Opini

Ada Kajian Ilmiah Melacak Penyebab Influencer Bisa Pede Pamer Pendapat Ngawur

Sikap sejenis beauty influencer Indonesia yang blak-blakan di depan 2,5 juta pengikut bilang tak peduli protokol kesehatan wabah, karena takdir di tangan Tuhan, ternyata pernah diteliti ilmuwan.
Kontroversi beauty influencer Indira Kalistha seputar protokol kesehatan pandemi corona
Ilustrasi bahaya menyebar informasi sesat oleh betacommand/kenrick/wikimedia commons/lisensi CC 3.0

Pertama-tama, kami ucapkan belasungkawa sebesar-besarnya kepada tenaga medis yang sudah mati-matian jadi tameng penghalang pandemi corona. Perjalanan melawan pandemi terasa semakin panjang ketika para so-called influencer berpengikut jutaan menerapkan prinsip “if I die, I die” dalam hidup, lalu coba memengaruhi pandangan para follower mengadopsi sama.

Kontroversi sikap pengabaian protokol kesehatan kembali mencuat setelah warganet menyorot pernyataan beauty influencer Indira Kalistha. Ia jadi topik perbincangan pengguna internet ketika wawancaranya bersama YouTuber Grite Agatha viral. Dalam video tersebut Indira penuh percaya diri buka-bukaan menyatakan tidak mengindahkan protokol kesehatan yang seharusnya dilakukan selama pandemi.

Iklan

Di video tersebut, dengan pede, Indira mengaku jarang pakai masker kalau keluar rumah kecuali saat ditegur. Bibit pemberontakan ini didasari alasan yang sampai titik ini saya enggak paham doi lagi bercanda atau serius, namun cukup bikin naik pitam: sesak napas kalau pakai masker.

Selain itu, Indira juga mengaku enggak suka cuci tangan meski sudah menyentuh berbagai macam benda di mal, pasar, ataupun makanan dari ojek online. Untuk yang ini, alasannya bisa bikin Quraish Shihab menangis: Kalau emang bakal mati, bakal mati aja.

Pandangan ini biasanya diyakini orang yang superoptimistis dia tak akan sakit, apalagi mati karena virus corona. Selain bikin berang karena mau mati ngapain pake ngajak-ajak, sebagian netizen juga kesel karena Indira kayak enggak paham bahwa dalam kasus wabah menular, orang sehat bisa jadi silent spreader yang membahayakan kelompok rentan. Mana yang ngomong orang dengan banyak pengikut pula.

Jadi penasaran kan, kenapa sih ada orang tanpa kompetensi bisa pede banget koar-koar mengampanyekan pandangan mereka yang bertolak belakang dari ahli kesehatan?

Ternyata udah ada akademisi yang menyelidiki perilaku manusia semacam ini. Namanya profesor André Spicer dari City, University of London. Andre adalah pakar di bidang perilaku organisasional, biasa meneliti tentang mengapa satu kelompok berperilaku tertentu.

Spicer mengajukan beberapa jawaban. Pertama, ada kemungkinan opini ngawur tanpa dasar ilmiah bisa dikampanyekan, sebab masyarakat semata-mata bodoh. Andre menilai kebodohan timbul karena masyarakat tidak punya IQ yang cukup, pendidikan memadai, atau akses informasi yang benar untuk meragukan pendapat pribadi mereka sendiri.

Iklan

Kemungkinan kedua, karena kepercayaan masyarakat kepada ahli atau kepakaran ilmiah sedang menurun. Kemungkinan ini, masalahnya, tidak relevan menjelaskan tindak tanduk para penggemar teori konspirasi, mengingat kepercayaan mereka kepada ahli tidak menurun, sebab sejak awal mereka memang tidak percaya dengan pendapat ahli.

Kemungkinan ketiga, yang bisa menjelaskan fenomena Indira dan pendapatnya, adalah karena masyarakat kerap memiliki bias kognitif.

Bias kognitif terbangun ketika manusia merumuskan pandangannya pada suatu isu yang rumit hanya berdasarkan kepercayaannya selama ini. Setelah memutuskan keberpihakan, manusia lantas melakukan usaha apa pun untuk menjustifikasi bahwa pandangannya benar.

Caranya? mencari-cari informasi yang hanya mendukung pandangannya dan menutup mata terhadap informasi yang menentang pandangan tersebut. Metode penyesatan fakta macam ini sering kita dengar lewat istilah akademisi: cherry-picking.

Spicer menyimpulkan, kelompok manusia dengan bias kognitif kerap menghindari belajar lebih jauh soal bukti yang dipaparkan dari para ahli karena secara psikologis mereka sulit menerima kontradiksi yang terjadi. Mereka juga gengsi untuk mundur dari argumennya. Singkatnya, ya kayak kata-kata Spicer ini: "Ketika fakta tidak sesuai dengan kepercayaan kita, kita lebih suka mengubah fakta, bukan kepercayaannya."