Konflik Korea

Ngambek Pembelot Makin Banyak, Korut Putus Semua Kontak Dengan Korsel

Rezim Kim Jong-un menutup semua jalur komunikasi, mengancam kesepakatan damai kedua negara. Gara-garanya banyak pamflet menjelekkan Korut disebar para pembelot di perbatasan.
Ada Demo dan Unjuk rasa juga lho di Korea Utara Pyongyang
Warga Korut menggelar 'demonstrasi' pada 6 Juni 2020, mendesak pemerintah mereka memprotes Korsel yang dianggap membiarkan penyebaran pamflet propaganda anti Kim Jong-un. Foto via  Kyodo/AP Images 

Pejabat Korea Utara dilaporkan tak lagi mengangkat sambungan telepon dari petinggi Korea Selatan, sejak Selasa (9/6) lalu. Kejadian ini mengonfirmasi pengumuman sepihak Pyongyang kalau mereka ogah berkomunikasi dengan negara tetangganya, selama Korsel tidak serius menangani propaganda yang disebar para pembelot. Termasuk yang diputus adalah jalur telepon khusus yang menghubungkan Kim Jong-un, diktator Korut, dengan Presiden Korsel Moon Jae-in.

Iklan

Keputusan mengejutkan itu, beberapa jam sebelum kejadian, diumumkan lewat siaran televisi dan media cetak milik pemerintah Korut. Hubungan diplomatik hingga koordinasi militer yang sempat mencair tiga tahun lalu, kini kembali ke titik nol.

Pemicu kemarahan Korut adalah meningkatnya jumlah pembelot dari negara mereka yang menyeberangi perbatasan lalu hidup di Korsel. Orang-orang ini—yang kebanyakan bekas pejabat, tentara, atau buruh berpendidikan—rupanya sering mendekat lagi ke perbatasan untuk menyebar propaganda anti-Korut. Para pembelot, dibantu jaringan aktivis, biasanya menerbangkan balon helium dilengkapi kotak berisi DVD film dan serial Korsel, pamflet menjelekkan rezim Kim Jong-un, serta ajakan agar warga Korut lainnya pindah negara saja.

Tindakan para pembelot makin agresif sejak akhir 2019. Dari catatan Pyongyang, lebih dari 10 ribu pamflet propaganda dikirim ke wilayah mereka selama beberapa bulan terakhir. Karenanya, rezim Kim Jong-un menilai Korsel tidak serius mengamankan perbatasan mereka, atau malah membiarkan pembelot dan jaringan aktivis memprovokasi warga Korut supaya pindah negara. Korut merasa negara tetangganya melanggar poin perjanjian damai yang diteken pada 2018 lalu.

"Otoritas di Korea Selatan terlalu sering mencla-mencle dan tidak tegas dalam bersikap. Akibatnya, rutin muncul tindakan provokasi agresif yang dilancarkan musuh Republik Rakyat Demokratis Korea [nama resmi yang dipakai pemerintah Korut untuk menyebut negara mereka-red]," demikian kutipan pernyataan pemerintah yang dilansir Kantor Berita Korut (KCNA). "Sebagian provokasi itu sudah tidak bisa diterima lagi, karena melecehkan pemimpin besar kami."

Iklan

Salah satu pejabat militer Korsel, yang teleponnya langsung tidak lagi diangkat, saat dikonfirmasi wartawan menduga Korut masih membuka kemungkinan negosiasi. Sebab, ketika ditelepon, terdengar nada sambung. Artinya, kabel telepon yang langsung mengarah ke Pyongyang itu belum diputus permanen. Sedikit informasi, ibu kota dua negara semenanjung Korea yang rutin berkonflik karena beda ideologi itu relatif dekat. Pyongyang-Seoul hanya terpisah 195 kilometer, sehingga jaringan telepon kabel sejak rezim kakek dan ayah Kim Jong-un telah dipakai berkomunikasi petinggi kedua negara, tapi memang sempat putus beberapa kali selama era Perang Dingin.

