kejahatan seksual

Parlemen Korsel Bakal Kategorikan 'Teror Sperma' Sebagai Kejahatan Seksual

Sudah banyak kasus lelaki di Korsel sengaja mengoleskan sperma ke sepatu atau gelas perempuan, karena kesal ditolak. Lewat amandemen terbaru, pelaku bisa dihukum lebih berat agar kapok.
Junhyup Kwon
Seoul, KR
Foto ilustrasi perempuan dilempar sperma
Foto: blanscape / iStock / Getty Images Plus

Lelaki berusia 40-an di Korea Selatan sudah enam kali ejakulasi di dalam botol kopi teman perempuannya. Lalu ada mahasiswa mengoleskan spermanya ke sepatu mahasiswi. Dan masih di Korsel, mahasiswa pascasarjana mencampurkan kopi temannya dengan air mani dan ludah karena kesal rayuannya ditolak.

Kebanyakan pelaku tidak dijatuhi hukuman berat agar jera. Mereka cukup membayar denda, dan bisa hidup bebas seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Hal ini disebabkan oleh longgarnya hukum yang mengatur tindakan tersebut. Meneror seseorang dengan sperma tidak dianggap kejahatan seksual di Korsel.

Iklan

Penegak hukum seperti Back Hye-ryun bertekad menuntaskan masalah “terorisme sperma” hingga ke akar-akarnya. Pada Juli 2021, politikus Partai Demokrat Korsel mengusulkan dilakukannya amandemen undang-undang seputar kejahatan seksual. Kepada VICE World News, Back menyoroti ketidakmampuan sistem hukum negara dalam melindungi kaum perempuan dari tindakan semacam itu. Undang-undang saat ini mengaturnya sebagai kerusakan properti semata.

“Kejahatan seksual perlu dipahami dari sudut pandang korban. Di Korea Selatan, ada kecenderungan kuat menempatkan tersangka di pusat semua kasus. Ini harus diubah,” tuturnya. “Tak ada undang-undang yang bisa menjerat pelaku kejahatan seksual yang berkembang saat ini. Hukumannya pun tidak cukup kuat.”

Back mengutip kasus yang menggemparkan Mei 2021. Lelaki yang ejakulasi di kopi temannya sebanyak enam kali dalam waktu enam bulan bebas setelah membayar denda setara Rp36 juta.

“Kasus kejahatan seksual yang tidak biasa semakin meningkat, tapi hukum negara tidak dapat mengejar kecepatan dan keragaman,” ujarnya.

“Dibutuhkan pengakuan yang lebih luas terhadap pelanggaran seksual untuk melindungi korban. Selain itu, akan lebih baik mencegah pelaku mengulangi kejahatannya dengan mengedukasi atau [mewajibkan mereka] melalui masa percobaan.”

Sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia, Korea Selatan mungkin melihat kemajuan dalam gerakan pemberdayaan perempuan. Namun, ada penolakan keras di masyarakat yang didominasi laki-laki. Baru-baru ini, atlet panahan putri mengalami perundungan online dan dipaksa mengembalikan medali emasnya karena berambut pendek. Para laki-laki yang menyerangnya menuntut agar dia minta maaf karena “berpenampilan seperti feminis”.

Kejahatan seksual digital juga merajalela di negara itu. Dalam laporan setebal 105 halaman yang dirilis pada Juni lalu, lembaga Human Rights Watch menyoroti budaya objektifikasi perempuan dan menyalahkan korban di Korea, serta “kesenjangan legislatif” yang kerap disertai penegakan hukum yang lamban.

Follow Heather Chen dan Junhyup Kwon di Twitter.