FYI.

This story is over 5 years old.

penagih utang

Pemicu Orang-Orang Maluku Punya Keberanian Menjalani Profesi Penagih Utang

Warga perantau Maluku di Jakarta tak membantah sering jadi andalan dunia perbankan buat menagih utang. Dulu pemicunya rasisme petinggi bank. Kini, mereka punya kebanggaan tersendiri melakoni hal yang dianggap mulia.

Mendengar kata tukang tagih utang, bayangan di kepala sudah tentu stereotip pria bertampang sangar, berambut cepak, berbadan gempal, dan berasal dari etnis tertentu. Anggapan masyarakat tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Sejak industri perbankan berkembang di bawah rezim Suharto, orang-orang dari etnis Maluku kerap dipekerjakan sebagai tukang tagih utang.

Ferry Lasatira, yang telah bekerja sebagai tukang tagih utang sejak 1980-an, mengatakan bahwa warga etnis Maluku kerap dipekerjakan sebagai penagih utang karena dinilai memiliki keberanian dan etos pantang menyerah.

Iklan

“Orang berani kasih kita pekerjaan [menagih utang] karena kita punya prinsip,” kata Ferry. “Gimana kami bisa mendatangi orang kalau kami takut?”

Keberanian tersebut, menurut Ferry yang berasal dari Seram Barat, terkait dengan sejarah panjang perjuangan rakyat Maluku melawan kolonial Belanda di abad 19. Orang-orang Maluku selalu dikirim ke garis depan dalam peperangan, bahkan jauh sebelum negara ini ada, ujar Ferry yang masih bekerja sebagai debt collector.

Menurut Ferry, komunitas orang Maluku yang merantau ke kota besar memiliki ikatan yang sangat erat. Dari ikatan tersebut, tidak jarang jika seorang penagih utang lantas mengajak kawan-kawan lainnya untuk terjun ke dunia yang sama. Hal tersebut, menurut Ferry, lama kelamaan menjadi semacam tradisi. Itu salah satu hal yang membuat orang Maluku identik dengan debt collector.

Orang-orang seperti Ferry, awalnya dimanfaatkan oleh industri keuangan ketika perbankan mengalami booming di akhir 1980-an. Kala itu Indonesia mengalami dampak penurunan harga migas setelah sempat berjaya di era 1970-an. Maka pemerintah mulai menyusun serangkaian paket kebijakan ekonomi untuk menggenjot pendapatan negara lewat industri perbankan.

Di antara paket kebijakan tersebut, pemerintah mempermudah masyarakat untuk mendirikan bank swasta. Dengan modal cuma Rp10 miliar kala itu, orang sudah bisa mendirikan bank swasta. Tak heran pada 1994, tercatat ada 166 unit bank dan bank perkreditan rakyat (BPR) sebanyak 9.196 unit. Penyaluran kredit pun mencapai Rp234 triliun saat itu dengan pertumbuhan ekonomi selalu di atas 6 persen. Namun bukan berarti kebijakan tersebut tanpa cela. Ketika krisis moneter menghajar Asia pada 1997, terbukti sistem perbankan Indonesia teramat rapuh. Bank-bank swasta rontok berjatuhan. Imbasnya kredit macet mencapai lebih dari Rp10 triliun pada 1998.

Iklan

Kala itu hukum untuk mengatur utang piutang, terutama untuk mengawasi praktik penagihan utang dengan menggunakan pihak ketiga (agen debt collector), masih longgar. Ferry mengatakan bahwa, sepanjang Orde Baru berkuasa, cara kekerasan acap digunakan untuk menagih nasabah yang mengalami kredit macet.

“Tergantung situasi, tapi kadang kami memakai kekerasan,” kata Ferry. “Sekarang udah enggak bisa lagi.”

Pemerintah lewat Bank Indonesia memang tidak secara gamblang mengatur penagihan utang lewat pihak ketiga. Tapi yang selalu menjadi rujukan untuk melindungi konsumen dari cara-cara penagihan utang yang merugikan adalah Peraturan Bank Indonesia 2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Di situ dijelaskan bahwa penagih utang dari pihak ketiga yang ditunjuk oleh bank tidak diperkenankan menggunakan kekerasan baik verbal maupun fisik serta tidak boleh mengintimidasi atau mempermalukan nasabah di depan umum.


