FYI.

This story is over 5 years old.

20 Tahun Reformasi

Kisah Kelabu Penyebab Kota Philadelphia Jadi Kantong Diaspora Indonesia di AS

Philadelphia adalah kota terbesar kedua yang menampung pelarian etnis Tionghoa dari Tragedi Mei 1998. Tragisnya setelah kini para penyintas merasa kota itu sebagai rumah kedua, pemerintah AS sedang tak ramah imigran.
Kota Philadelphia Jadi Kantong Diaspora Indonesia di AS Akibat Tragedi Mei 1998
Tjandra, duduk di teras rumahnya sekarang di Philadelphia, AS. Semua foto oleh penulis. 

Tjandra masih ingat setiap hinaan yang dia terima nyaris saban hari. Anak-anak dekat rumahnnya senantiasa mengejek dirinya karena alasan yang selalu sama: warna kulit dan bentuk matanya.

Tjandra adalah keturuan etnis Tionghoa, padahal dulu nyaris seumur hidupnya negara yang dia kenal hanya Indonesia. Sayangnya, rasisme yang dia hadapi selama tumbuh besar di Malang, Jawa Rimur memberikan dampak yang jauh lebih berbahaya namun tersembunyi. Hinaan-hinaan itu pelan-pelan mengukuhkan caranya memandang eksistensi dalam kehidupan sehari-hari.

Iklan

“Kamu jadi terbiasa dibenci,” katanya saat kami duduk dalam mobil berdua. Kami melakoni perjalanan darat menuju Philadelphia. “Tapi karena kamu terbiasa hidup dengan hinaan macam itu, lama-lama terasa normal juga.”

Tjandra hengkang dari Indonesia 20 tahun lalu, meninggalkan rumahnya saat kerusahan anti-etnis Tionghoa merebak di seantero Indonesia, terutama di kota-kota seperti Jakarta, Medan dan Surabaya. Gerombolan perusuh menyerbu kawasan pecinan, menjarah toko-toko, membakar bangunan dan, dalam ratusan kasus, memerkosa perempuan etnis Tionghoa dalam gelombang kerusuhan jelang lengsernya Presiden Suharto yang menandai akhir Orde Baru.

Menurut beberapa laporan independen, kerusuhan Mei 1998 memaksa lebih dari 100.000 etnis Tionghoa kabur dari Indonesia. Lebih dari 7.000 orang di antaranya menerima suaka dari Amerika Serikat, dan sampai sekarang bermukim di kota seperti Philadelphia dan Los Angeles. Nasib baik tak berpihak pada 5.800 pencari suaka lainnya asal Tanah Air. Mereka sampai di Negeri Paman Sam hanya untuk menerima sebuah kabar buruk: pengajuan suaka mereka ditolak.

Di kota-kota seperti Los Angeles, diaspora etnis Tionghoa Indonesia melahirkan kultur kuliner yang terus berkembang. Los Angeles menjadi pusat diaspora Tanah Air, dtinggali oleh lebih dari 200.000 warga AS berdarah Indonesia serta sejumlah imigran lain yang datang belakangan karena alasan berbeda. Kondisi nyaris serupa juga ditemui di Philadelphia—rumah bagi 6.000 hingga 8.000 penduduk berdarah Indonesia. Artinya, Philly, sebutan kota ini, adalah kota terbesar kedua yang menampung pelarian dan penyintas kerusuhan Mei 98 di Negeri Paman Sam.

Iklan

Para penyintas kerusuhan Mei 1998 berhasil melahirkan sebuah komunitas yang guyub dan rukun selama 20 tahun terakhir. Mereka melampaui berbagai macam perbedaan yang dulu pernah begitu merepotkan ketika masih tinggal di Indonesia. Selama nongkrong bersama anggota komunitas Indoenesia di kawasan selatan Philadelphia, saya bertemu seorang imigran asal Indonesia yang menikah dengan pasangannya yang berdarah campuran serta beberapa pemimpin gereja yang menggelar acara doa bersama pemuka agama Islam.

Satu yang pasti, komunitas Indonesia di Philadelphia tanpa ragu memendam dalam-dalam masa lalu mereka di Indonesia.

“Saya sendiri tak pernah kangen Indonesia,” ujar Tjandra. “Saya lebih kerasan di sini.”


Tonton dokumenter VICE mengenai akar penyebab rasisme pada Pilkada DKI 2017, yang membuat sebagian orang khawatir Tragedi Mei 98 terulang:


Tjandra tak menyaksikan kerusuhan Mei 1998 dengan mata kepalanya sendiri. Malang tak termasuk kota yang dilanda keonaran 20 tahun lalu. Akan tetapi, Tjandra kenyang menonton berita tentang kerusuhan di TV rumahnya. Parahnya, Tjandra, waktu itu, sadar betul bahwa rasisme dan ketegangan etis yang menjadi bensin bagi kerusuhan tak akan otomatis hilang apalagi terselesaikan setelah ontran-ontran itu reda.

