100 Album Internasional Terbaik 2016 (Bagian 3)

FYI.

This story is over 5 years old.

Album Terbaik

100 Album Internasional Terbaik 2016 (Bagian 3)

Daftar ini berisi rilisan musik terfavorit awak VICE dan Noisey sepanjang tahun.

Ini adalah bagian terakhir daftar 100 album terbaik 2016 pilihan Noisey. Jika belum membaca artikel sebelumnya, klik di sini untuk bagian pertama urutan 100-67 dan kedua urutan 66-34.

Siapa yang mengira Chairlift akan melampaui kesuksesan lagu "Bruises"? Lagu yang menjadi tembang iklan iPod nano di tahun 2008 tersebut mengangkat nama duo asal Brooklyn ini kala itu. Tidak terbebani oleh kesuksesan lagu tersebut, Caroline Polachek dan Patrick Wimberly justru membuang elemen vokal imut dan beat lo-fi dan terdengar makin percaya diri dengan sound baru mereka. Apabila album tahun 2012 mereka, Something terdengar seperti hits feel-good radio tahun 80an, album ketiga mereka ini menggabungkan musik R&B 90an dengan tendensi pop ala Asia yang aneh. Di album ini, vokal Polachek yang elastis penuh akrobat benar-benar bersinar. Polachek menyalurkan nuansa mekarnya cinta romantis dan intimasi—lengkap dengan kerapuhan, sensasi memabukkan dan kenikmatan fisiknya—ke setiap lagu, mulai dari "Romeo" yang keras hingga "Crying in Publik" yang halus. Alih-alih terdengar sombong, lagu "Show U Off" justru terdengar sangat nikmat di kuping. Moth adalah salah satu album pop paling berani dan cerdas tahun ini. —Kim Taylor Bennett

Iklan

Apabila album XXX adalah sebuah pesta yang rusuh dan album Old adalah basian sehari setelahnya, maka album keempat Danny Brown ini adalah perumpamaan apa yang akan terjadi apabila pesta tersebut tidak pernah berhenti—ketika siang dan malam tidak ada bedanya dan narkoba bertebaran di mana-mana. Album Atrocity Exhibition juga menampilkan lirik-lirik terbaik yang Brown pernah tulis, mulai dari ngerokok pas jam istirahat, sampai disfungsi ereksi, hingga pengalaman turnya, semuanya dibumbui dengan humor, kegalauan dan momen-momen bijak. Semua ini didukung oleh produksi sound dari Paul White, the Alchemist, dan Evian Christ yang kadang terdengar lesu, hiperaktif, dan trippy secara bersamaan. Atrocity Exhibition adalah album feel-good-then-feel-bad terbaik tahun ini, apalagi bagi orang-orang yang sudah mati rasa semenjak putus cinta. —Larry Fitzmaurice

808INK berasal dari from Deptford, London utara. Mereka datang untuk menjungkirbalikkan semua yang anda tahu tentang musik rap Inggris. 808INK tidak bermain dengan Grime: mereka juga tak membuat hip-hop butut yang didengarkan para pemadat saat asik pesta di rumah orang tuanya. Musik yang ditawarkan 808INK bervariasi. Hasil produksi musiknya begitu aduhai, manis sekali—mirip dengan gubahan The Neptunes namun dengan undertone yang bengis. Ketika akhirnya sound-sound ini disajikan bersama vokal, album sepertinya jadi album yang pas untuk didengarkan di bangku belakang Vauxhall Astra dengan speaker bass yang disetel pol. Jelas, Hungry adalah album unik  dan salah satu yang paling progressif tahun ini. —Ryan Bassil

Iklan

Band asal Polandia, Culter Des Ghoules selalu menghasilkan karya-karya bagus. Tapi, di album keempatnya, kuartet ini merilis sebuah karya yang benar-benar melampaui apa yang mereka lakukan selama ini. Coven, or Evil Ways Instead of Love, betul-betul hebat. Kalian sudah mendengar album ini belum sih? Album ini terinspirasi operet black metal The Jilemnice Occultist. Cultes Des Ghoules memangkas semua unsur percintaan dari sumber aslinya, mengganti topik utama dengan kematian yang dinamis sekaligus aneh. Coven seakan-akan wujud penghormatan terhadap para legenda seperti Drape, Mayhem, atau Necromantia. Kejahatannya sungguh terasa di sekujur album  —Kim Kelly

Hanya di zaman banjir informasi seperti ini, seseorang bisa nekat membuat lagu tentang sebuah gorilla yang tewas. Untungnya, orang yang nekat itu adalah Young Thug yang hidup dalam dunianya sendiri hingga semua meme-meme Harambe tak lantas masuk dalam lagu tersebut.  Tentu saja, "Harambe" dihiasi liukan vokal serak yang terakhir di dengar pada masa Louis Armstrong. Harambe sendiri tak pernah disebut dalam liriknya, membuat lagu ini tak lantas jadi contoh bahwa orang bisa saja bikin lagu tanpa isi sama sekali. Di nomor lain, "RiRi" mengubah hit terbesar Young Thug tahun ini jadi suara lumba-lumba. "Webbie" berisi Young Thug dalam sebuah pesawat mengagumi matahari yang membuat jam tangannya mengkilap. "Wyclef Jean" adalah sebuah nursery rhymes tentang uang yang lebih lama dari balapan NASCAR. Young Thug terus mengaduk ide dan melemparkannya dengan kecepatan yang luar biasa. Kita beruntung bisa menikmati kejeniusannya.— Kyle Kramer

Iklan

Label David Nance menyebut dirinya sebagai musisi keren Omaha yang masih obscure (tapi masuk daftar ini, eh?), dan nyatanya dia mungkin penulis lagu terbaik di Amerika Serikat yang tidak dikenal selain oleh kolektor kaset DIY dan lingkungan teman-temannya. Biarpun sekilas terdengar seperti musik rock'n'roll Amerikana, album ini sebetulnya punya lebih banyak kesamaan dengan paham realisme lo-fi milik Peter Laughner dari band Pere Ubu dan Rocket From the Tombs dibanding lagu-lagu 'sensitif' karya John Cougar dan Jeff Tweedy.  Nance mengaku menghabiskan berjam-jam mendengarkan album Exile on Main Street milik The Rolling Stones dan Picking Through The Wreckage With a Stick karya Jim Shepard sebagai inspirasi. More Than Album, album debutnya dengan susunan band penuh awalnya direkam di Los Angeles, sebelum dibuang dan direkam ulang di kampung halamannya di Omaha. Album ini perlu didengarkan di lingkungan yang sama ketika direkam: larut malam ditemani sebotol whiskey. Track seperti "Unamused" dan "Pure Evil" bernuansa sangat gelap dan sneaky. Album ini berhasil menyampaikan suasana rekaman rumahan dengan brilian. —Tim Scott

Inggris mencapai era keemasan di 90an karena merayakan budaya populer Asia-Inggris. Di tangga lagu ada Cornershop dan Bally Sagoo, lalu Prince Naseem Hamed adalah olahragawan paling keren di planet, Goodness Gracious Me ada di televisi dan anak-anak Asia-Inggris lagi asyik-asyiknya merayakan budaya rave (ingat Daytimers?). Rasanya seperti era yang hilang, jika dibandingkan dengan hari ini, di mana imigrasi menjadi kata nista daripada penuh pengharapan. Di 2016 para imigran dari beragam generasi telah dibuat merasa tidak diterima dan bahkan diserang dengan retorika politik yang telah menyusup ke politik arus utama, yag membuat Cashmere oleh Swer Shop Boys salah satu album paling penuh kasih sayang di tahun ini. Di sini ada Riz Ahmed (rapper Pakistan-Inggris dengan keturunan India) ngerap bersama Heems (rapper India-Amerika dengan keturunan Pakistan) ngomongin identitas, rasisme, ketidakpedulian, diaspora Asia Selatan, dan juga Zayn Malik. Dari sample pertama mengenai tradisi shenai di track pembuka "T5," ini adalah lagu rap yang nekat berhiaskan beat dan suara-suara Asia Selatan. Salah satu cara membasmi prasangka paling ampuh adalah dengan menggeser perspektif—ketika orang dibuat paham dan bersimpati dengan sudut pandang yang berbeda dari milik mereka. Itulah mengapa Cashmere perlu dikirimkan ke setiap alamat di Inggris dan Amerika. —Joe Zadeh

Iklan

Rasanya sulit untuk menganggap album Konnichiwa milik Skepta sebagai sekadar album. Bagi orang-orang di luar Inggris, mungkin album ini hanya terlihat seperti album grime B saja dengan, ya, mungkin paling banyak 5 lagu enak, lalu sisanya ya oke lah, lalu 1 feature dengan Pharrel. Tapi, bagi kalian yang ngikutin perkembangan Skepta dan skena grime sejak "Not Your Average Joe" dan selebihnya, Konnichiwa mewakili sesuatu yang lebih spiritual dan puitis. Album ini adalah kisah penebusan seorang seniman yang karirnya telah berhasil, gagal, tentang kemewahan dan drama yang lebih seru daripada tragedi Shakespeare. Tapi ini juga kisah penebusan si genre sendiri—kurang diapresiasi, tereksploitasi, dan sering diantagonisasi di budaya Britania Raya—akhirnya menggapai puncak dan diapresiasi sepatutnya, dan dengan caranya sendiri. Konnichiwa adalah versi grime dari ketike Bender menjuruskan tinju ke atas pada bagian akhir The Breakfast Club. —Joe Zadeh

Dev Hynes menulis banyak bagian dari Freetown Sound di taman Washington Square Park, New York City, yang pernah dijadikan hadiah untuk membebaskan para budak dari koloni Belanda di abad ke-17. Saat itu merupakan perjanjian yang manipulatif yang hanya mementingkan pihak Belanda, menciptakan zona penopang tubuh orang hitam dari penduduk asli di luar area taman, sambil memaksa budak yang telah terbebas untuk melepaskan hak bebas anak-anak mereka. Aksi Hyne mengklaim kembali ruang di sana, apakah kebetulan atau bukan, adalah simbol dari tujuan Freetown Sound: sebuah perlawanan untuk orang-orang yang mencoba menjatuhkan identitas orang hitam, queer, dan lain-lain. Freetown Sound adalah album yang sangat personal, sebuah mixtape R&B-new wave yang dinamakan setelah tempat kelahiran ayah Hynes yang dijadikan sampel referensi orang berkulit non-putih, termasuk Paris Is Burning ditengah-tengah kegeniusan Hynes dalam banyak instrumen (gitar synth). Alih-alih mendominasi narasi soal inklusifitas, Hynes sering beralih ke latar belakangnya yaitu drum era 80an untuk memberikan ruang bagi perempuan, yang menfitur dari Carly Rae Jepsen hingga Debbie Harry dari Blondie. Freetown Sound berdiri sebagai argumen cantik menyoal nostalgia, visi yang lebih bahagia tentang masa depan yang berhubungan dengan masa lampau. —Jill Krajewski

Iklan

Jika seseorang ingin menuliskan daftar apa saja yang membuat Sturgill Simpson seorang seniman country otentik—tipe industri musik yang cenderung bertepuk tangan dari jauh karena mereka menghindari bulu-bulu yang berterbangan—di daftar itu setidaknya ada satu buku catatan komposisi. Pada album ketiganya (yang pertama di label major), terinspirasi oleh surat dari kakeknya di pangkalan Pasifik Selatan pada Perang Dunia II kepada keluarganya kalau-kalau dia gugur, Simpson menyediakan untuk anaknya sebuah panduan hidup ketika ayahnya jauh, menjalani tur dan karirnya. Ada kelembutan, kebahagiaan, dan air mata untuk kekalahan dan kemenangannya selama 38 menit, album sembilan lagu, yang terpanjang milik Simpson. Ada bagian terompet, bagian string, melodi-melodi lembut, dan chorus parau, belum lagi sebuah cover mujarap dari "In Bloom." Tapi poros A Sailor's Guide to Earth adalah pengakuan Simpson atas kefanaannya, "Brace for Impact (Live a Little)," pengingat atas kerusakan yang beriringan dengan hidup. Jika musik country—yang bagus, tentunya—adalah, sebagaimana dikatakan Ander Monson sebagai "nothing if not mourning," maka Simpson mengajak kita ke proses pemakamannya lewat A Sailor's Guide…, meratapi kematian yang dialaminya ketika mesti berjauhan dari keluarganya, mengantisipasi kehidupan. —Annalise Domenighini

Ketika Pemilu AS 8 November terdengar sebagai pertanda buruk, Anohni menyampaikan sebuah penawarnya lewat Hopelessness. Ini sebuah album yang tanpa permisi mencolek pendengarnya dengan pesan-pesan politis. Tapi album ini engga pedantik, dia hanya mengungkapkan pertanyaan dan bukannya menawarkan jawaban, memadukan penulisan lagu dengan tradisi dengan balutan musik dance dan elektronik. Hasilnya adalah sebuah koleksi antem protes yang terdengar lekat dengan eranya, dan bukannya sekadar kiasan yang mengacu pada gerakan terdahulunya. Dia bisa saja berbicara soal bom udara dari sudut pandang perempuan berusia tujuh tahun pada "Drone Bomb Me" atau mengajukan hooks okestral soal pemanasan global atau kerapuhan eksistensialis pada "4 Degrees." Yang jelas, Anohni menggunakan musiknya untuk menggembleng kita dengan kejujuran pahit yang cenderung kita acuhkan karena ricuhnya pemberitaan media. Album ini kaya dan mendalam dan bakal nyangkut di kepala, dan itulah memang tujuannya. Di masa kita lebih mudah merasa kewalahan dan terputus, Anohni dan para kolaborator Hudson Mohawke, Oneohtrix Point Never menemukan cara untuk menyuguhkan perspektif personal. Hopelessness berjaya sekaligus menyakitkan: album ini merengkuh paradoks hidup di 2016 alih-alih jadi lumpuh karenanya. Dengan begitu, album ini mengajak kita terus melangkah ke depan. — Andrea Domanick

Iklan

Sejak kapan Cass jadi smooth banget musiknya? Sebetulnya sih mungkin dari dulu—di album sebelumnya, single "The Burning of the Temple,2012" mengingatkan kita akan Leonard Cohen dan penuh dengan alunan saxophone yang membuai. Namun di albumnya yang kedelapan, penyanyi yang lahir di Bay Area ini berhasil menelurkan lagu-lagu yang penuh dengan groove ("Bum Bum Bum" dan "Opposite House," yang menampilkan Angel Olsen), mengingatkan kita akan musik-musik Amerika Serikat yang dimainkan di radio FM tahun 70an. Coba dengar aksi suling yang seksi di lagu "Laughter Is The Best Medicine" sebagai bukti nyata. Nuansa alt-country khas Cass masih ada di album ini, namun kali ini dengan beberapa kejutan, seperti lagu hip berbau feminis "Run Sister Run" dan pengaruh Crowded House yang terdengar di lagu "In a Chinese Alley." Gabungan beberapa gaya musik ini seharusnya terdengar ganjil, namun Cass berhasil meramu sebuah formula yang pas. Dia menyanyikan lirik "I'm a shoe / And so are you" dengan penuh kesepian dan membuat kita merasa seperti sedang dicurhati secara langsung. Ini adalah album yang pas untuk didengarkan pada hari Minggu yang santai bersama sang kekasih di ranjang. —Kim Taylor Bennett

Giggs telah mewanti-wanti bahwa tidak ada yang dapat menghentikan dia mengukuhkan warisannya sebagai keagungan rap Britania Raya—bukan para polisi, yang membuat konser-konser di London lebih sulit daripada ujian PNS, yang kreatifitasnya sangat terbatas, dan bukan pula skena musik yang (sebelum Giggs) lebih menyambut aksi-aksi grime daripada rap gangster Inggris. Di album keempat ini, Landlord, dia meneruskan tradisinya soal keteguhan hati dan terus melangkah maju. Album ini dipenuhi segala yang gelap, dan beat brutal dan permainan kata (yang kadang lucu) yang dia gunakan selama ini untuk membangun reputasinya. Ada kekosongan dan kedinginan di "The Blow Back" yang dihantarkan dari Stormzy and Dubz; ada ritme grinding dari "Whippin' Excursion,' yang mungkin kamu dengar dari flat dengan jendela terbuka di Peckham; dan ada juga melodius pelan di "Of Course," yang merupakan hal paling mirip dengan lagu cinta ala Giggs. Sejujurnya, album ini adalah sebuah testamen soal hambatan-hambatan yang dapat membentuk kekuatan dan kreatifitas seorang seniman. Dengarin deh ni album, dan inget: kalau hidup kayak tai, lempar balik tainya. —Daisy Jones

Iklan

Mudah sekali untuk menempelkan istilah "mahakarya" ke setiap album bagus—hiperbola memang tidak asing dengan dunia penulisan musik. Namun perilisan album Rheia menghasilkan dampak yang luar biasa bagi band asal Belgia ini, terutama di kalangan pendengar Amerika Serikat. Biarpun sudah aktif semenjak 2008, album Oathbreaker yang ketiga inilah yang membuat mereka menjadi salah satu band tahun 2016 yang menyeruak. Rheia menyajikan energi post-hardcore, crust, black metal, harmoni vokal dan katarsis emosional yang dibalut menjadi satu kesatuan yang kohesif dan menawan. Vokalis Caro Tanghe kian memperkaya warna sound yang dihasilkan band multi-genre ini. Aksi manggung mereka yang penuh energi juga kian memperkuat reputasi mereka sebagai band terbaik. Oathbreaker berhasil terbang tinggi melalui rilisan ini—album yang menawan dan abrasif. —Kim Kelly

Banyak band berpotensial gagal di album kedua mereka, dan sepertinya PUP asal Toronto akan bernasib sama. Album self-titled mereka yang dirilis tahun 2014 kelewat keren—album pop punk sempurna penuh riff ngebut, dinamika start-stop, gang vokal penuh sing-along yang disukai para kritikus musik. Selepas dirilisnya album itu, mereka juga melakukan tur dunia yang mendapatkan mereka banyak penggemar baru. Dengan pendekatan total macam ini, mau dibawa kemana band ini setelah itu? Entah bagaimana caranya, band yang berisikan empat anggota ini muncul kembali lewat album The Dream Is Over yang penuh dengan energi. Semua elemen yang membuat mereka mudah disukai dinaikkan hingga level 11. Semuanya lebih cepat, keras dan tajam. PUP menulis dengan jujur pengalaman tur mereka yang melelahkan dan kerap membuat mereka ingin membunuh satu sama lain. Bahkan judul album ini sebetulnya penggalan nasihat dokter terhadap vokalis Stefan Babcock untuk berhenti ngeband jika tidak mau pita suaranya jebol. Lewat The Dream Is Over, PUP menerima semua tantangan yang telah dilemparkan oleh realita terhadap mereka dan mengatakan, "Elo mo lempar apa lagi?" —Dan Ozzi

Iklan

Pengaruh musik rock selama tiga dekade terakhir bisa jelas terdengar di Teens of Denial—pendengar Leonard Cohen, materi awal Weezer dan Talking Heads pasti akan menyukai album ini—namun jujur, album ini dan vokalisnya Will Toledo lebih punya banyak kesamaan dengan Frank Ocean dibanding influence-influence yang disebutkan di atas. Seperti album Blonde milik Frank Ocean, Denial adalah album yang menempati daerah abu-abu dalam hal musik dan lirik. Mulai dari penggunaan sampling dan parafrase hingga keambiguan para anggotanya secara seksual dan lirik-lirik bersifat eksistensial. Ini adalah album yang berfokus tentang identitas, menelaah hubungan antara bagaimana kita melihat diri sendiri dengan bagaimana orang lain melihat kita—entah teman, pacar, keluarga atau masyarakat umum—dan bagaimana kita menyikapi dunia di sekitar kita. Album ini juga seru dan kerap akan membuatmu headbang. Penting juga untuk disebutkan bahwa Toledo adalah seorang penulis lagu yang penuh talenta dalam hal aransemen: lagu-lagunya cenderung bersifat renggang, tapi tidak repetitif dan basi, dan sebetulnya berlapis-lapis dan rumit. Entah itu part gitar slide yang tersembunyi, harmoni yang didistorsi atau permainan kata penuh makna yang baru akan anda sadari setelah mendengarkan album ini beberapa kali. Denial adalah album yang mengisahkan proses manusia berbuat kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut. Ini adalah album konsep tentang kehidupan tanpa ego, dinyanyikan oleh generasi baru dengan visi yang menembus sekat-sekat genre musik. —Andrea Domanick

Iklan

Pada lagu terakhir ada bait "the days have no numbers", sebuah mantra penenang dari suara nun jauh di sana. Tentu, sejauh ini ada angka di mana-mana pada album itu, "22 (OVER S∞∞n)," "8 (circle)"—semua lagu deh—dan mereka punya semacam makna numeris tentang hidup dan kematian dan spiritualitas. Kamu mulai menggali-gali dan menyadari beberapa petunjuk tambahan: bahwa tape glitch, 10 detik pengulangan reningan piano di awal album, yang bisa jadi adalah permainan bongos life dalam pola drum garasi tapi mereka cuma memainkannya dalam dua ukuran jadi engga jelas juga? Ada bagian di mana sampel Stevie Nicks menyanyi pada latihan di video semi-legendaris live di YouTube. Lirik-lirik mereka menawarkan banyak hal juga—obrolan di tangga, bagian kacrut "I'm so sorry for cheating," seluruh bagian lagu yang mungkin klop banget dengan plot Great Gatsby. Ini adalah hal-hal yang bisa kamu harapkan dan pegang atau justru biarkan berlalu, seperti hal lainnya dalam hidup. Mungkin ada makna dalam numoerologi, dalam suara manusia yang ada lalu menghilang; mungkin itu adalah bagian dari misteri kosmos yang terlalu sulit dijelaskan. Bukankah keduanya sempurna? — Kyle Kramer

Tidak ada seniman yang lebih agung di budaya rap intergenerasi tahun ini daripada Lil Yachty: Setelah ngetroll dedengkot hip-hop karena mengaku belum pernah mendengar album Biggie, dia bikin orang-orang tua kalang kabut dengan rap kekanakan dengan beats yang terdengar seperti versi ambient dari theme song kartun (dan di beberapa kasus emang seperti itu). Tapi obrolan itu melupakan premis fundamental Lil Yachty, yaitu kamu bisa main-main dengan serius, bahwa menemukan sound indah bisa sengefek pesan-pesan liris manapun, dan bahwa sikap positif membawa keberuntungan. Dengan falsetto autotune dan noise yang dreamy, Yacht menunjukkan dia paham tekstur dan atmosfir telah menjadi alat rap terpenting dan jika seseorang membawa ide ini lebih jauh, menikmati keindahan "helloooooo" termodulasi atau suara yang mencait menjadi synth. Dan entah bagaimana, lagu-lagu macam "1 Night" dan "Wanna Be Us" juga nendang. "Minnesota" mungkin posse cut penentu zaman. Buruan gabung ke Lil Boat, sebentar lagi jangkar akan diangkat dan perjalanannya akan panjang. — Kyle Kramer

Iklan

Blackstar, album terakhir David Bowie—albumnya yang ke 25—dirilis tiga hari sebelum dia meninggal dunia. Lagu penutup di album ini berjudul "I Can't Give Everything Away," menceritakan—setelah seumur hidup berkarya—bagaimana Bowie kesulitan mengekspresikan dirinya sendiri dengan cara yang akan diterima oleh dunia. Memang ketika ditulis, ini terasa seperti sebuah klise. Namun ya beginilah keadaannya, dan itulah persembahan David Bowie sebelum dia meninggalkan dunia ini. Bowie itu klise karena dialah yang menciptakan klise-klise ini. Bowie menginspirasi beberapa generasi untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri dan memikirkan pribadi macam apa yang ingin mereka wujudkan. Belum lagi fakta bahwa (dan ini lebih penting, namanya juga daftar album musik) Blackstar adalah album yang sangat keren, dan mungkin setara dengan album klasik Bowie lainnya. Biarpun suaranya terdengar letih, Bowie masih sanggup menghasilkan karya mengagumkan yang menutup warisan diskografinya yang luar biasa. Bisa dibilang Bowie sebetulnya tidak mati tahun 2016 ini, dia justru bangkit. —Eric Sundermann

"I sit alone in my four-cornered room, staring at candles." Itulah intro tak terlupakan Scarface di lagu Geto Boys "Mind Playing Tricks on Me," dan itu sebuah imagery yang sangat kuat yang muncul ketika mendengarkan proyek rapper Atlanta 21 Savage dengan Metro Boomin, Savage Mode. Sebuah garis tebal membentang di sini—sebuah observasi aneh tentang album yang menunjukkan kesombongan, "Wet your mama house / Wet your grandma house / Keep shootin' 'til somebody die." Tapi ini adalah moda 21 Savage yang ceroboh dan acuh yang mengukuhkan aura memikat Savage Mode; bahkan ketika dia lagi tengil-tengilnya, dia engga kedengaran lebih dari ngobrol sama sepatunya sendiri, dan ketika dia menaikkan suaranya, ada regangan yang terdengar. Dipadukan dengan produksi hampa dan ringan, Savage Mode kadang terdengar seakan-akan kamu mendengarkannya secara tidak sengaja—seperti kamu mendapati seseorang sedang ngomong sendiri, engga mempedulikan apakah kamu mendengarkan atau mundur teratur. Ini adalah sebuah pencapaian, yang mungkin tak bisa dia raih lagi—dan jujur deh, emangnya kita mau dia mengulangi ini? —Larry Fitzmaurice

Iklan

Lebih dari 20 tahun yang lalu, A Tribe Called Quest membawa pengaruh musik jazz ke dalam rap—dua-duanya produk musik asli Amerika Serikat. Seiring mencuatnya nama mereka sebagai entitas penting dalam dunia hip hop, semua orang di AS tahu jawaban dari kalimat berikut ini "Can i kick it?" Untuk bisa menyerap musik Tribe, anda harus merasakan rima dan ritme yang mereka mainkan secara natural, selayaknya ngobrol dengan teman lama yang sudah lama anda kenal.

Apabila rasa familiar ini anda rasakan ketika mendengar sampel "Bonita Applebum", maka sudah pasti album terakhir Tribe, We got it from Here… Thank You 4 Your Service akan sangat berkesan karena menghadirkan sampel itu kembali. Di album comeback mereka ini, sound khas mereka kembali diperdengarkan. Suara-suara vokal tamu kerap muncul di latar belakang musik, mulai dari Q-Tip, Jarobi, Consequence, Busta Rhymes hingga Andre 3000, Talib Kweli, Anderson .Paak, Kendrick Lamar, Kanye West bahkan lecutan gitar Jack White. Kontribusi dari sederet bintang tamu ini hanya ditampilkan sekilas: "the ramen noodle" atau "green and the white, we serving Nigeria" atau "How I'm 'posed to know how home feels? / I ain't even on my home field. " Namun akhirnya, insting jazz Tribe lah yang menyatukan berbagai elemen ini—setiap suara, setiap percikan gitar penuh reverb, setiap lekukan bunyi synth. Album ini mungkin adalah salah satu album dengan aksi synthesizer terbaik sepanjang masa. Coba saja dengarkan lagu "Conrad Tokyo."

Iklan

Namun dari semua nama-nama bintang tamu yang mentereng itu, ada satu figur yang menonjol: Phife Dawg, rapper Tribe yang meninggal awal tahun ini. Kehilangan sosok penting seperti ini tentunya menyakitkan bagi Tribe. Oleh karenanya, penting bahwa album ini menghadirkan suara rapper yang kerap dipanggil Trini gladiator ini, lengkap dengan semburan liriknya yang tajam. Aksi rappingnya di lagu "The Donald", yang diduga merupakan bentuk kritik terhadap presiden AS yang baru, Donald Trump akan hidup selamanya biarpun anggota Tribe yang lain mengatakan bahwa lagu ini adalah tentang Phife—yang kerap dipanggil Donald Juice.

Mungkin ada suatu momen dimana Q-Tip membayangkan suara almarhum Phife dari alam baka nan jauh di sana: Phife sedang ngecengin orang-orang tentang sepatu yang mereka pakai atau menjelekkan dirinya sendiri yang pendek, namun di saat yang sama masih secara lihai berima dengan frasa sulit macam "cremated molecules." Terdengar semangat almarhum di lirik-lirik seperti "rip every stage with grace look right in they face / live the Tribe principle of having impeccable taste." Tidak lupa juga dia menitipkan pesan di bait-bait: "You still got the work to do / I expect the best from you / I'm watching from my heaven view / don't disappoint me / make sure that they anoint me." Dengan pesan terakhir semacam ini, sudah pasti hasilnya akan menjanjikan. —Kyle Kramer

Coba liat cover album ini: sebuah robot mutant bermotif bendera Inggris yang tengah seorang diri melongok London. Album yang awalnya adalah proyek Dean Blunt ini—dibantu oleh Arca dan Michachu—jelas sarat dengan pesan politik, sesuai dengan covernya. Dibuka dengan loop selama lima menit berisikan seorang pria melontarkan "This makes me proud to be British," berulang kali, album ini berfokus di interpretasi identitas seseorang. Loop pembuka album tersebut diduga diambil dari upacara pembukaan Olimpiade London tahun 2012 atau acara sejenisnya, dan menggiring kita ke dalam perjalanan mempertanyakan identitas sang penulis sebagai seorang warga Inggris. Mengutip pernyataan majalah FACT awal tahun ini, Babyfather adalah bentuk sound modern musik protes yang menantang namun juga layak didengar. Dan di era di mana musik Inggris baru mulai kembali menemukan jati dirinya kembali, bait seperti "Real and good, true and proper," adalah enkapsulasi puitis yang sempurna bagi musik yang tidak mungkin muncul dari tempat lain selain London. —Ryan Bassil

Iklan

Jeff Rosenstock adalah seorang peramal. Dia tahu tahun 2016 bakal jadi tahun yang penuh penderitaan. Bahkan dari verse pertama lagu di album barunya, dia bernyanyi, "This decade's gonna be fucked." Dan sejauh ini dia belum salah. Di tahun ini, banyak sekali musisi ikonik yang meninggal, pemilu Amerika Serikat yang kacau balau dan pertikaian antara warga dan polisi di AS. Dan yang lebih parah lagi, semua orang ngomel-ngomel di Facebook. Semua orang ingin opininya didengar. "Hiruk pikuk media sosial" seperti kata Rosenstock—adalah yang menginspirasi judul albumnya. Pasca bubarnya Bomb the Music Industry!—band punk lama Rosenstock—Rosenstock merilis album solo keduanya yang berjudul WORRY, penuh campuran genre, mulai dari musik ska ngebut sampai lagu jamming akustik yang lembut. Memang, album ini tidak menawarkan solusi ke masalah-masalah dunia saat ini, namun selama setengah jam, pendengar diberikan kesempatan untuk pasrah, mengubur kepala di bantal dan berteriak hingga puas. Dan di tahun 2016 ini, sepertinya ini adalah hal yang dibutuhkan semua penduduk AS. —Dan Ozzi

Album debut Culture Abuse, Peach dibuka dengan penggalan lirik ini: "Let there be peace on earth. Let love reign supreme." Dua kalimat ini, yang juga ditulis besar-besar di dalam booklet album ini berfungsi sebagai mantra—semacam tema yang terkandung dalam semua lagu di album ini. Mungkin kalimat berbunga-bunga macam ini akan terdengar seperti sampah hippie naif apabila dinyanyikan band lain, tapi tidak halnya dengan Culture Abuse. Mereka mempunyai sudut pandang yang unik dalam memandang dunia: nihilisme optimis—melihat betapa ngawurnya dunia namun tetap tersenyum memandang semuanya. Soalnya kalo enggak, elo bisa apa lagi?

Iklan

Vokalis David Kelling sudah sering mengalami penderitaan hidup. Ketika sedang menulis album Peach, dia harus menyaksikan beberapa temannya meninggal, mengunjungi ibunya yang sakit di rumah sakit, dan tergusur oleh gentrifikasi kota San Fransisco, mengakibatkan dirinya tinggal di ruangan latihan band yang sempit bersama empat orang lain. Kelling juga mengidap kelumpuhan otak. Namun bukannya mengeluh dan berputus asa, Kelling berusaha berjuang melawan penderitaannya.

