Ketika Mantan Rajin Stalking Lewat Internet, Aku Sadar Obsesi Romantis Bisa Sangat Berbahaya
Ilustrasi oleh Calum Heath

FYI.

This story is over 5 years old.

Unfollow Me

Ketika Mantan Rajin Stalking Lewat Internet, Aku Sadar Obsesi Romantis Bisa Sangat Berbahaya

Film komedi romantis sering menampilkan tokoh utama laki-laki yang gigih. Saya sempat mengira "cinta sejati" perlu diperjuangkan kayak gitu—sampai mantan pacar menguntit saya setelah kami putus.
Nana Baah
London, GB

Saat beranjak dewasa, saya gemar menonton (500) Days of Summer, Love Actually, dan film-film komedi romantis lainnya, yang intinya menyampaikan bahwa “cinta patut diperjuangkan.” Biasanya, seorang laki-laki memutuskan dia akan memperjuangkan cintanya untuk sang perempuan pujaan, walaupun tampaknya perempuan ini tidak tertarik atau sudah punya pasangan. Yang penting: jangan pernah menyerah.

Dulu, saya suka film-film ini. Saat si tokoh laki-laki menuliskan surat cinta manis dan menghadiahi sang perempuan cokelat dan kado-kado mahal, saya terharu. Si laki-laki bisa melakukan hal-hal gila dan saya akan mendukungnya memperjuangkan cintanya. Otak remaja saya, yang mudah termakan gagasan-gagasan romantis, mengira saya akan menemukan jodoh yang akan memperjuangkan saya seperti Noah dalam film The Notebook.

Iklan

Lelaki macam itu yang akhirnya saya dapatkan. Dan, sayangnya, saya tidak menginginkannya.

Setelah putus kira-kira setahun, mantan pacar saya sudah membuat sejumlah akun di beberapa media sosial, termasuk Instagram dan Facebook, supaya dia bisa dengan leluasa mengontak saya. Ya, beda sih, dengan 365 surat yang ditulis Noah, tapi polanya mirip.

Hubungan kami berakhir pahit, tapi saat pertama kali berkenalan, dia humoris dan menawan dan saya kepengin punya pacar. Jadilah kami pacaran. Teman-temannya senang dengan saya; teman-teman saya mentolerirnya. Tetapi, saat kami putus, dia tidak humoris atau menawan lagi—dia menjengkelkan. Saya melihat sisi yang sebelumnya pernah saya lihat, yang muncul setiap kali dia sebal dengan teman sekosannya atau tidak sepakat dengan teman saya, tapi saya tidak pernah merasakannya langsung.

Kami tidak putus baik-baik. Proses ini berlangsung selama beberapa minggu, dan selama itu pula lah kami tergoda untuk balikan. Tapi, pada akhirnya, kami putus juga. Saya bilang, saya tidak bisa ngobrol lagi dengannya, dan dia sepakat. Saya membloknya di media sosial supaya kami tak tergoda untuk saling mengontak.


Tonton dokumenter VICE mengenai problem jomblo di Tiongkok yang membuat perempuan terkena stigma merugikan:


Akun baru pertama muncul, di Facebook, beberapa hari setelah saya membloknya. Dia menggunakan fotonya, hanya dengan nama belakang berbeda. Ada permintaan darinya untuk mengirim pesan. Saya tidak menerima permintaan itu, tapi saya tidak khawatir. Dia ingin ngobrol dengan saya, tapi saya tidak mau. Ini hal lumrah setelah putus, kan?

Iklan

Jadi saya biarkan saja pesannya tak terbaca, tapi dia terus mengirimkan pesan-pesan dari akun yang sama selama beberapa bulan. Terkadang pesannya berupa permohonan maaf, terkadang pesannya kasar. Pada pesan-pesannya yang kasar, dia memanggil saya “pecun” dan “lonte” dan bilang kandasnya hubungan kami sepenuhnya kesalahan saya. Setelah itu, saya blok akunnya.

Foto ilustrasi stalking oleh Bonninstudio via Stocksy

Akun Instagram pertama muncul kira-kira sebulan setelah itu. Lagi-lagi ada permintaan untuk mengirim pesan. Tapi, kali ini, tidak ada foto apapun di akun itu—seperti akun yang dibuat orang untuk memeriksa Instagram story pacar baru sang mantan pacar. Ini rada menyeramkan, tapi masih umum. Saya baru ngeh kalau akun itu adalah mantan saya saat dia terus-menerus mengirimkan pesan—kali ini dengan akun-akun baru yang username-nya menggunakan kata-kata yang bermakna saat kami pacaran dulu.

Setiap dia mengirimkan pesan, saya rasanya mau muntah. Saya melakukan apa yang seharusnya dilakukan—apa yang disarankan teman-teman dan situs-situs media sosial: saya blok dia. Tapi dia tak menghentikan perilakunya. Pada akhirnya, saya bertanya pada kepolisian apakah ada cara lain yang bisa saya lakukan. Mereka bilang, mereka bisa meminta mantan saya untuk berhenti menguntit saya. Tapi, kalau dia menyangkal, tidak ada yang bisa dilakukan kepolisian.

Saya masih merasa tidak nyaman bahkan ketika dia tidak mengganggu saya selama delapan bulan. Saya selalu takut dia akan kembali; saya takut akan ada akun-akun lain bermunculan.

Iklan

Pada tahun terakhir perkuliahan, ada mahasiswa yang pindah ke universitas saya. Kami langsung akrab. Suatu hari, dia menelepon saya, menanyakan kenapa saya bilang ke mantan pacar bahwa saya selingkuh dengannya. (Ini mustahil terjadi, mengingat saya putus dengan mantan saya dua tahun lalu. Jauh sebelum saya bertemu dengan teman ini.)

Ternyata, penguntit saya telah pindah ke dunia nyata dan menyebarkan kabar miring soal saya. Saya mendapatkan pesan baru darinya: “Siapa nama belakang teman barumu?” Saya langsung blok.

Beberapa minggu lalu, dari berita saya mengetahui soal penembakan di Capital Gazette di Maryland. Penembak Jarrod Ramos didakwa pada 2011 karena melecehkan salah satu teman sekelasnya saat SMA di internet, lalu menyerang kantor berita yang menyiarkannya. Lima pegawai meninggal dunia. Ini membikin saya benar-benar mual. Saya duduk di meja saya, mencoba mencerna rincian kejadian yang mengarah ke titik itu.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang mampu dilakukan mantan saya. Pada mulanya, saya bahkan tidak pernah membayangkan dia mampu menguntit saya. Semua akun media sosial saya terbuka untuk umum. Jadi, kalau dia hanya ingin mengintai saya, dia bisa melakukannya tanpa harus membuat akun-akun baru. Perilakunya ini menandakan dia ingin memastikan saya tahu bahwa dia dengan sengaja mengabaikan batasan-batasan yang saya buat. Itulah yang membuat saya ketakutan. Rasanya, memblok akun-akun ini tidak akan menghentikannya.

Dua bulan telah berlalu sejak dia mencoba mengontak saya. Saya sudah tidak terlalu takut, tapi permintaan mengirim pesan masih membuat saya cemas.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly