FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Alasan Anomalyst Jengah Pada Istilah 'Anak Indie'

Dalam waktu singkat, kuartet asal ibukota yang baru merilis album perdana 'Segara' itu melejit namanya. Kepada VICE, mereka ngotot ingin diakui sebagai band pop.
Anomalyst sebelum konser. Foto oleh Narendra Hutomo.

Bagaimana cara kalian mendenifinisikan band di Indonesia yang mengusung lirik kontemplatif seputar ketakutan dan kegelisahan manusia modern, sebisa mungkin menghindari topik cinta-cintaan, serta menyuguhkan aransemen rock nonkonvensional?

Wah, musiknya anak indie tuh, demikian kategorisasi paling gampang yang bisa kita sematkan. Namun ada satu band muda yang kiprahnya sesuai definisi di atas, dan mereka menolak sepenuhnya dilabeli 'independen'. Merekalah Anomalyst, band asal Jakarta yang kurang dari setahun sudah merilis sekian single, plus rajin wara-wiri di berbagai panggung ibu kota, dan seiring itu sekaligus membangun loyal fanbase. 'Losing Game' adalah komposisi rock yang menyodorkan sinisme Anomalyst pada video klip keren serta pretensi serius dalam bermusik.

Iklan

Anomalyst sekilas nampak seperti tipikal band ‘indie’ biasa kita jumpai di kancah musik Indonesia kekinian. Mereka jelas-jelas tidak dipayungi sebuah major label di Indonesia atau afiliasinya. Kita tidak melihat iklan single terbaru mereka di Spotify setiap 15 menit sekali.

Kisah Anomalyst bermula Agustus 2012, tiga siswa SMA 28 Jakarta dan satu pelajar asal SMA Pangudi Luhur, yang awalnya “beda tongkrongan,” disatukan takdir membentuk band yang akan mengantar mereka mengikuti berbagai lomba band dan pentas seni. Band yang awalnya hanya untuk festival tadi akhirnya mencuri perhatian penikmat musik Indonesia. Formasi awal terus bertahan, yakni Aryo Respati Xavier Sastrowardoyo (guitar, vocal), Igantius Rigaskara (bass), Farisky Widjanarko (drum), dan diketuai Christianto Ario Wibowo (guitar, vocal).

Walaupun sudah dibentuk lima tahun lalu, perjalanan Anomalyst mematangkan materi album pertama sekaligus menabalkan reputasi di kancah musik seputaran Jakarta baru dimulai kurang dari setahun. Mereka memperkenalkan diri ke publik saat menjadi band pembuka untuk konser tunggal Scaller Februari lalu. Maju beberapa bulan ke September, mereka merilis dua single perdananya secara bersamaan: “Losing Game” dan “Senyawa” melalui berbagai layanan streaming musik.

Bulan lalu, Anomalyst resmi merilis Segara, album perdananya lewat berbagai layanan streaming maupun copy album fisik. Berisikan sembilan lagu yang kental sound alternative 90'an, yang menggelegar sekaligus menenangkan.

Iklan

Anomalyst saat konser di IFI Jakarta. Foto oleh Raditya Setyoputra.

Saat dijumpai di Institut Français d'Indonésie Jakarta, sebelum konser tunggal peluncuran album Segara, gitaris sekaligus otak dibalik banyak dari lagu Anomalyst—Chritanto Ario Wibowo—kembali menegaskan alasan mereka tidak nyaman dijuluki band indie. Dia berkukuh ingin Anomalyst disebut sebagai band “pop”. Klaim yang sebetulnya menarik, mengingat makin jarang musik pop di Indonesia beriorientasi pada gitar. Berikut cuplikan obrolan VICE Indonesia dengan personel Anomalyst tentang kondisi kancah pop Indonesia, dan cara mereka mendifinisikan karakter album perdana.

VICE Indonesia: Genre-wise, band ini ngasih tawaran apa sih?
Christianto: Gue maunya kita disebut sebagai band pop.