“Masalah sentimen ras ini tak akan kemana-mana kok,” ungkap Tjandra. “Saya kala itu percaya bahwa kekerasan itu bisa dengan mudah menyebar—dan saya tak mau diam menunggu saja.”

Iklan

Alhasil, pada usia 34 tahun, nyaris tiga bulan setelah kerusuhan Mei 1998 meletus, Tjandra—yang meminta nama depannya tetap dirahasiakan—meninggalkan tiga saudaranya dan bisnis kue keluarganya. Dia memilih mengadu nasib, terbang menuju Philadelphia, tempat salah satu sepupunya tinggal. Awalnya, dia hanya berencana melihat-lihat dulu kehidupan di kota itu, sementara sang istri tetap tinggal di Malang mengelola usaha kue mereka. Begitu kondisi Philadelphia dirasa cukup nyaman, dia mengajak istrinya bermukim di sana.

Suasana tempat tinggal Tjandra yang baru sangat berbeda dari Malang. Itu kali pertamanya keluar negeri, dan dia belum terbiasa tinggal di Amerika. Tapi bukan cuma itu yang membuatnya kaget. Saat masih tinggal di Indonesia, kebudayaan Tionghoa sangat tidak dihargai. Presiden Suharto melarang WNI keturunan Tionghoa merayakan tradisi nenek moyang mereka. Selama era Orde Baru, mereka bahkan dipaksa mengganti nama marganya menjadi ‘nama Indonesia’.

Setelah tinggal di chinatown Philly, para penyintas itu merasakan hal yang sangat kontras. Budaya Tionghoa sangat berlimpah. Di kawasan South Philly, Tjandra bisa bertemu banyak orang Asia yang menetap di sana dan menjaga tradisi .

Mayoritas penduduk di South Philly merupakan keturunan Italia-Amerika, sehingga budaya Italia begitu kental di sana. Contohnya saja di sekitar McKean dan Passyunk. Kamu bisa menemukan banyak restoran Meksiko dan Italian Market yang dipadati pedagang asal Meksiko-Amerika. Meskipun begitu, kebudayaan di sana sangatlah beragam.

Iklan

Selain kebudayaan Italia, budaya Asia juga sangat kuat. Ada mall-mall Cina dan Vietnam di ujung utara Washington Avenue, permukiman orang Kamboja di bagian selatan dekat jalan Seventh dan Wolf, dan banyak orang Indonesia yang tinggal di sisi barat Broad Street.

Menurut sensus, banyak imigran asal Asia yang menetap di kawasan selatan, meski populasi Asia di Philly sebetulnya cuma mencakup 7,4 persen. Kira-kira dari 200.000 penduduk asing yang tinggal di kota, imigran Asia memiliki persentase yang cukup besar, yaitu 39 persen.

Dahlia Setiyawan, sejarawan dan peneliti yang mengamati komunitas WNI keturunan Tionghoa di Philadelphia, menjelaskan betapa kerusuhan Mei 1998 adalah alasan utama semakin banyak imigran Asia menetap di kota tersebut.

“Awalnya dimulai dari imigran asal Vietnam dan Kamboja. Sejak 1998, banyak orang yang datang ke Philly pakai visa turis untuk bekerja di sana,” katanya.

Tjandra menceritakan bahwa dia datang ke Philly menggunakan visa turis, tapi akhirnya dia diperbolehkan tinggal dan bekerja di AS. Awalnya dia berencana meneruskan bisnis kuenya, tapi dia siap bekerja jadi apa saja berhubung dia baru pindah ke sana. Dia pernah kerja sebagai tukang cetak dan di “agen pesanan”. Saat ini dia bekerja di perusahaan real estate.

Memang banyak WNI keturunan Tionghoa yang pindah ke AS akibat kerusuhan Mei 1998, tapi tidak semuanya langsung pindah ke sana pada tahun yang sama. Ani, WNI keturunan Tionghoa beragama Kristen yang meminta dirahasiakan namanya ini, kabur dari Indonesia setahun kemudian.

Iklan

Alasannya karena ada kerusuhan sipil yang melanda kampung halamannya di Balikpapan, Kalimantan Timur Sedangkan Yeni Lie meninggalkan Indonesia pada 2002. Alasannya bukan karena terjadi kekerasan, melainkan lemahnya ekonomi di Indonesia pada awal-awal Reformasi.

“Ada banyak pekerjaan yang tersedia, tapi gajinya tidak ada yang menjanjikan. Makanya kami memutuskan pindah ke sini,” kata Yeni.

