FYI.

This story is over 5 years old.

Menembus Batas

Ketika Bass Menjadi Pengganti Kedua Kaki Bagi Yuri

Wahyuri Ramadhan adalah musisi difabel pengidap sindrom club foot asal Magelang, yang berhasil melawan stigma berkat kecintaannya bermain musik.
Foto dari arsip pribadi Wahyuri Ramadhan.

Wahyuri Ramadhan tidak ingin bermimpi tinggi-tinggi. Ia simpan rapat cita-citanya di pojok-pojok kamar rumah orangtua, di Kampung Kebondalem, Magelang: bermain musik dan jadi musisi. Cita-cita itu sempat ia pendam selama belasan tahun karena merasa dirinya berbeda dari teman sebata. Yuri, sapaan akrabnya, mendadak menghidupkan kembali mimpinya menekuni musik berkat ilham jari-jemari kawan masa kecilnya: sosok Ramzah yang siang itu menghibur diri di teras rumahnya lewat lagu 'No Woman No Cry' milik Bob Marley.

Iklan

“Kok main gitar cuma satu jari?” tanya Yuri pada Ramzah. “Ini lagi belajar cara main bass,” balas Ramzah.

Seperti kebanyakan anak usia belasan awal lainnya yang gemar berbagi cara-cara otodidak main alat musik dan pinjam-pinjaman buku chord gitar, Yuri mulai banyak bertanya pada Ramzah soal bagaimana memainkan bass. Bagi Yuri, bass punya daya tarik tersendiri, bukan karena alat musik ini mudah dimainkan. Namun karena postur jari tangannya lebih maksimal jika digunakan bermain bass dibandingkan alat musik lainnya.

Sejak lahir, Yuri didiagnosa dokter memiliki kondisi langka Congenital Talipes Equino Varus (CTEV), dikenal juga dengan istilah “Club Foot” pada kakinya. Kondisi ini merupakan kelainan perkembangan menyebabkan kaki memutar ke bagian dalam, sehingga telapak kaki bayi menghadap ke belakang. Penyebabnya beragam bisa karena beberapa hal seperti genetik, gangguan tumbuh kembang bayi saat dalam kandungan, dan kelainan sistem saraf. Sementara itu, tangannya pun mengalami hal yang hampir sama. Keduanya tidak bisa direntangkan, jari jemarinya pun terkadang kaku.

Sejak kecil, Yuri sudah kebal dengan beragam perlakuan berbeda yang diterimanya. Diejek dan dipandang rendah sudah jadi makanan sehari-hari bahkan sejak Yuri belum menginjak bangku sekolah. Jika pada umumnya seragam, tas, buku-buku, dan sepatu baru adalah hal yang kita siapkan pada hari pertama sekolah, berbeda dengan Yuri. Ia dan keluarganya berniat menjalani operasi kaki sebelum masuk hari pertama sekolah. Saat berusia lima tahun, beberapa waktu sebelum hari pertama masuk Taman Kanak-kanak, kedua kakinya diamputasi.

Iklan

“Karena saya ingin pakai sepatu ke sekolah,” ujar Yuri. “Hasilnya gagal dan dua hari setelah operasi itu jari-jari kaki saya membusuk. Alhasil saya harus memakai bantuan kaki palsu untuk berjalan sampai sekarang.”

Gara-gara hal itu pula, pernah satu waktu Yuri ditolak masuk sekolah umum dan disarankan masuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Yuri mulai bertanya-tanya apa penyebab utama Ia tidak bisa masuk sekolah umum, apa yang membuatnya berbeda dan menerima penolakan, apa yang membuat orang tuanya ngotot pada pihak sekolah agar Yuri bisa masuk sekolah umum dan diperlakukan sama.

Yuri heran, untuk urusan masuk sekolah saja, guru-gurunya sengaja datang ke rumah untuk negosiasi. Akhirnya Yuri diizinkan ikut masa percobaan tiga bulan. Perjanjiannya sederhana: Kalau Yuri gagal, Ia akan dikeluarkan dari sekolah dan harus pindah sekolah ke SLB.

“Banyak yang mengira saya ini cacat mental, padahal cacat fisiknya saja,” kata Yuri.

Yuri berhasil, perjuangan orang tuanya mempertahankan dan meyakini Yuri bisa masuk sekolah umum terbukti. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini tidak pernah tinggal kelas. Di mata keluarganya, Yuri tidak pernah dianggap berbeda. Begitu pula dengan lingkungan pertemanannya.

Bagi Yuri, memiliki kebutuhan khusus merupakan ujian sekaligus pengalaman berharga. Sering diejek dan dapat perlakuan berbeda di masa kecilnya berubah seiring waktu, terlebih ketika Ia menemukan kembali cita-citanya: menjadi musisi dan bermain bass.

Iklan

Sejak awal perkenalannya dengan bass, setidaknya Ia belajar otodidak selama tiga tahun. Sampai akhirnya, satu-satunya sekolah musik dibuka di depan gang kampung Kebondalem. Sekolah musik kecil milik bekas pentolan band Dewa 19, Ahmad Dhani.

Yuri mengaku seketika sumringah mendaftar. Namun, bukan dukungan didapat Yuri, melainkan segudang keraguan dari keluarga dan kawan-kawannya soal akankah ada yang akan sanggup mengajarkannya teknik bermain bass. Bukannya menyerah, Yuri makin bebal. Ia rela menyisihkan uang jajannya demi mengongkosi jajan musiknya sendiri.

Ketika ditanya soal kesulitan yang Ia hadapi, Yuri menjawab dengan santai, “Jangan ditanya, pengajar awalnya bingung."

Kebanyakan dari para guru musik Yuri bingung menerapkan metode yang harus diterapkan ketika melatih dia. Masalahnya, ada beberapa teknik bermain bass yang mau tidak mau harus Yuri sesuaikan sendiri. “Seperti [teknik] slap atau tapping, dulu guru musik juga bingung mau ngajarinnya,” ungkap Yuri. “Saya bilang agar beliau mengajarkan dengan metode biasa saja nanti saya yang menyesuaikan.”

Beberapa bulan berjalan Yuri dapat kesempatan pertama bermain bass di muka umum, langsung di hadapan si pentolan grup yang saat itu masih lurus di jalur musik, Ahmad Dhani. Yuri mengaku hanya bisa tertunduk, keringat bercucuran tak tertahankan. Di kunjungan Ahmad Dhani yang kedua, Yuri diajak main musik bersama. Saat itu juga Yuri diajak untuk main bersama di sebuah acara televisi.

Iklan

“Saya bingung dan bertanya-tanya kenapa saya? Kenapa bukan teman saya? Mungkin ini membuktikan pada masyarakat luas bahwa semua orang bisa main musik,” kata Yuri. “Di momen itu saya gembira dapat mengubah pandangan orang lain dan keluarga saya,”

Sejak saat itu, Yuri tak lagi mengongkosi sekolah musiknya sendiri. Selama satu tahun belajar di sana, bukan cuma ilmu yang didapat, melainkan kawan-kawan terbaik yang mengerti betul keadaannya. Dari sanalah Ia memberanikan diri membentuk beberapa grup band yang kelak menghidupi dirinya.

Yuri tergabung dalam empat band berbeda. Keempatnya memainkan aliran musik yang juga berbeda. INTERSTELLAR dengan genre alternatif rock, ARP bergenre reggae, Kacang Kulit Rasa band dengan nuansa folk, sementara itu bandnya yang terakhir, Rhyme kerap membawakan lagu-lagu Top 40 untuk “ngamen” di cafe ataupun hotel sekitar Jogja. Kini, salah satu lagu milik bandnya, INTERSTELLAR yang berjudul Kita Bisa sudah bertengger di Spotify.

Lagu tersebut terinspirasi dari semangat hidup Yuri selama ini, terutama pengalamannya ketika membuat kaki palsu baru bantuan sebuah pusat rehabilitasi di Yogyakarta. Ia bercerita, banyak orang yang punya kondisi lebih parah darinya, tapi pantang menyerah dan tetap berkarya. Baginya hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengeluh pada keadaan.

“Semua orang bahwa kita memiliki kesempatan yang sama. Jangan terlalu larut dalam [keterbatasan] fisik,” ujar Yuri. “Menurut saya ini bukanlah kekurangan melainkan suatu keunikan tersendiri, siapa yang konsisten dengan apa yang dia percaya maka dia yang keluar menjadi pemenang.”


Seri artikel dan dokumenter #MenembusBatas adalah kolaborasi VICE X Rexona untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap hak-hak difabel di negara ini