Simak dokumenter VICE yang membahas tentang para penagih utang


Namun kadang hukum bisa berlaku beda di lapangan. Faktanya praktik kekerasan dan intimidasi kerap terjadi sepanjang waktu. Pada 2011 contohnya, seorang pengurus partai politik tewas setelah dianiaya debt collector karena menolak membayar tagihan kartu kreditnya. Dari data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 2016 ada 160 aduan dari masyarakat terkait layanan perbankan, 57 di antaranya terkait proses penagihan lewat debt collector. Dari data sebuah asosiasi alih daya (outsourcing) saat ini ada sekira 12.000 orang yang berprofesi sebagai penagih utang di Jakarta.

Iklan

Jemmy Tattoo, salah seorang penagih utang dari PT Laksana Cakrawala yang juga asal Maluku, mengatakan bahwa intimidasi adalah bagian dari strategi untuk menagih utang debitur yang bandel. Tujuannya agar secara psikologis nasabah menjadi tertekan dan segera mencari solusi.

“Kami punya peran masing-masing,” kata Jemmy kepada VICE Indonesia. “Ada yang jago ngomong, ada juga yang tujuannya untuk pasang badan.”

Jemmy punya ratusan anak buah yang siap dikerahkan jika debitur tetap membandel atau malah melawan balik. Namun Jemmy mengklaim bahwa tim-nya lebih memilih cara-cara bertahan jika nasabah menolak membayar utang. Tak jarang untuk menghadapi debitur yang bersikeras menolak membayar tagihan, Jemmy dan kawan-kawan menginap di lokasi penagihan sampai nasabah tersebut menyerah. Tapi itu bukan berarti Jemmy tidak bisa menyerang. Sudah jadi rahasia umum jika para penagih utang menyimpan senjata tajam jika sewaktu-waktu keadaan memburuk.

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Ina Primiana bilang bahwa industri penagihan utang tidak bisa dipisahkan dari dunia jasa keuangan itu sendiri, yang berperan vital bagi perekonomian suatu negara. Bank memang telah menerapkan prinsip kehati-hatian sebelum mengucurkan kredit, namun skenario terburuk kredit macet bisa selalu terjadi. Makanya jasa debt collector digunakan untuk menagih utang karena secara ekonomi, lebih murah dibandingkan jika bank harus mengerahkan sumber dayanya sendiri untuk menagih.

Iklan

“Industri debt collecting itu ibarat jaring pengaman juga bagi bank,” kata Ina kepada VICE Indonesia. “Karena bagaimana pun bank harus mengamankan asetnya juga.”

Sosiolog dari Universitas Padjajaran Nur Yusra mengatakan bahwa pada dasarnya praktik penagihan utang tidak mengenal etnis ataupun ras. Hanya saja kebetulan, menurut Yusra, ada pola stereotyping yang melekat pada mindset masyarakat terhadap orang Maluku yang kerap diidentikkan dengan dunia hitam terutama di kota besar seperti Jakarta.

“Masyarakat cenderung berpikir bahwa orang Maluku itu sangar,” ujar Yusra. “Ini citra yang awalnya melekat di masyarakat. Dan industri keuangan hanya memanfaatkan citra itu untuk mengamankan kepentingannya.”

Menurut Yusra stigma semacam itu tidak bisa dihindari karena industri keuangan turut melanggengkan. Ditambah lagi, menurutnya, kebanyakan orang Maluku yang merantau tidak memiliki pilihan banyak untuk bertahan hidup, sehingga akhirnya pekerjaan penagih utang lebih banyak dipilih karena menguntungkan secara materi.

Ferry sendiri terlihat tidak mempermasalahkan jika stigma penagih utang yang sangar dan keras melekat ke orang Maluku. Ia bangga karena bisa sukses menjadi penagih utang dan menganggap pekerjaan tersebut mulia.

“Cuma karena orang lihat kita punya fisik kayak gini, jadi dari awal orang sudah takut,” kata Ferry. “Padahal itu cuma asumsi. Coba orang lakukan pendekatan, mungkin mereka akan tahu sebaliknya.”