Opini

Ironi di Balik Saran Wapres Agar India Mencontoh Toleransi Beragama di Indonesia

Sudah siapkah republik yang warganya tiap tahun meributkan boleh tidaknya pengucapan Natal memberi contoh pada negara lain?
Wapres Ma'ruf Amin Minta India Tiru Toleransi Beragama di Indonesia
Peserta demonstrasi di New Delhi, India, menolak kebijakan UU baru pemerintah yang diskriminatif terhadap warga muslim. Foto oleh Sajjad Hussain/AFP

Konflik sektarian di India mengetuk hati Wakil Presiden Ma'ruf Amin untuk menyampaikan pendapatnya sebagai tokoh negara dan agama. Ia merasa, seharusnya India bisa mencontoh Indonesia terkait toleransi beragama agar lebih damai dan saling memahami antarumatnya.

"Kita menginginkan agar India bersikap seperti kita Indonesia, yaitu membangun toleransi, moderasi di dalam beragama. Sebagai negara yang sama-sama majemuk, saya harap India itu seperti yang kita lakukan," kata Ma’ruf dilansir CNN Indonesia kemarin (4/3). Astaga.

Iklan

Pak Kyai juga memberi saran kepada India tentang solusi konfliknya. Menurut Ma'ruf, seluruh agama sebaiknya bersikap moderat, alias enggak terlalu kolot, sehingga mampu menjaga harmoni dan kekeluargaan antarpemeluk agama. Dari sini, wapres kita ini berencana menginisiasi pertemuan dengan seluruh tokoh-tokoh agama di dunia guna membahas isu moderasi dan toleransi beragama.

"Tak hanya bisa rukun tapi bisa merukunkan konflik-konflik di dunia yang terjadi. Saya kira itu konsep kita. Kita ingin negara lain seperti Indonesia lah," tambahnya. Sayang, wapres melupakan satu aspek: Indonesia tidak jaub lebih baik dari India perihal toleransi.

Lihat saja contohnya dalam larangan perayaan Natal di Dharmasraya, kasus ratusan gereja disegel dan ditolak dalam 10 tahun terakhir, pembubaran prosesi ibadah, penutupan restoran, sampai aturan berpenampilan untuk para aparatur sipil negara.

Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan praktik intoleransi masih marak dan terus berulang di Indonesia. Sepanjang November 2018-November 2019, Imparsial mencatat 31 kasus intoleransi terjadi. Bentuknya beragam, namun yang paling dominan adalah pelarangan atau pembubaran ritual pengajian ceramah atau pelaksanaan ibadah atau kepercayaan. Ada juga kasus perusakan rumah ibadah dan pelarangan kebudayaan etnis tertentu.

Pelaku intoleransi didominasi kelompok masyarakat sipil yang mengorganisir masyarakat sekitar. Berbagai praktiknya dianggap mempunyai pola yang sama.

Iklan

"Ini persoalan yang sebenarnya muncul dari awal era 2000-an yang setiap tahun mengalami keberulangan. Misalnya, kasus tentang penutupan tempat ibadah kelompok minoritas, pelarangan pembubaran kegiatan keagamaan tertentu, ini kan kasus-kasus yang setiap tahun sering terjadi, terus berulang di berbagai tempat," kata Ghufron dikutip Kompas.

Menurut Ghufron, ada dua hal yang menyebabkan praktik intoleransi terus berulang di Indonesia. Pertama, aturan hukum atau kebijakan lainnya yang saling bertentangan. Jadi, ada aturan yang menjamin kebebasan beragama, tapi ada juga aturan yang mengancam kebebasan beragama.

Misalnya, UU PNPS 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/Penodaan Agama dan SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah, dan Peraturan Bersama Menteri 2006 tentang Rumah Ibadah. Kedua, minimnya ketegasan penegakan hukum terhadap pelaku aksi intoleran dan minimnya perlindungan korban.

Jadi, Kiai Ma'ruf Amin, apakah saran itu maksudnya India harus mencontoh agar tidak seperti Indonesia?