Pop? Kenapa?
Christianto: Kita the least indie person on earth. Kami hipster enggak, gaul juga enggak, tapi culun juga enggak.

Emang definisi Indie menurut kalian kayak gimana?
Christianto: Enggak tahu ya kalo yang lain, tapi buat gue Indie itu independen. Elo berkerja sendiri, apa-apa sendiri. Nah kita tuh enggak independen. Kita dibantu orang banyak banget. Makanya kita enggak bisa mengklaim independen. Buat gue juga, musiknya pop banget.

Akarnya tetap rock kan?
Christianto: Coba [lagu-lagu] Anomalyst itu dilepas atributnya— for instance ‘Losing Game’, atau ‘Labyrinth’, atau ‘Core’—itu coba elo lepas suara gitarnya, suara drumnya, ubah menjadi sebuah chord doang dan vocal line doang. Kalo ada orang yang enggak pernah degerin lagu kita sama sekali, dari partitur, nadanya, melodi vokal segala macem; dia kan gak kebayang suara drumnya gimana, suara gitarnya gimana, suara vocalnya gimana. Dia akan main sesimpel pakai gitar akustik. Itu buat gue udah menjadi sangat pop. Karena isinya itu pop banget, dari chordnya, dari vocalnya, segala macem lah. Cuma emang kita ngebalut dengan cara yang beda aja, tidak konvensional.

Iklan

Di pasar musik pop Indonesia, musisinya kayak sudah punya gaya paten tersendiri. Jujur aja, tampilan kalian juga belum ngepop.
Christianto: Nah, kayaknya kita emang enggak se-pop itu sih dari segi penampilan. Gue, Riga dan Aryo sih kayaknya enggak pop. Karena kita enggak menggunakan sesuatu yang aneh-aneh. Maksudnya cara kita berpakaian itu enggak lebay. Kita enggak bisa beli baju brand apa gitu yang kayak fashion banget atau apa banget. Kita enggak mengklaim kalo kita anak band rock dengan pake leather jacket atau something. Sejujurnya kita enggak tahu sih musik jenis kita itu dibawakan dengan penampilan seperti apa, makanya kita pake baju yang, “yaudah."

Dari awal, aransemen pop sudah kebayang waktu ngonsep materi Anomalyst?
Aryo: Engga sih kayaknya. Itu naturally muncul aja sih. Kita buat lagu dan pas ke booth vocal ataupun rekaman lagu, ujung-ujungnya keluar pop gitu. Kuncinya udah pop, dan memang kita enggak bisa mulai dari awal. Tapi hasil dari warna Anomalyst emang kayak gitu.
Christianto: Kayaknya ada unsur secara gak sadar dari apa yang kita dengerin tuh semua pop. Terutama gua dan Ario orang-orang yang sangat pop. Yang gue dengerin tuh pop banget-bangetan gitu. Jadi di saat bikin lagu, outputnya terasa pop, setidaknya buat gue ya. Kayaknya kita enggak bisa bikin lagu kayak Seringai gitu. Karena pasti kita harmoni chord sampai vokalnya manis, melodinya manis, tapi kita berusaha gimana caranya kita enggak terlalu manis aja. Jadinya kita bikin kayak “Ah engga ah ini enggak manis, ini pemanis buatan.”

