Mengenang Sang Legenda UFC: Anderson Silva

FYI.

This story is over 5 years old.

UFC

Mengenang Sang Legenda UFC: Anderson Silva

Dalam 16 pertandingan, petarung MMA asal Brasil itu berhasil menang berturut-turut. Rekor yang sempat membuatnya jadi manusia paling ditakuti lawan-lawannya di Octagon.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Selama 16 pertarungan berturut-turut, Anderson Silva tidak terkalahkan di atas ring Octagon. Atlet tarung bebas asal Brasil ini menjadi sosok yang paling ditakuti di UFC, menghabisi lawan-lawannya seakan tanpa perlu kerja keras. Namun sama seperti semua hal di dunia ini, rekor kemenangan Silva tidak bisa bertahan selamanya. Anda bisa membaca seri legenda olahraga lainnya dari VICE Sports, 'The Cult' dengan mengklik tautan ini.

Iklan

Pernahkah kalian mengenang kembali masa lalu dan berpikir 'wah, itu masa-masa keemasan gue tuh'? Kalian selalu ingin mengenang periode ketika hidup tidak terasa begitu sulit dan semuanya berjalan lancar. Mungkin ini masa kuliah ketika anda sering keluar malam-malam dan kongkow bersama teman-teman satu idealisme. Mungkin ini ketika kantor anda jaraknya dekat dari rumah dan anda tidak harus menghabiskan waktu dua jam di jalan. Atau mungkin juga ketika hubungan asmara anda tidak terasa seperti kompetisi tentang siapa yang lebih bahagia di lingkaran sosial masing-masing.

Sambil mengenang semua itu, anda berpikir: 'Gimana ya caranya biar gue bisa ngerasain itu lagi?' Saya kasih tau aja bahwa kemungkinan besar anda tidak akan mendapatkan itu. Masa-masa itu sudah lewat. Selamanya. Kini anda terlalu sibuk bekerja untuk bahkan ngopi-ngopi dengan teman lama. Anda harus menempuh perjalanan Tangerang-Jakarta setiap harinya. Anda kerap membanding-bandingkan hubungan asmara anda dengan teman-teman yang sudah menikah. Era keemasan anda sudah lewat. Masa-masa kemenangan anda sudah berakhir dan rasanya berat sekali berusaha meraih kemenangan itu lagi.

Di dalam olahraga, merindukan kemenangan dan kejayaan datang lagi bahkan lebih sulit lagi kembali diwujudkan. Begitu anda mulai kalah, kebanyakan karir kalian akan terus memburuk. Misalnya Arsenal yang sesungguhnya tidak pernah pulih paska kekalahan yang mengakhiri rekor kemenangan 49 kali berturut-turut. Penampilan Mike Tyson dan Prince Naseem Hamed terus memburuk setelah mereka kehilangan "mojo"nya. Rafael Nadal juga tidak pernah kembali mendapatkan julukan King of Clay setelah rentetan kemenangannya sebanyak 81 kali akhirnya berakhir.

Iklan

Kadang ini sifatnya psikologis: semacam aura ketangguhan yang sudah hilang, musuh mulai melihat kelemahan anda dan anda sadar anda tidak lagi tidak terkalahkan. Bisa juga ini terjadi karena faktor alami: anda bertambah tua, kemampuan memudar, kecepatan berkurang sementara banyak kompetitor muda yang segar. Namun apapun yang terjadi nantinya, masa-masa kemenangan ini akan selalu dikenang. Mereka yang memecahkan rekor akan selalu dikenang sebagai legenda.

Dalam kasus Anderson Silva, rentetan kemenangannya sebanyak 16 kali di UFC telah menjadi puncak karirnya. Ini merupakan era keemasan sang atlit Brasil tersebut. Setiap pertandingan dia selalu di atas angin dan dia dianggap sebagai atlit tarung bebas terbaik sepanjang masa. Namun sama seperti semua hal, rentetan kemenangan ini berakhir—dan tidak banyak yang percaya bahwa hal momen spesial seperti ini akan kembali terulang.

Terbang Tinggi Berkat Tendangan Lutut

Silva awalnya tidak langsung menekuni MMA. Dia tumbuh di tengah kemiskinan di kota Curitiba, Brasil dan pertama kali mengenal seni bela diri ketika dia belajar Jujitsu Brasil dari anak-anak lain yang lebih mempunyai uang untuk mengambil kursus. Akhirnya, orang tua Silva berhasil menabung cukup uang untuk membiayainya belajar Taekwondo. Sama seperti Jujitsu, dia berhasil meraih sabuk hitam di kedua nomer tersebut. Dia juga akhirnya meraih sabuk hitam di Judo dan sabuk kuning di Capoeira sebelum akhirnya menjadi petinju dan atlit Muay Thai yang luar biasa. Bahkan sebelum akronim MMA muncul, Anderson Silva sudah menghidupi jenis bela diri ini, terbukti dari campuran eklektik gaya bela dirinya yang berisikan tinju dan seni gulat, memberikan dirinya kemampuan dasar sebelum akhirnya menjadi salah satu petarung terbaik di muka bumi.