Belum jelas bagaimana nasib perjanjian damai sementara yang diteken Korut-Korsel pada 2018, ketika Moon Jae-in dan Kim Jong-un menggelar pertemuan bersejarah dengan melintasi perbatasan masing-masing. Sejauh ini, sikap rezim Pyongyang masih ngambek. "Pemerintah [Korut] menilai sudah tidak ada gunanya lagi menjalin komunikasi dan melayani tatap muka dengan wakil otoritas Korea Selatan," demikian keterangan yang dilansir koran propaganda Rodong Sinmun dalam edisi 9 Juni 2020.

Kim Yo-jong, adik kandung Kim Jong-un, disebut-sebut sebagai aktor utama yang memerintahkan semua pemutusan jalur komunikasi dengan negara tetangga mereka. Pengaruh Yo-jong membesar setahun terakhir di internal Partai Rakyat Pekerja, satu-satunya parpol di Korut. Perempuan 32 tahun itu sekarang menjadi pejabat tertinggi bidang kehumasan dan propaganda Korut.

Iklan

Manuver Yo-jong membuktikan dia mulai dipercaya abangnya untuk mengambil kebijakan penting terkait politik luar negeri, termasuk konfrontasi serius dengan Korsel. Hal ini memperkuat rumor sebelumnya, kalau Yo-jong dipersiapkan menggantikan abangnya, kalau kondisi darurat terjadi. Dua bulan lalu, beredar kabar Kim Jong-un sakit parah, sehingga nama Yo-jong jadi sorotan dunia. Kim Jong-un sempat muncul di acara peresmian pabrik menepis kabar tersebut. Tapi setelah acara itu, dia kembali tidak terlihat di berbagai seremoni pemerintah, sehingga rumor dia menderita penyakit parah tetap relevan sampai sekarang.

Keputusan kontroversial Korut membuat negara paling tertutup sedunia itu kembali ke habitat alaminya yang selalu mengajak konflik negara lain. Kim Jong-un sempat melakukan kebijakan tak disangka-sangka, dengan membuka dialog pelucutan senjata nuklir bersama Amerika Serikat, ataupun setuju menggelar perjanjian damai dengan Korsel. Tak sampai lima tahun, Pyongyang memutuskan sepihak keluar dari dua negosiasi penting tersebut.

Kondisi Korut, menurut pengamat politik luar negeri serta pakar kesehatan, kemungkinan sedang tidak baik-baik saja. Ketika pandemi corona merebak di Tiongkok, Rezim Pyongyang segera menutup semua akses perbatasan dengan Cina. Penutupan sudah berlangsung lima bulan. Korut mengklaim berkat kebijakan ekstra hati-hati, negara mereka bebas sepenuhnya Covid-19. Tapi pakar tidak percaya, karena itu cuma klaim sepihak.

Iklan

Lebih parahnya lagi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengendus risiko bencana sosial di Korut, karena penutupan perbatasan Tiongkok lebih dari tiga bulan memutus pasokan bahan makanan. Bisa-bisa sekarang sedang terjadi kelaparan hebat di pedalaman Korut. Soalnya, mayoritas sembako Korut disokong oleh produk-produk Tiongkok.

"Kami meyakini malnutrisi akut sedang dialami oleh jutaan warga Korut," kata Utusan Khusus PBB untuk Korut, Tomas Ojea Quintana, lewat laporan pada Dewan Keamanan PBB akhir bulan lalu. Tomas meminta Dewan Keamanan agar mengendurkan sanksi isolasi internasional kepada Korut, agar negara itu bisa menormalkan pasokan bahan makanan dan obat-obatan.

"Kami mendapat laporan valid, kalau beberapa minggu terakhir ada banyak kotjebi [anak jalanan] serta gelandangan di Pyongyang. Selain itu, ada laporan banyak keluarga hanya bisa makan jagung tanpa lauk, sehingga mereka kelaparan," tandasnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News