Iklan

Kalian malas dicap 'indie', tapi masih adakah stereotipe yang kalian terima dari kancah musik sekarang?
Aryo: Hal pertama yang orang lihat pasti produksinya. Ketika sound yang dihasilkan di rekaman itu mungkin gak sebagus major label lainnya, dia pasti akan langsung “Oh, ini indie ya.” Enggak tahu sih, itu sebenernya…
Christianto: ….Stereotipe orang deh. Ketika mereka ngeliat kualitasnya enggak segitunya mereka akan “Oh ini indie ya? Oh film ini indie ya?” Menurut gue itu nilai artistik ya. Mungkin kalau elo ngomongin karakteristik musik indie, secara musikalitas gue rasa enggak bisa. Karena semua musik pake chord yang sama, dan pake instrumen sama juga. Mungkin bisa dibilang indie karena cara mereka membawakan sebuah karya dan bikin sebuah karya enggak konvensional gitu. Let’s say Danilla dan Isyana Sarasvati. Mereka penyanyi perempuan wanita yang sama-sama bagus, cuma cara mereka berkarya dan menyampaikan karya itu sangat berbeda. Danilla tuh buat gue artis cewek sekarang yang kualitas dan penjualannya sangat bagus. Albumnya Danilla yang sekarang jadi albumnya Isyana, pasti ditolak label karena teralu berat. Musisi indiependen tuh punya ruang lebih dalam kreativitas, walaupun enggak menutup kemungkinan band major label punya ruang kreativitas yang besar kayak Radiohead atau The Beatles. Jadi ya buat gue karakteristik yang bikin ketauan banget independen mungkin disitunya sih. “Oh enggak mungkin nih kalo di major label mereka berani kayak gini. Ini kurang selling nih” which is enggak salah juga.

Iklan

Anomalyst di panggung IFI. Foto oleh Raditya Setyoputra.

Terbebanikah sama tipikal gaya musisi indie di negara kita, yang akhirnya bikin label kayak gitu melekat ke kalian?
Chrisitianto: Tipikal-tipikalnya mungkin memang ada sih, kayak pakai kacamata besar atau pake tote bag. Mereka tahu tren yang ada sekarang, baju-baju yang bagus untuk mereka pake pas manggung. Mereka sadar penampilan mereka. Sementara kita tuh enggak tahu mau pakai baju apa. Kita enggak pakai kayak baju-baju Champion. Ya gue pribadi enggak akan beli kaos Rp800 ribu sih.

Uang segitu mending buat beli apa?
Christianto: Ya mending buat amer, jelas lah…Bisa dapet berapa botol itu? 16 [botol] anjing!

Kalian merasa ingin menegaskan status sebagai band pop tiap ketemu orang baru?
Christianto: Mungkin in a way kita indie karena kita enggak ada di circle itu. Maksudnya kita bikin label sendiri, kita bikin segala macem sendiri, walaupun enggak bisa dibilang totally independen karena kita banyak bantuan orang lain. Tapi kalo melihat band “indie” yang lain, kita kayaknya the least indie person. Gue aja Pulp Fiction enggak nonton, Laneway juga enggak pernah dateng karena enggak tahu artis-artisnya. Elo kalo liat Spotify atau iPod kita, isinya Naif, Dewa, yang umum-umum gitu. Kita juga ngikutin orang. Mungkin kita akan lebih offended kalo dibilang “Ah musik elo kampung!”

Target jangka pendek kalian lewat rilis album perdana ini apa?
Christianto: Gue berharap orang pop bilang "pinter nih pemilihan lagunya," sementara anak indie bilang "iya nih keren banget beda ama yang lain," lalu orang major label bilang, "oh iya nih bagus nih kayaknya bisa menjual." Pengennya gitu aja sih.

Bagaimana kalian mendefinisikan musik di album Segara kepada pendengar baru?
Rigaskara: Jenis lagu yang bisa di-play terus di-stop kapan aja.
Ricky: Lagu yang cocok buat nyetir, Jakarta, sore-sore, tapi lancar— which is terjadi kalau lagi lebaran doang.
Aryo: Gue setuju sama Ricky sih. Lagu-lagu yang enak didengerin di mobil aja sih.
Ricky: Kayak Trees & The Wild tuh enak buat nyetir malem-malem. Ada yang siang-siang enak. Tapi gue enggak bisa bayangin Anomalyst didengerin di siang-siang atau di malem-malem, jadi ya sore-sore aja tengah-tenganya.
Christianto: Gue berandai-andai, mungkin enggak sealbum, tapi Segara enaknya cocok untuk nonton Breaking Bad.
Ricky: Gue bayanginnya Segara buat dengerin di laut kayak di film Dunkirk gitu. Lautnya yang abu-abu banget gitu, sendirian doang.


*Wawancara ini telah disunting supaya lebih ringkas dan enak dibaca.