FYI.

This story is over 5 years old.

Alkohol Demi Lingkungan

Sambil Minum Alkohol, Bartender Ini Mengajakmu Peduli Keselamatan Satwa Nyaris Punah

Bartender yang tinggal di Boston ini membuat minuman cocktail bertema satwa langka macam monyet titi hingga macan tutul salju.
Foto Samdo (kiri) oleh David Dzieman, foto hasil cocktail bikinannya (kanan) oleh penulis.

Rezim Donald Trump memotong anggaran lembaga pemerintah Amerika Serikat yang mengurus satwa nyaris punah. Kebijakan tersebut memaksa Tenzin Samdo, seorang bartender senior di Kota Boston, memikirkan sejumlah cara untuk melakukan perlawanan. Dari yang sepele hingga yang sifatnya massif.

Karena pengalaman tumbuh besar di kawasan pengungsi Tibet di India Utara, Samdo kenyang berpartisipasi dalam unjuk rasa—atau meminjam istilahnya "koar-koar di jalan membela hak asasi manusia di Tibet"—menggelar protes di depan gedung putih hingga bekerja membela hak-hak kaum yang terusir dari kampung halamannya. Sejatinya, hal yang paling Samdo marah adalah sikap acuh pemerintahan Trump terhadap keselamatan lingkungan hidup.

Iklan

"Begitu pemerintahan Trump membolehkan perburuan gajah dalam bentuk lomba, saya geram bukan kepalang," ujarnya saat kami bertemu di belakang bar miliknya ArtScience Culture Lab & Café di bilangan Cambridge, Massachusetts. Samdo lantas memeras otaknya untuk mencari cara paling efektif untuk memprotes kebijakan pemerintahan Donald Trump. "Saya kan seorang bartender—meramu minuman adalah pekerjaan saya, kenapa tak saya sampaikan pesan perlawanan lewat minuman racikan saya sendiri?"

Foto oleh David Dziemian.

Meski hasilnya—daftar cocktail yang terinspirasi spesies-spesies langka dari seluruh penjuru dunia, tak menghasilkan riak yang begitu berarti, setidaknya para ilmuwan yang kerap nongkrong di kafe Samdo (kebetulan tempat cuma sepelemparan batu dari MIT dan kantor-kantor perusahaan teknologi di sekitarnya) bisa terus memikirkan spesies-spesies yang mengilhami minuman racikan Samdo yang mereka pesan. Kalau pun pekerja perusahaan teknologi dan ilmuwan itu tak peduli amat dengan spesies-spesies itu, perlawanan kecil-kecilan ini memberikan Samdo inspirasi yang luas dan aneka rupa bahan untuk bereksperimen.


Tonton dokumenter VICE mengenai khasiat ajaib jamu resep warisan orang tua kita:


Tak hanya itu, ArtScience Culture Lab & Café adalah tempat yang tepat untuk melakukan eksperimen. Restoran tersebut yang masih bagian dari Le Laboratoire Cambridge didirikan oleh ilmuwan dan dosen Harvard professor David Edwards—pendiri WikiFoods, sebuah inisiatif untuk mengganti plastik dengan kulit sintetis dari makanan yang bisa dimakan dan oNotes, player bau digital.

Iklan

Di samping dua proyek yang disebut barusan, ArtScience Culture Lab & Café juga memanfaatkan sejumlah temuan David lainnya. Selain perkakas memasak yang bisa dibilang standar seperti evaporator putar dan alat pemisah sentrifugal, ada pula Le Whaf yang berfungsi untuk mengubah bahan minuman menjadi semacam uap air yang mirip awan. Awan yang bebas kalori dan alkohol ini merupakan semacam tambahan yang mempersiapkan indera penciuman kita akan bahan-bahan yang nanti dimasukkan dalam gelas minuman.

Seturut kredonya sebagai bar cocktail yang awas dengan permasalahan lingkungan, ArtScience Culture Lab & Café tak menyisakan sampah sedikit pun dari peracikan cocktail-cocktailnya. Segala sisa bahan dimanfaatkan kembali. Alhasil, cangkang telur pun dijadikan cangkir.

Kulit buah didaur ulang menjadi bubuk dan penambah rasa setelah diolah lewat mesin pemisah sentrifugal. Pendeknya, semua sisa bahan bakal kembali dalam bentuk yang benar-benar berbeda.

Le Whaf. Foto oleh John O'Donnell.

Daftar cocktail di ArtScience Culture Lab & Café sebelas dua belas dengan daftar penghuni kebun binatang: nama-nama macam snow leopards (macam tutul salju), piping plovers, Titi monkey (monyet titi) dengan mudah kita temukan. Selain itu, ada pula nama spesies yang keluar masuk daftar yang terus diganti tersebut setiap saat. ("Jumlah spesies yang terancam punah itu jumlah bukan lusinan, tapi ada ribuan," kata Samdo menegaskan).

Tiap minuman diracik setelah Samdo mencocokan tinggi daerah sebuah spesies binatang tertentu dengan bahan-bahan minuman yang diketahui hidup di daerah tersebut.

Iklan

Seperti inilah penampilan Titi monkey cocktail. Foto oleh Pat Ford.

Titi monkey, misalnya, umumnya ditemukan di level kanopi hutan hujan tropis di kawasan Peru dan Kolombia, kira-kira 8.500 kaki di atas permukaan laut. Samdo lantas menjadikan minuman beralkohol khas setempat pisco sebagai dasar minuman racikannya dan menaruhnya di cocktail putih telur yang sebelumnya sudah dikocok. Seperti yang telah ditulis di atas, kulit telur tak dibuang begitu saja. Setelah didehidrasi dan disemprot absinthe, cangkang telur ini diisi dengan buih yang bisa dimakan dan memiliki rasa kelapa. Malah di salah satu proses peracikan minuman ini, Samdo juga membubuhkan sirup kayu cendana.

"Pokoknya, ini minuman yang kaya aroma. Kalau kamu pernah berjalan masuk ke hutan dengan bunga tumbuh di sana-sini, kamu pasti tahu aromanya," katanya saat menjelaskan tentang penambahan sirup kayu cendana. "Saya pengin menciptakan rasa yang mirip hutan hujan tropis, enggak cuma beraroma bunga tapi yang agak mirip kayu juga." Permukaan minuman itu kemudian diimbuhi dengan desain gambar monyet yang dicetak secara digital di atas kertas wafer dengan tinta yang bisa dimakan.

"Coba deh lihat gambar monyetnya, dia kelihatan berdandan bak seorang profesional," ujar Samdo. "Tapi, ekspresi mukanya bete banget."

"Semua orang bereaksi seperti ini, 'ya ampun lucu banget,’ makanya saat ingin menyisipkan gambar-gambar macam ini—bisa gambar burung hummingbird atau penguin—jadi begitu minumannya disajikan, orang akan tertawa. Nah, energi macam ini ingin saya ciptakan."

Iklan

Nilai plus lainnya, cocktail buatan Samda pantas banget difoto dan dipajang di Instagram.

Snow Leopard. Foto dari arsip ArtScience.

Khusus untuk Snow Leopard, yang ketinggian lokasi habitatnya sudah dipadankan dengan minuman beralkohol apapun, Samdo menerjemahkan habitat spesies ini yang berada di gunung dan berbatu-batu dengan rasa mezcal, mengimbuhinya anggur vermouth kering yang sudah terlebih dulu ditambahkan rock tea, semacam oolong yang tumbuh di daerah pegunungan Tiongkok dan agave yang sudah dicampur kapulaga.

Bird of Paradise merupakan sejenis burung yang tinggal di dataran yang sangat rendah. Makanya, Samdo memadankannya dengan buah-buah tropis dataran rendah seperti rum, mangga, almond dan kurma guru. Hasil akhirnya sebuah minuman yang penuh warna.

"Saya ingin meningkatkan kesadaran pelanggan akan spesies-spesies yang terancam punah, dengan cara yang halus," kata Samdo tentang konsep minumannya. "Tumbuh besar sebagai penduduk Tibet, kami terbiasa memuja bumi dan laut. Lagipula, manusia punya suara dan bisa berteriak. Sayang, hewan-hewan langka ini tak punya suara."

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.