Lagu pembuka Peach yang berjudul "Chinatown," memulai aura positif Culture Abuse yang seakan-akan ngomong "terserah elo deh." Lagu ini bercerita tentang pengalaman Kelling yang berurusan dengan polisi yang berusaha bertindak semena-mena terhadap dirinya. Dia berteriak, "Gotta gotta gotta live the way you wanna / Gotta gotta gotta be the way you're gonna." Ketika dihadapkan dengan melunjaknya harga sewa tanah di kota tempat tinggalnya, Kelling berdendang: "There's no future, but I don't mind." Sikap ini diterapkan juga dalam skala global dalam lagu "Peace on Earth" yang berbunyi, "I never thought about the government or the president, I wouldn't listen to them anyway / So, there might be a war, well I don't care / I just want to get by if that's alright." Kalau sikap dia bisa digambarkan dalam emoji, mungkin akan terlihat seperti ini: ¯\_(ツ)_/¯.

Biarpun slogan Peach terdengar seperti stiker yang tersebar di acara-acara rock hippie tua macam Woodstock tahun '69, Kelling bukanlah Jerry Garcia, dan Culture Abuse sama sekali tidak mirip dengan Grateful Dead. Ketika manggung, Kelling meneriakkan hatinya ke dalam microphone selagi anggota band lainnya mengiringi soundtrack cerita hidup sang vokalis dengan sound gitar yang tebal. Aksi manggung mereka yang penuh energi bisa disandingkan dengan band punk atau hardcore manapun saat ini di Amerika Serikat. Bedanya, di belakang mic, wajah Kelling tidak terlihat sewot atau suram. Dia justu cengengesan kayak orang bego, cocok dengan lirik lagu "Jealous," yang berbunyi "At the end of the day, I'm just happy to be here."

Iklan

2016 adalah tahun yang berat bagi banyak orang. Banyak sekali peristiwa buruk yang terjadi. Orang-orang tidak tahu harus bersedih, marah atau kecewa. Culture Abuse menawarkan sebuah solusi: kadang-kadang gak punya respon sama sekali pun tidak apa-apa—elo bisa acungin jari tengah aja, senyum terus bilang "tailah semua." —Dan Ozzi

Beberapa album terbaik biasanya mempunyai asosiasi dengan lokasi-lokasi spesifik. Misalnya album good kid, m.A.A.d city milik Kendrick Lamar yang erat dengan jalanan dan area Compton. Ada juga Nas dan album klasiknya Illmatic yang dirilis tahun 1994, menceritakan dengan detil "NY State of Mind." Nah sekarang kita punya Made in the Manor karya Kano. Bedanya? Tidak seperti rilisan-rilisan ikonik karya Lamar dan Nas yang meroketkan nama mereka di awal karir, Made in the Manor baru keluar di dekade kedua karir Kano. Nama Kano mulai terdengar di Inggris semenjak track debutnya "Ps & Qs" menjadi hit underground di 2004. Penggemar musik internasional mungkin pernah mendengar namanya di album Plastic Beach milik Gorillaz. Atau mungkin anda pertama kali melihat Kano di acara TV Top Boy—yang saking bagusnya, season keduanya akan didanai oleh Drake. Namun album Kano kelima inilah yang akan menentukan karirnya. Album ini tidak mungkin akan tercipta tanpa karya-karya Kano sebelumnya.

Ketika membicarakan asosiasi dengan tempat, Made in the Manor merupakan bentuk refleksi Kano terhadap masa lalunya di London Timur. Referensi-referensi London bertumpuk-tumpuk di album ini layaknya buku tua di gudang: mulai dari bau khas di jalan keluar perempatan A-road, toko pangkas rambut di Canning Town, hingga muka ratu Inggris yang terpampang di kantong belakang celana jins. Bagi anda yang ingin membayangkan rupa area-area di sekitar jalur metro London, ini adalah album yang tepat. Namun jangan salah, album ini tidak hanya sekedar asosiasi dengan London semata. Kano sempat mengatakan "Album ini adalah album saya yang paling jujur. Album-album saya sebelumnya juga jujur tapi saya tidak pernah membicarakan hal-hal pribadi seperti di album ini."

Iklan

Tentu saya, dari mulai jaman pertama kali musik dijual dulu hingga sekarang yang namanya seorang seniman mengaku "jujur" soal karyanya adalah klise usang. Namun di lagu-lagu yang sangat mengiris hati di album Made in the Manor—seperti "Little Sis," tembang yang didekasikan Kano kepada adik perempuannya yang baru dia temui satu kali seumur hidup, dan "Strangers," yang bercerita tentang persahabatan yang merenggang—sentimen ini terasa jujur. Jangan juga lupakan salah satu track terbaik tahun ini, "3 Wheel Ups"—sebuah kolaborasi dengan Giggs dan Wiley yang sangat mantap dan akan melabrak para pendengarnya. Ada juga track bonus "GarageSkankFREESTYLE," yang menjadi soundtrack sempurna bagi anda yang berniat menghabiskan malam berkeliaran di kota.

Semua kualitas baik yang perlu dimiliki sebuah album ada di sini. Album ini sentimental, otentik, penuh warna dan detil, namun tetap ringan dan bisa didengarkan ketika anda sedang mabuk dan ingin bersantai. Di awal kebangkitan musik grime tahun lalu, memang nama Kano tidak banyak terdengar, namun sekarang kerja kerasnya telah membuahkan hasil. Banyak orang mengatakan bahwa belum ada album musisi Inggris sekeren ini semenjak Boy In Da Corner milik Dizzee Rascal dirilis. Ketika anda mendengarkan album ini berulang-ulang, sulit untuk mengatakan bahwa pendapat orang-orang tersebut salah. —Ryan Bassil

Kaytranada identik dengan pergerakan. Melalui album debutnya, produser asal Montreal ini kembali ke masa lalu untuk mendorong musik dance ke era modern, mengambil inspirasi dari era ketika ritme musik disko tahun 70an mulai ditelan oleh beat hip-hop 80an. Sound khas Kaytranada adalah frekuensi rendah yang sangat ngebass dan hipnotik, seakan-akan menjadi satu dengan denyut jantung anda. Karir Kaytranada dimulai sebagai produser rumahan sebelum dia menjadi favorit di Soundcloud dan kemudian menjadi DJ ternama yang kerap manggung di Montreal dan di seluruh dunia. Dari penggemar Disclosure jadi kontemporer Disclosure—di umur 24 tahun.

Iklan

99.9% memang album debut Kaytranada, namun tidak ada bau-bau amatir di sini. Dia berhasil menciptakan sebuah album berkualitas yang bahkan banyak veteran kerap kesulitan untuk lakukan. Album ini mencampur beberapa genre yang berbeda, namun tetap kohesif. Setiap lagu bisa berdiri dengan sendirinya. Coba dengar betapa mulusnya "Track Uno" dan banter antara Aluna Francis dan GoldLink di lagu "Together" sebagai contoh. Kaytranada berhasil menetapkan dirinya sebagai ahli sound dan aspek emosional musik di awal karirnya dengan komitmen untuk selalu mendorong musiknya 99.9>#/p### Lahir di Haiti dengan nama Louis Kevin Celestin, Kaytranada berimigrasi ke Montreal dengan keluarganya ketika dia masih bayi. Dia besar di antara dua kultur yang berbeda dan juga dua orang tua yang berbeda—orang tuanya bercerai ketika dia berumur 14 tahun. Di sebuah artikel intim di FADER, Kaytranada juga bercerita tentang tantangan hidup berat lainnya: seksualitasnya sebagai seorang pria gay, dan bagaimana dia dibully karena tidak mengikuti standar maskulinitas yang diterima di Montreal. Album 99.9% harus didengarkan dengan cara membuang semua asumsi kita tentang apa jadinya sebuah album elektronik yang diciptakan oleh seniman Kanada kelahiran Haiti berkulit hitam yang gay. Apabila anda berhasil membuang asumsi-asumsi ini, album ini akan terdengar sangat universal dan esensial. —Jill Krajewski

Noisey menerbitkan 41 ulasan ketika The Life of Pablo akhirnya dirilis setelah beberapa kali ditunda, dan kami bersumpah bahwa kamu tidak akan perlu lagi membaca tulisan lain soal album ini. Namun, banyak hal yang berubah sejak sepuluh bulan lalu. Pertama, album ini dipermak di beberapa bagian; seperti lirik dan vokal tambahan yang diubah, mix terbaru dan satu lagu tambahan. Kanye menyebut album ini sebuah "ekspresi kreatif yang hidup dan berkembang." Setelahnya, terjadi perubahan pribadi dan kultural di sekitar album ini, yang dimulai dari kekacauan lazim sebelum akhirnya memburuk. Contohnya seperti liriknya tentang Taylor Swift, pemikirannya soal kata " bitch," hingga permintaan sokongan dana pada Mark Zuckerberg, serta Kim Kardashian yang ditodong senpi di Paris. Kanye kemudian mulai meracau di sela-sela konsernya dan menyatakan dukungan untuk Donald Trump, turnya pun kemudian dibatalkan dan akhirnya ia dilarikan ke Rumah Sakit.

