FYI.

This story is over 5 years old.

Perdagangan Senjata

Ada Kemungkinan Senjata Bekas GAM Kini Dikuasai Sindikat Narkoba

Aparat hukum maupun akademisi tak tahu pasti berapa sisa senjata para pejuang Aceh dari era pemberontakan, yang masih tersisa di lapangan.
Foto anggota perempuan GAM. Sumber: Wikimedia Commons/Kemenhan RI

Rangkaian penggerebekan sindikat narkoba di Kota Medan, Sumatra Utara, mengungkap sisi gelap pemberontakan Aceh yang belum tuntas sampai sekarang: penjualan senapan dan pistol di pasar gelap. Ada banyak senjata api yang kemungkinan besar dulunya dimiliki oleh personel Gerakan Aceh Merdeka, bocor ke jaringan kriminal bawah tanah.

Temuan ini didapatkan polisi ketika membongkar sindikat narkoba lintas negara dua bulan lalu, di kediaman bandar asal Medan bernama Fidel Husni. Tiga orang ditangkap dan dua lainnya tewas tertembak karena melakukan perlawanan saat penggerebekan. Aparat awalnya menyita temuan khas penggerebekan narkoba, misalnya 6,5 kilogram sabu-sabu, 190 ribu pil ekstasi, atau 50 ribu pil happy five. Belakangan petugas mendapati dua temuan paling mengejutkan: satu pucuk senapan AK-47, sepucuk senapan laras pendek, dan 250 butir peluru. Bagi polisi di Indonesia, sangat jarang sindikat narkoba memegang senapan. Kalau geng Fidel yang beroperasi di Jakarta, Aceh, dan Malaysia ini bisa punya AK-47, berapa banyak bandar lain punya senjata api di luar sana?

Iklan

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Mabes Polri, Brigjen Polisi Eko Daniyanto, memastikan senapan-senapan itu jenis yang seharusnya tak sembarang dijual. "Kami memastikan bahwa senjata tersebut orisinal dan organik. Bukan rakitan," ujarnya ketika dihubungi media lokal. "Senjata analisa kami dari konflik Aceh, GAM, karena yang bersangkutan tinggal di Aceh."

Peredaran senjata sisa konflik merupakan masalah tersendiri di Aceh, sesudah tercapai perundingan damai antara utusan GAM-pemerintah Indonesia di Kota Helsinki, Swedia, sesudah Bencana Tsunami. Selama kurun 2005 hingga 2012, Polisi Aceh memusnahkan 973 pucuk senapan eks-kombatan GAM. Para pemberontak di ujung utara Pulau Sumatra ini berhasil memperoleh pasokan senapan melimpah selama era konflik dulu dari jaringan penyelundup internasional. Senapan macam AK-47 yang dimiliki GAM rata-rata berasal dari Vietnam dan Kamboja. GAM ditaksir sempat memiliki 15 ribu hingga 27 ribu anggota sepanjang kurun 1999-2002 menurut data World Bank. Tidak heran sebetulnya membayangkan setidaknya separuh lebih anggota punya senapan.

Angka riil senjata yang diserahkan melebihi ekspektasi polisi. Aparat awalnya berasumsi senapan milik pemberontak hanya mencapai 840 pucuk dari sekira 3.000 kombatan aktif pendukung Aceh Merdeka. Kemungkinan besar polisi meremehkan kepemilikan senjata GAM. Mengingat separatisme Aceh berlangsung lebih dari tiga dekade, seharusnya jumlah senapan yang ada di lapangan jauh lebih banyak lagi.

Iklan

Sampai saat ini polisi tak bisa memastikan berapa jumlah senjata sebenarnya yang dulu digunakan saat konflik. Hingga Maret tahun ini, masih ada beberapa warga yang menyerahkan senapan-senapan sisa konflik.

Dampak dari kekeliruan analisis polisi berbuntut panjang. Kekerasan bersenjata menjadi momok tersendiri bagi rakyat Aceh. Satu-satunya provinsi menerapkan Syariat Islam itu punya angka kekerasan dengan senjata api cukup tinggi di Tanah Air. Selama empat bulan terakhir, lembaga pemantau HAM mencatat ada 14 insiden penembakan di Negeri Serambi Makkah. Maret lalu, seorang warga Aceh Timur bernama Juman ditembak empat orang tak dikenal yang menyantroni rumahnya. Dari temuan polisi, penembakan itu akibat konflik "remeh" terkait pilkada.

Pengamat Isu Keamanan, Aryos Nivada, mengatakan bahwa sangat mudah memperoleh senjata api di Nanggroe Aceh Darusalam. "Hal ini terjadi karena pengawasan aparat lemah," ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia.

Untuk negara seperti Indonesia yang tidak membuka bebas kepemilikan senjata api—berbeda dari Amerika Serikat atau Filipina—peredaran senapan tanpa pengawasan sisa konflik Aceh dapat memicu bahaya besar. Apalagi jika senjata-senjata tadi jatuh ke tangan para sindikat kriminal. Aryos merasa tantangan aparat mengatasi persoalan ini berkali lipat lebih sulit, mengingat kondisi geografis Aceh yang secara alamiah mendukung aktivitas pasar gelap persenjataan.

"Letak Aceh yang berada di antara Selat Malaka dan Samudera Hindia, membuka peluang dilakukan penyelundupan senjata melalui jalur laut," kata Aryos.