Benarkah Masa Depan Bisnis Piringan Hitam di Indonesia Suram?

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Benarkah Masa Depan Bisnis Piringan Hitam di Indonesia Suram?

Konsumen musik Tanah Air semakin selektif. Pasar vinyl yang sudah tersegmentasi ini makin kecil saja kuenya akibat kenaikan nilai tukar.

Piringan hitam alias vinyl menjangkiti banyak penikmat musik di Indonesia. Awal momentum kebangkitan format rilisan fisik ini terjadi pada 2009. Linimasa media sosial mendadak dipenuhi sosok tua-muda berpose dengan vinyl favoritnya. Di beberapa grup Facebook, netizen ramai menceritakan kisah perburuan vinyl masing-masing. Anak muda Jakarta berburu piringan hitam ke lantai dasar Blok M Square, pasar berang bekas Jalan Surabaya, hingga ke antah berantah, demi memperoleh rekaman lawas keroncong era 50-an atau vinyl superlangka Dara Puspita.

Iklan

Momentum kebangkitan rilisan fisik ini segera disadari musisi-musisi lokal. Banyak band mendirikan label rekaman mandiri, merilis piringan hitam masing-masing. Permintaan pasar meningkat, disambut dengan berdirinya toko-toko ritel vinyl yang mengedepankan ciri khas masing-masing. Laid Back Blues, di Pasar Santa, menawarkan koleksi piringan hitam musik Indonesia klasik. Sementara Monka Magic, di Kemang, memilliki ragam vinyl impor pilih tanding.

Namun, seperti semua hal di dunia fana ini, masa bulan madu itu pelan-pelan berakhir. Di Indonesia, maupun di dunia, penjualan piringan hitam terpantau turun. Survei Nielsen Music mencatat pada semester pertama 2015, piringan hitam terjual 9,2 juta kopi di seluruh dunia. Angka tersebut turun jadi 8,4 juta keping sepanjang kurun yang sama 2016.

Lantas bagaimana dengan situasi pasar piringan hitam tahun ini di Indonesia? Di Tanah Air, belum ada catatan pasti angka penjualan vinyl lima tahun belakangan. Setidaknya menurut toko online Hearing Eye Records, tren penjualan vinyl sebetulnya masih stabil. "Triwulan terakhir 2016 lalu justru periode yang paling bagus untuk kami," kata Raja Panggabean, co-owner Hearing Eye Records. "Dalam sebulan kami pernah menjual 100 keping piringan hitam."

Foto dimuat seizin hearingeye Records.

Piringan hitam laris dijual Hearingeye Records rata-rata edisi repressing atau rilisan baru band mancanegara. Dua yang terlaris di toko milik Raja misalnya California-nya Blink 182 serta Blond dari Frank Ocean. Walau rilisan impor masih mendominasi penjualan, Hearingeye mengaku tetap berupaya mempromosikan piringan hitam dalam negeri di situsnya. Bisnis ini, bagaimanapun, menurut Raja sangat dinamis. Harga piringan hitam bergantung kurs tukar Rupiah terhadap Euro atau Dollar AS. Sementara konsumen vinyl di Indonesia, pada dasarnya, tak terpengaruh nilai tukar. Banyak pelanggan Hearingeye enteng membeli Sun That Never Sets dari Neurosis seharga Rp530 ribu. Uniknya, orang-orang yang sama kurang melirik album Polka Wars Axis Mundi yang sebetulnya dibandrol lebih murah seharga Rp420 ribu.

Iklan

"Banyak orang yang belanja vinyl impor sampai jutaan. Tapi kebanyakan masih sebelah mata kalau melihat band-band lokal yang merilis vinyl," ungkap Raja. Hearingeye Records—yang baru berdiri akhir 2014—pernah merilis vinyl band-band lokal seperti Polka Wars dan Seringai. Rencananya mereka juga bakal merilis vinyl 7" milik band asal Bandung Collapse.

Bagi Andi Hasan Madya, vinyl sempat mendominasi penjualan tokonya, Twin's Music, di Blok M Square selama nyaris lima tahun belakangan. Penjualan sementara ini belum turun, namun permintaan konsumen semakin spesifik. Twin's Music bertahan berkat koleksi stok vinyl Indonesia yang melimpah. Tak pelak toko itu jadi rujukan kolektor die hard dari dalam dan luar negeri. "Masih banyak yang nyari plat-plat dari tahun 70-an. Biasanya disco dan psikedelik," kata Andi.

Plat-plat milik Koes Plus saat era psikedelik, Harry Roesli, Guruh Gipsy, masih menjadi primadona dengan harga jutaan Rupiah. "Kalau band baru ya masih dipegang White Shoes and the Couples Company lah, antara Rp1-2 jutaan [per kopi]," kata Andi.

Hal berbeda diungkapkan Agus Susanto pemilik Warung Musik dan Majemuk Records. Beberapa tahun belakangan Agus sempat menyetok dan merilis beragam genre piringan hitam, mengingat pasar vinyl Indonesia menjadi fenomena di Asia. Dua tahun belakangan, tren sudah surut. Dia lebih pilih memperbanyak stok CD dan kaset, karena dirasa lebih mudah terjual.

Iklan

"Sebenarnya susah ngitung penjualan vinyl. Penjualan akhir-akhir ini sudah biasa saja. Engga terlalu ramai. Yang jelas penurunan sih ada, karena dulu yang ramai kan hipster saja," ungkap Agus.

Terlepas dari angka-angka penjualan, yang terjadi sekarang adalah piringan hitam kembali ke khittahnya sebagai produk niche market. Pasarnya terbesar adalah level kolektor. Di sosial media seperti Instagram atau forum jual beli Kaskus, banyak orang dilaporkan melepas koleksi vinyl impornya dengan harga cukup miring, lantaran demand tidak terlalu tinggi.

CD dan kaset kini lebih mudah dijual. Foto dimuat seizin Warung Musik.

Dihubungi terpisah, pengamat musik Indonesia Alfiendy Razdir mengaku saat ini tak lagi memaksakan diri mengoleksi vinyl. Terakhir, dia membeli vinyl pada pertengahan 2016. "Sekarang fokus ke rilisan CD dan kaset aja, sama palingan 7". Saat ini yang beli vinyl cuma die hard dan golongan yang punya duit saja," ujarnya.

Apa penjualan vinyl di Indonesia anjlok karena naik gila-gilaan akibat aktivitas penimbun? Topik ini pernah jadi pembicaraan banyak penggila musik Indonesia. Cara para pencari untung itu sudah meresahkan karena membuat harga plat tak terjangkau lagi kebanyakan orang.

Bagi Andi timbun menimbun rilisan musik adalah pilihan ekonomi setiap pembeli piringan hitam. "Semua kembali pada demand dan supply. Vinyl lokal contohnya, dirilis cuma sebanyak 300-500 keping sementara penggemar bisa jutaan. Menurut saya sih engga masalah," kata Andi.

Sementara di mata Alfiendy, surutnya pasar piringan hitam murni akibat situasi ekonomi global. Penimbun lokal pun ikut rugi gara-gara tingginya nilai tukar Rupiah terhadap Euro dan Dollar AS tahun lalu, yang berimbas pada harga pembuatan hingga penjualan vinyl impor. Otomatis vinyl kembali jadi barang mewah, tak semua orang bisa membeli. "Dulu sempat banyak yang menimbun vinyl. Tapi sekarang sudah jarang sih. [Penimbun] cuma memanfaatkan momen," ungkap Alfiendy.