Sebelum UFC berkembang menjadi MMA yang penuh glamor, ada beberapa turnamen kelas bawah yang menjadi ajang unjuk kebolehan bagi para petarung. Silva mengambil jalur ini, bertarung di kelas welter di Jepang (Pride) dan Inggris (Cage Rage). Biarpun belum sepenuhnya menunjukkan kehebatannya di turnamen-turnamen ini seperti nantinya di UFC, Silva sempat memamerkan momen-momen hebat nan jenius, ditandai dengan tendangan lututnya yang meng-KO-kan atlit ternama Carlos Newton di Pride 25.

Iklan

Barulah di 2006 Silva mulai terdaftar di UFC sebagai kelas ringan utama dan disitulah kemampuan bertarungnya—dan rentetan kemenangannya—menjadi legenda. Dia berhasil meraih kemenangan di 16 pertandingan berturut-turut dan mempertahankan gelar kelas ringan utama 10 kali. Periode kemenangan ini bertahan selama 2.457 hari, dan mengingat sifat pertandingan MMA yang sulit ditebak, rekor ini sangatlah luar biasa. Di saat itulah, di bawah pelatihan gym barunya, Black House, dia menguasai gaya bertarung penuh serangan balik yang agresif, menggabungkan pergerakan kepala ala boxing, keluwesan tubuh Capoeira, tendangan Taekwondo dan serangan lutut Muay Thai yang mematikan. Bayangkan semua itu dikombinasikan dengan pukulan yang akurat, kemampuan untuk merubah pose antara gaya ortodoks dan southpaw, keahlian dalam bertarung rendah dan mengunci lawan. Silva adalah petarung gaya bebas yang hampir sempurna.

Ada contoh kegeniusan Silva di setiap pertarungan yang dia lakukan. Dia pernah menghajar habis Stephan Bonnar yang belum pernah kalah KO sepanjang karirnya. Silva memancing petarung asal Indiana tersebut untuk menyerang selagi dia menyender di pinggir ring Octagon sebelum dia melangkah ke samping dan menghantamnya dengan tendangan berputar. Setelah itu Silva menghajar Bonnar dengan tendangan lutut dengan santainya, seakan-akan dia sedang bermain-main.

Hanya satu menit setelah pertandingan debutnya di kelas menengah melawan James Irvin yang bertubuh lebih besar, Silva berhasil menangkap tendangan ke arah paha dari lawannya, lantas menonjok muka lawan sambil terus merangkul kaki musuh. Irvin jatuh ke atas kanvas dalam posisi pertahanan terbuka, memberikan kesempatan bagi Silva untuk masuk dan menghajarnya sampai habis.

Iklan

Ketika Silva menghadapi rekan senegara dan sesama petarung Black House, Vitor Belfort di UFC 126—dalam perebutan gelar juara light-heavyweight—dia menghabisi lawannya dalam ronde pertama dengan sebuah tendangan yang mendarat di muka. Tanpa peringatan dan waktu bagi Belfort untuk bereaksi, gerakan Silva yang tenang dan mulus berhasil mendaratkan ujung kakinya di dagu Vitor.

Semua pertandingan ini—dan semua kemenangannya di periode itu—merupakan contoh dari bakat genius Silva, bentuk dari pergerakan yang artistik, menandingi estetika kecantikan manapun—biarpun dipenuhi oleh darah, tato dan suara Joe Rogan berteriak-teriak.

Namun waktu—sama seperti gravitas, cinta dan alkohol—lambat laun akan mengkhianati kita. Anderson Silva pun tidak lolos dari hal ini. Entah karena refleksnya yang melambat seiring dia menua, atau dia terlalu nyaman menjadi yang terhebat, atau mungkin sifat olahraga yang volatil, kompetitif dan kejam akhirnya menggigit balik, rentetan kemenangannya berakhir secara meyakinkan. Dia mengalami kekalahan telak terhadap Chris Weidman—biarpun Weidman bukan orang pertama yang berhasil membuat Silva terlihat rentan. Di UFC 117, Chael Sonnen berhasil mendaratkan lebih banyak pukulan di Silva dari siapapun dalam satu pertandingan. Silva akhirnya berhasil menang lewat kuncian segitiga di menit-menit terakhir. Biarpun menang hari itu, kini muncul skema untuk mengalahkan Silva. Weidman menggunakan formula ini—tidak menerjang dan tidak memberikan Silva ruang sama sekali. Silva mencoba trik pergerakan kepalanya yang khas, namun pukulan-pukulan Weidman berhasil mendarat mulus dan akhirnya dia berhasil menghantam habis Silva.