Iklan

Ada album yang memang mengada dalam vakum kreatifnya sendiri, namun ada album-album yang sangat terikat dengan seorang pencipta yang penuh gairah, sehingga harus dinilai terus menerus. Walau pada awalnya terlihat beberapa elemen mencolok seperti siraman rohani Chance the Rapper di bait "Ultralight Beam," kerjasama duo Rihanna dan Nina Simone di "What You Gonna Do," atau suguhan setumpuk bait dengan kepiawaian lirikal Kanye di masa jayanya, seperti "I'm too black, I'm too vocal, I'm too flagrant," kini sulit mendengarkan The Life of Pablo  tanpa memasuki sudut-sudut tergelapnya.

Spiritual, percaya diri dan bertentangan, The Life of Pablo adalah renungan pedih Kanye West atas kondisinya kini, baik sebagai pribadi maupun produser. Ada sebagian kegelisahannya di tiap baris lirik misoginisnya yang mengherankan. Pula di tiap kisah penghormatan lembut bagi istri dan anak-anaknya, ada cerita vulgar soal mengotori kaosnya dengan pemutih anus. Lagu yang menggambarkan Kim dan Kanye bagai Yusup dan Maria-indah pula angkuh-bersanding dengan pengandaian pernikahan mereka dengan antidepresan Lexapro. Belum lagi lagu diss untuk Nike, lengkap dengan bait tentang mebel.

Opini publik terhadap Kanye West selama ini memang tak kenal ampun. Para penggemarnya pun sadar betul bahwa Kanye sudah melalui masa di mana ia keluar naskah saat tampil di siaran langsung dalam sebuah penggalangan dana, dan menyatatakan George Bush "tidak peduli pada orang kulit hitam." Baik dalam karya atau pandangannya, Kanye konstan berevolusi. Sebelumnya, Kanye cenderung bergerak ke arah yang inovatif, mengesankan dan menarik, namun kini tak sepenuhnya demikian. Kanye West adalah figur yang tidak dapat diprediksi, apapun dampaknya. The Life of Pablo adalah album yang memaksa kita untuk melihat Kanye dari beberapa sudut pandang. Perhatian yang pantas ia terima, walau hanya ia dapatkan kadangkala. The Life of Pablo terus menuju puncak, meninggalkan seluruh karya aneh lain yang dihasilkan tahun 2016. —Emma Garland

Iklan

Album Zeal & Ardor, Devil is Fine, menyatukan dua genre yang harusnya tak pernah berdekatan, melewati sekat-sekat musik Metal. Dalam sebuah interview tahun ini, Manuel Gagneux mengatakan bahwa album ini bermula dari sebuah tantangan di imageboard 4chan tempat ia meminta ide baru untuk menggubah musik. Pertanyaan ini kemudian ditingkahi request untuk membuat "black metal" dan "nigger music."  Akhirnya Gagneux memutuskan untuk menggarap sebuah album black metal yang menerima banyak pengaruh dari musik spiritual afrika amerika. Bedanya, jika biasanya lagu spiritual negro ditujukan untuk tuhan yang ada di atas langit sana, lagu gubahan Gagneux dialamatkan pada Lucifer. Contohnya, dalam lagu "Devil is Fine" yang disertai sample suara yang kedengaran seperti rekaman penjara zaman Jim Crow, Gagneux menyanyi dengan gaya crooning , "Little one better heed my warning / He come in early morning / He go by many names / We gonna go home to the flames."

Juxtaposisi gaya vokal seperti ini dengan instrumentasi Zeal & Ardor yang benar-benar black metal menciptakan sebuah pengalaman mendengarkan musik yang unik. Nomor"Children's Summon" dibuka dengan kord xylophone lembut yang ditabrakan dengan drum yang bertalu-talu ketika Gagneux menyembuarkan mantra setan dalam bahasa latin. Sementara itu,  "What Is A Killer Like You Gonna Do Here?" seperti direkam dalam sebuah klub jazz remang-remang. Liriknya bikin merinding, sebuah panduan melakukan pembunuhan. Dalam sebuah "plesetan"  lagu spiritual "Blood In The River," Gagneux kembali bernyanyi, "A good lord is a dark one / A good lord is the one that brings the fire."

Iklan

Mencuatnya nama Zeal & Ardor di kancah musik metal global tak pernah diperkirakan sebelumnya. Metal, seperti anda tahu, adalah genre yang didominasi oleh pria. Dalam kondisi seperti ini, Gagneux seorang pria birasial datang menawarkan sebuah mashup yang berakar pada sejarah perbudakan di AS dan Black Metal. Pun, Devil is Fine dirilis pada waktu yang tepat, ketika tegangan rasial mencapai puncak tertinggi setelah era Civil Rights era.  Lebih jauh, album ini membuka mata komunitas black metal terhadap realitas yang selama ini mereka abaikan. Ketidaknyaman yang diciptakan Devil is Fine jadi penanda betapa revolusionernya album ini —Lawrence Burney

Ketika diumumkan bahwa Beyoncé akan muncul di pertunjukan Superbowl Halftime tahun ini, fans Beyoncé tahu betul bahwa itu bukan sebuah pertunjukan tunggal. Ternyata betul, pada pertunjukkannya dia sekaligus mengumumkan tur duni Formation, yang kemudian mendukung visual album Lemonade yang terbit tak lama setelah itu. Itu adalah pertunjukan pro-black pada sebuah acara olahraga profesional Amerika yang paling putih, yang mana Bey mengangkat topik Black Panter, yang membuat orang-orang percaya bahwa singlenya Formation, dan video Lemonade menunjukan sentimen anti-polisi.

Tanggapan konservatif terhadap Lemonade muncul langsung dan menyeramkan, dengan semua orang dari The Drudge Report hingga Sean Hannity menyatakan Beyoncé sebagai panutan buruk, terutama atas adegan penghancuran mobil di videonya "Hold-Up". Itu adalah sbeuat peringatan atas kekuatan Queen Bey, bahwa hanya sekadar berkembang—atau bahkan sekadar ada—dia menunjukan ancaman bagi Amerika kulit putih.

