Menurut Mahesa, sell punca ini bermanfaat untuk melawan berbagai penyakit seperti kanker.

"Di Indonesia memang sedang diteliti, tapi di negara-negara lain stem cell dari cairan tali pusat ini sudah dikembangkan untuk perbaikan jaringan dan melawan berbagai macam jenis kanker seperti leukemia. Dalam prosesnya, sesaat setelah bayi lahir, cairan plasenta tersebut dikumpulkan dan disimpan dalam tempat khusus. Tentu setelah ada persetujuan dari pihak orang tua. Baru kemudian plasenta tersebut diserahkan ke orang tua untuk dikubur," tutur Mahesa.