Iklan

Kekalahan inilah yang akhirnya menandai karir Silva sebagai figur tangguh di era keemasannya. Sonnen, kemudian Weidman, menunjukkan dunia cara untuk mengalahkan Silva, bahwa dia bukan tidak terkalahkan. Bahwa dia petarung dengan kelemahan, sama seperti yang lainnya. Semenjak itu karir Silva tidak pernah mencapai kesuksesan yang sama. Ini diperburuk kakinya yang patah dalam pertandingan ulang melawan Weidman, sebuah cedera yang diduga banyak orang akan mengakhiri karirnya.

Memang akhirnya karirnya belum berakhir, tapi mungkin seharusnya dia pensiun di saat itu. Dia sempat kembali ke atas ring, tapi ditemukan positif menggunakan stereoid anabolik setelah kemenangan comeback pertamanya melawan Nick Diaz di UFC 182. Silva yang berumur 40 saat itu melakukan pembelaan diri yang lemah: bahwa dia positif akibat mengkonsumsi obat kuat yang diberikan temannya.

Semenjak itu, Silva kalah di dua dari tiga pertandingan selanjutnya. Dan satu kemenangan itu pun terbilang kontroversial. Karirnya terus menukik ke bawah dan kasus positif stereoid itu telah menodai nama baiknya. Ini merupakan aib bukan hanya bagi Silva, tapi juga bagi MMA dan UFC.

Banyak yang meyakini bahwa status Silva sebagai petarung terbaik sepanjang masa tetap sah, bahwa penggunaan stereoid pun tidak akan berpengaruh terhadap elemen-elemen yang membuatnya menjadi petarung luar biasa di era keemasannya: kecepatan, pergerakan dan ketepatan. Penggemar Silva akan berargumen bahwa dia hanya mulai menggunakan stereoid agar pulih dari cederanya yang parah. Namun apapun kebenarannya, dan nasib dia nanti, rekor kemenangan berturut-turut Silva adalah sesuatu yang tidak bisa dibantah.

Iklan

Momen Penting: Silva Vs Forest Griffin

Biarpun ada banyak pertandingan lain yang menampilkan beragam serangan Silva, pertarungannya dengan Forest Griffin—saat itu musuh terberat yang pernah dihadapi petarung Brasil tersebut yang juga mantan juara light-heavyweight—dipenuhi dengan keahlian yang akan membuat anda menganga.

Di pertandingan ini, anda akan melihat tiga menit aksi MMA yang luar biasa. Griffin dikenal sebagai spesialis penendang yang tahan banting, namun tetap saja dia dimainkan oleh Silva dari awal. Biarpun lebih besar dan kuat, setiap serangan Griffin terlihat bodoh akibat gerakan Silva yang cekatan. Dalam tiga menit tersebut, tidak ada satupun pukulan Griffin yang masuk dan dia dihajar jatuh Silva tiga kali. Yang terakhir, Silva dengan santai menghindari pukulan Griffin sebelum mendaratkan pukulan jab santai yang membuat pria seberat 92 kg jatuh roboh.

Yang membuat pukulan ini begitu indah—dan alasan kenapa pukulan ini luar biasa namun juga aneh untuk ditonton—sama seperti momen-momen jenius di olahraga, sulit untuk tahu apakah Silva melakukannya dengan sengaja atau tidak. Apakah Silva sadar bahwa Griffin menggunakan seluruh berat badan ke dalam pukulannya, sehingga Silva bisa menggunakan semua beban itu dan membuat pukulan jabnya efektif? Rasanya sulit untuk mempercayai bahwa ada yang bisa menyadari hal semacam itu di tengah panasnya pertandingan, tapi kalau ada petarung yang bisa melakukan itu, Silvalah orangnya. Pukulan itu sangat akurat dan terlihat tidak membutuhkan banyak usaha sama sekali, namun berhasil menghabisi lawan dengan satu gerakan saja. Peristiwa tersebut dinobatkan sebagai salah satu pukulan paling impresif tidak hanya dalam karir Anderson Silva, tapi juga dalam sejarah UFC.

Pernyataan Penutup

"Saya berusaha memukulnya, dan dia menggerakan kepalanya keluar dari jangkauan dan melihat saya seakan-akan saya bodoh"— begitulah ingatan Forest Griffin ketika sedang bertarung melawan Silva dalam puncak karirnya. Kenangan itu sudah berbicara banyak hal tentang sosok Silva, sang legenda UFC.

Ilustrasi oleh @Dan_Draws