Iklan

Lemonade adalah sebuah album yang provokatif dan politis—sebuah mediasi mengenai blackness di tengah iklim budaya pop dan dia menyambung kembali sejarah Amerika melalui pop, rock, country, dan blues. Tapi album solo Beyoncé keenam juga terasa personal, yang dianggap mengungkit tuduhan perselingkuhan yang dilakukan suaminya, Jay Z. Ini adalah sebuah pengingat bahwa Beyoncé telah berkembang tidak hanya sebagai seorang seniman tetapi juga sebagai seorang individu. Mendekati 20 tahun karirnya, kita telah melihat dia tumbuh besar, dari seorang penampil muda ke seorang perempuan dewasa yang menegosiasi kekuatan seksualnya untuk berperan sebagai ibu dan istri. Sebagai pendengar, kita paham rasa nyeri yang nyata dan kesulitan berkembang yang terjadi pada hubungan jangka panjang: pada "Formation" dia bernyanyi "I'm so possessive so I rock his Roc necklaces" ke "I ain't thinking about you" pada lagu "Sorry", setelah menyombong "You and married to no average bitch, boy" pada lagu "Don't Hurt Yourself." Album ini adalah pengingat bahwa keterbukaan personal bisa pula jadi politis. — Sarah MacDonald

Benamkan ini dalam otak anda: Dalam 10 menit pertama album terbaru Rihanna, ANTI, telingat kita langsung dihajar empat lagu (kalau boleh jujur sih 3 lagu, satu laginya cuma interlude) yang kemungkinan besar jadi lagu-lagu penting di album ini. Ada ketukan drum yang terdengar menyeramkan di "Consideration," keyboard dengan tekstur yang mengawang-ngawang di "James Joint," sebuah capaian tertinggi musik pop dalam "kiss it better" dan akhirnya pop, single yang melahirkan ratusan riddim (kata yang terus diulang secara ritmis. Sebenarnya, kita bisa dengan woles menganggap album inu sebagai rentetan lagu keren terbaik tahun ini. Di titik inilah album ini menjadi keren. ANTI tak membuang waktu untuk menunjukkan kekuatannya. Ada banyak album dikonsepkan sebagai sebuah narasa, tiap lagu di dalamnya memiliki fungsi tertentu dalam narasi itu. Keanggunan ANTI, sebaliknya, terletak pada fakta lagu-lagu ini bicara tentang cinta, sakit hati dan hubungan personal. Lagu-lagu ini seperti tak akur satu sama, kita seperti dibiarkan merasakan bahwa lagu-lagu ini tidak ditata dengan konsep tertentu.
Beberapa bulan sebelum album ini dirilis, tepatnya, saat sampul album ANTI diumumkan kepada publik, desainer terkenal S Roy Nachum membuat tulisan tentang Rihanna dan arti di balik judul album barunya, "Rihanna terus mengikuti instingnya. Alhasil karyanya terus memberikan dampak yang 180 derajat berbeda dari apa yang diharapkan publik." Bagi Nachum, inilah alasan kenapa Rihanna begitu dicintai dan memang ini adalah apa yang kita harapkan darinya. Ketakacuhannnya terhadap ego lawan jenisnya adalah alasan kenapa namanya terus dibicarakan. Citra dirinya yang terus berubah dan makin eklektik berhasil membuat dirinya hampir jadi manusia setengah dewi di internet. Namun, apa yang bikin dia semacam pahlawan adalah kekukuhannya dalam mengikuti instingnya.

Iklan

Meski demikian, Rihanna nyaman saja memainkan peran-peran berlawanan dari citra dirinya—tokoh antagonis, seorang agitatior sekaligus agressor yang membuat orang lain jadi remah-remah saja dihadapannya. Citra-citra ini paling berhasil digambarkan dalam nomor "Woo" dan "Needed Me"; Di atas riff gitar atonal dan bassline yang tak stabil di nomor "Woo," Rihanna bernyanyi " Bet she could never made you cry/ Cause the scars on your heart are still mine." Namun ia kemudian melanjutkan, "I don't mean to really love ya," pengakuannya  tak bisa menutupi kata-kata yang terdengar seperti tangisan patah hatu. Sementara dalam "Needed Me," Rihanna mengeluarkan lirik paling mutung dalam album ini "You was just another nigga on the hit list." Seperempat akhir ANTI melamban dan mengikuti rivalitas antara id dan ego, keangkuhan dan kerendahan hati, Rihanna berjibaku dengan penyesalan ("Same Ol Mistakes"), sakit hati (Love On The Brain), keputusasaan ("Higher," yang mengabadikan suara Rihanna paling serak namun paling kaya samapia saat ini), dan penyerahan diri ("Close to You"). Banyak kritik yang diarahkan pada ANTI  cenderung menyoroti tempo album yang terlalu tinggi dan kaburnya tujuan yang ingin dicapai album ini. Album ini juga kerap dicap sebagai album yang panas di bagian depan doang atau album yang cuma memamerkan berbagai emosi dan tema tanpa narasi yang jelas. Tapi memang album ini sengaja dibuat seperti tanpa konsep dan tujuan. Lagipula, emosi toh tak pernah terkonsep apalagi stabil. Tak ada konsep linear dalam album ini, kecuali sebagai kumpulan cerita tentang memori di masa lalu dan perasaan yang masih tertinggal sampai saat ini. ANTI memang seharusnya tak terdengar stabil dan naik turun. Album ini memang dirancang untuk terdengar seperti manusia. —Jabbari Weekes

Tahun 20016 adalah tahunnya Chance the Rapper. Sebelum Kanye West merilis The Life of Pablo, Chancellor Bennett, rapper bertalenta dengan pemahaman musik gospel yang mendalam—bersama dengan partnernya Common—hampir saja menjadi bintang baru dunia musik. Dia telah merilis dua mixtapes—satu masih mentah, satu lagi menawan—dan tampil sebagai rapper tamu di beberapa lagu. Biarpun sudah dianggap sebagai pahlawan kota asalnya, Chicago, dia belum melejit ke pentas nasional Amerika Serikat. Namun semua ini berubah ketika dia tampil sebagai rapper tamu di lagu Kanye West yang berjudul "Ultralight Beam," di acara TV Saturday Night Live.  Di situ Chance terlihat lebih percaya diri dan terdengar lebih soulful, tidak lagi cempreng. Ketika tengah tampil, seolah-olah dia sedang mengatakan: "Ini waktu saya bersinar, tolong yang lain diam semua."

Seperti lagu "Ultralight Beam," album Coloring Book terasa spiritual: terinspirasi oleh kekacauan dan rasa sakit hati, Chance bernyanyi melewati masa berat dan mencapai sebuah resolusi. Apa resolusinya? Tuhan tentunya, biarpun dia mengaku bukan seseorang yang religius. Dia sadar bahwa hidup penuh kontradiksi, maka dia bernyanyi "My life is perfect, i could merch it" sebelum ngerap di lagu "Summer Friends," yang bercerita tentang kematian teman-teman masa kecilnya di Chatham. Lagu "Same Drugs" yang berakhir dengan bait "Don't forget the happy thoughts, all you need is happy thoughts" ala-ala Peter Pan justru bercerita tentang kecanduannya dengan narkoba. Di lagu "Smoke Break," dia bernyanyi tentang beratnya menjadi orang tua bersama partner setianya, Future. Hidup Chance jelas jauh dari sempurna dan di lagu "Blessings," dia berusaha mengungkapkan hal ini: "I'm at war with my wrongs / I'm writing four different songs."

Kadang memang Chance terdengar berusaha menjejalkan empat ide yang berbeda ke dalam satu lagu, mengingat keberagaman sound yang luar biasa di album Coloring Book—mulai dari sound electro manis ala Francis and the Lights hingga nuansa acid milik D.R.A.M di lagu "Special." Ada banyak kejutan baru juga: beat trap dan Auto-tune persembahan Young Thug dan Lil Yachty di lagu "Mixtape," dan nuansa bass klub dan singalong chorus di lagu "All Night." Hebatnya lagi, Chance bisa dengan mudah masuk kembali ke akar sound khasnya tanpa terdengar janggal. Dengar saja transisi lagu "All Night" ke bagian paduan suara gospel di lagu "How Great."

Meski semua lagu ini adalah soundtrack dari usaha Chance lepas dari setan-setan pribadinya, Chance sejatinya sudah mafhum bahwa kemerdekaan sebagai seorang seniman sudah ada dalam genggaman. "No Problem," cibiran terhadap label musik, sudah menggambarkan ini dengan gamblang. Bennet adalah superstar tanpa naungan sebuah label rekaman. Coloring Book berhasil mencapai puncak Billboard Top Ten di Apple Music streams. Untuk menegaskan ini, Chance memborong seisi Chicago dalam album ini. Dia berbagi rima dengan dengan Saba, Towkio, Jeremih, dan Noname. Tak puas sampai di situ, Chance mengundang rapper-rappernya favoritnya: Jay Electronica untuk ngerap tentang Tuhan God dan Young Thug tentang cara-cara mengubah sebuah kultur. Namun, yang kebagian line paling nampol tetap saja Kanye West—rapper mungkar favorit semua orang. Kanye bahkan sudah mendapatkannya di awal album. "Musik adalah satu-satunya yang kita punya" bukanlah sebuah kalimat yang eskapis. Sebaliknya, frase ini adalah artikulasis sejarah panjang yang mencakup gospel dan blues. Dalam kasus Bennet, kalimat ini adalah pernyataan tentang segala sesuatu yang dicarinya lewat estetika pemujuaan-lewat-penderitaan dalam Coloring Book. Pada akhirnya, kalimat itu yang akhirnya membuat kita berkata "kami juga akan memberikan apa yang kita punya"—Alex Robert Ross

Cara paling mudah untuk menunjukan sikap kritis tahun ini adalah dengan melabeli karya seniman kulit hitam sebagai "unapologetically black" atau "hitam tanpa permisi"—sekan akan label itu mewakili target mereka. Itu menuding bahwa bagian dari nilai seni adalah kemampuannya untuk berfungsi secara tepat, terlepas dari whiteness atau dominasi lainnya. Pentasbihan macam itu bisa jadi manis tapi dengan teori bahwa kita berada di era Hak Sipil baru, musik ciptaan seniman kulit hitam yang membahas harga diri, cinta, dan pemahaman, jelas akan meningkat. Jadi kita membutuhkan kualifikasi yang lebih kreatif. Menjadi hitam tanpa permisi adalah perkara menjadi. Itu bukan sesuatu yang dapat dicapai—telah ada dari sananya. Sedangkan yang membuat album ini bernilai tinggi adalah kegigihan untuk terus mengada di dunia yang menekankan keberadaanmu sebagai ancaman dan tidak diinginkan. Pada album ini, blackness tidak dipamer-pamerkan secara nyaring; alih-alih, blackness berfungsi sebagai pesan orang-dalam untuk sesama orang hitam. Sentimen ini menggema sepanjang album: pada bagian interlude "For Us By Us"  oleh Master P, dia menutupnya dengan berkata, "If you don't understand my record, you don't understand me, so this is not for you," dan "F.U.B.U" kemudian menawarkan uluran tangan bagi mereka yang selalu ditindas karena warna kulit mereka.

Solange sangat efektif dengan menggiring pendengar pada pengakuan bahwa perjalananmu tidaklah sepi. Pada "Cranes in the Sky" dia mencoba pengobatan-diri, terapi berlanja, hingga berpergian untuk mengalihkan diri sendiri dari konlfik batin; pada "Mad," dia menerima amarahnya dan menerima bahwa berpegangan pada amarah hanya akan menghambat kemajuan, tapi juga mengutarakan bahwa amarah yang diekspresikan oleh seorang perempuan kulit hitam sering kali masuk kategori berbeda dengan bait: "But I'm not really allowed to be mad." A Seat at the Table adalah perpaduan apik antara refleksi-diri dan kritik politis, sebagaimana Solange mengajak ibunya, Tina Lawson, untuk menantang stereotipe black pride sebagai anti-white, sementara ayahnya, dan Matthew Knowles untuk mengungjungi jembali kehidupan sebagai anak di daerah Selatan yang tersegregasi, dan Master P untuk menekankan pentingnya harga diri dan black ownership dalam string selingan.

Album dengan sound bervariasi ini adalah hasil dari keputusan Solange untuk menggabungkan elemen soul dan indie rock. Barisan co-producer dan kolaborator kenamaan termasuk Q-Tip, Sampha, Raphael Saadiq, Dave Sitek dari TV on the Radio, dan David Longstreth dari Dirty Project, membantu membangung sound yang membuat Solange salah satu yang terbaik di bidangnya. Ada momen-momen yang membuat pendengar berjoget ("Don't You Wait"), membuat pendengar berefleksi ("Cranes in the Sky"), dan untuk meminta respek ("Don't Touch My Hair"). Kado yang paling menyegarkan pada album ini adalah dia memusatkan pengalaman sebagai seorang Amerika kulit hitam dalam gaya yang tak lekang oleh zaman; ada pula lagu-lagi yang ditulis sedekade lalu, kisah-kisah Era Hak Sipil hingga mikroagresi dewasa kini. Semua kisah ini, meski diceritakan oleh orang berbeda mengenai berbagai bagian dalam hidup mereka, tetap mengelaborasi kehidupan kulit hitam dengan segala kompleksitasnya. Sangat menakjubkan dalam urusan black womanhood dan juga produksi album, A Seat at the Table adalah salah satu pernyataan musikal paling kuat dalam tahun ini. —Lawrence Burney

Lewat Blonde, Frank Ocean menyuguhkan rasa tenang di tengah keriuhan dunia , dan kemudian memaksa kita untuk melakukan satu hal: berhenti sejenak. Pelepasan Blonde terasa memiliki narasi yang lebih dari sebuah perilisan album. Cukup aneh, mengingat bagaimana sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu akhirnya justru merupakan antitesis dari hal-hal yang menyebabkan album ini begitu dinantikan.

Frank merekam album mengenai konsep tentang realitas, di tahun yang terasa tidak nyata. Album ini menawarkan lapis musik yang kompleks, pula hangat dan memikat. Terkadang kasar, namun tegar berkomitmen untuk tetap seimbang. Melalui jaya dan dukanya, juga kumpulan frase dan buah pikiran setengah matang yang direkam melalui berbagai manipulasi vokal, Blonde terdengar aneh. Frank tak ambil pusing soal titik dramatis, atau frase menarik, alih-alih ia menjahit kejanggalan yang ia rasakan, menyajikan gambaran bagaimana cara kerja pikiran manusia. Khususnya, pikiran generasi millennial.

Di lagu "Sigfried", Frank bergurau "Dreaming a thought that could dream about a thought / That could think of the dreamer that thought / That could think of dreaming and getting a glimmer of God."

"I be dreaming a dream in a thought / That could dream about a thought / That could think about dreaming a dream," lanjut Frank.

Entah bagaimana Blonde tetap terasa dan terdengar fokus, walaupun proyek yang bergeletakan ini tampaknya menyentuh setiap fondasi kultural tentang bagaimana rasanya hidup di tahun 2016. Album ini yakin dengan kemampuannya untuk menjawab dan menelurkan lebih banyak lagi pertanyaan.  Tak diragukan lagi bahwa Frank dibantu oleh substansi psikedelik ketika merekam Blonde.

Album ini adalah momen berada di ujung semesta, untuk berteriak sekencangnya ke ufuk terjauh. Keinginantahuan atas pertanyaan yang menghantarkan kamu ke sana, tidak mengalahkan rasa takut akan jawaban yang mungkin akan kamu temui.

Para krtikus mungkin berpendapat bahwa kegigihan komitmen Blonde akan introspeksi membosankan. Tapi, pandangan ini terlampau sederhana bagi album yang memerlukan kesungguhan pendengarnya. Tak ada satu pun momen spesifik yang mencolok di album ini, tak ada single radio, atau lagu yang diputar di klub. Frank justru menyajikan karya yang bisa dinikmati lewat lagu dan segala momen di antaranya

Keindahan vokal Frank di lagu-lagu seperti "Ivy," "Solo" dan "Self Control," berbaur dengan lagu tentang kuatnya keyakinan terhadap orang lain seperti "Good Guy," "White Ferrari," dan "Siegfried." Album ini ingin membuatmu berpikir bagaimana dua gagasan tersebut hidup bersama, dan mengapa kamu kerap mendengarkannya tiap kali ia inginkan.

Blonde adalah album yang muram. Sebuah pengembaraan terarah, seperti berkelana di malam minggu untuk mencari bar paripurna, untuk menghabiskan waktu bersama seseorang yang tepat dan ditemani minuman yang sempurna.

"Sepanjang (rekaman) aku merasa seperti berhadapan dengan McLaren F1," tutur Frank. "Hanya dipersenjatai kamera sekali pakai," ungkap Frank dalam surat untuk penggemarnya saat album ini dirilis. Entah bagaimana, Frank menghasilkan karya yang bebas dari harapan apapun, meski ia menanggung beban berat ketika karya seni ini dilahirkan. Blonde adalah sebuah kejujuran ( Frank). — Eric Sundermann