Yeni menghubungi anggota keluarga yang sudah tinggal di Philadelphia untuk mencari pekerjaan di sebuah pabrik kertas, bekerja 12 jam sehari untuk menyambung hidup. Tapi dia bilang bahwa dia merasa jauh lebih aman di Philadelphia, karena dia tahu etnisitas dan agamanya bukan masalah. Kini, dia adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak. Dia sekeluarga adalah anggota Indonesian Mennonite Church.

Pastur di gereja itu, Kilat Lembong, yang memimpin misa untuk lebih dari 50 anggota, datang ke AS pada 2008, menghabiskan tahun pertamanya di California sebelum pindah ke Philadelphia. Kilat, yang lahir di Pontianak dan besar di Jakarta. Dia pindah ke AS karena diminta memimpin misa, bukan karena khawatir akan keselamatannya atau keluarganya. Tetap saja, dia, sebagaimana sebagian besar orang Indonesia, memiliki pengalaman tersendiri dengan kerusuhan ‘98. Tapi pengalamannya adalah soal orang-orang dari agama berbeda bersatu.

“Setelah ‘98, situasi menjadi semakin parah,” ujar Kilat pada saya. “Tapi kami beruntung karena sekarang presidennya Jokowi. Militer dan kepolisian juga bagus banget—mereka melindungi gereja-gereja dan menangkap teroris.”

Iklan

Dia sering mengunjungi Indonesia, dan spada kunjungannya yang terakhir, pada Desember tahun lalu, dia merasa keinginan kuat untuk pulang. Indonesia kini sedang berada di periode menuju musim pemilu, dengan pilkada tahun ini dan pilpres tahun depan.

Momen pemilu sekarang menjadi wahana kalangan fundemantalis Islam di Tanah Air untuk menguji kekuatan politik mereka. Sebagian politisi menyiram bensin kebencian terhadap etnis Tionghoa lewat pernyataan ambigu, sementara beberapa ormas lain lebih eksplisit menyatakan niat mereka untuk menyasar komunitas Tionghoa di Indonesia.

Dan meski rasisme anti-Tionghoa masih marak di Indonesia, kekerasan sesungguhnya cenderung muncul karena agama seseorang, bukan etnisitas mereka. Mantan gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama adalah seorang keturunan Tionghoa dan penganut agama Kristen. Dan meski etnisitasnya muncul dalam retorika-retorika rasis selama pemilu, agamanya lah yang membuatnya kalah—dan menyebabkannya masuk penjara atas tuduhan penodaan agama.

Dan bulan ini, teroris melancarkan serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, saat misa berlangsung pada Minggu pagi yang menewaskan 18 orang.

“Mereka menghadapi risiko yang nyata di Indonesia, diskriminasi yang nyata,” ujar Andreas Harsono, peneliti Indonesia untuk Human Rights Watch, lewat email, menjelaskan bahwa Indonesia masih belum punya program-program untuk mendampingi korban-korban kekerasan etnis atau agama, dan bahwa orang-orang yang berkuasa saat kekerasan ini terjadi akan tetap berpengaruh bagi negara ini.

Iklan

Lalu ada masalah dari sebuah kebijakan AS era George W. Bush yang mewajibkan seluruh imigran laki-laki dari negara-negara mayoritas Islam untuk secara ironis menghampiri komunitas Tionghoa Indonesia Kristen. Mereka yang belum sempat terdokumentasi jadi sasaran penggerebekkan petugas US Immigration and Customs Enforcement (ICE).

“Kalau kamu datang dengan visa turis, kelar deh,” ujar Dahlia. “Makanya orang-orang mulai mendaftar. Saat itu bisa dibilang masa-masa sulit bagi komunitas pelarian dan penyintas asal Indonesia. Komunitas ini dulu terdiri dari 8.000-9.000 orang di awal dekade ini. Sekarang jumlahnya mengalami penurunan drastis, terutama sejak 2002 ketika penggerebekan ICE mulai rutin terjadi.”

Tjandra kehilangan kawan dekat yang terdeportasi setelah bus Greyhound-nya dihentikan dan digeledah. Sobatnya itu mencoba pergi dari Philadelphia menuju Rhode Island untuk mengurus dokumen izin tinggal resmi. Dia ditahan selama tiga bulan, lalu dideportasi ke Indonesia.

Kini, ada ketakutan petugas ICE akan terus menggunakan daftar tersebut sebagai dasar menggeledah rumah tinggal dan tempat usaha para imigran. Sebagian imigran asal Indonesia, yang dokumennya belum lengkap, kini mulai berlindung di gereja-gereja di New Jersey untuk menghindari ancaman deportasi.

Setelah dua dekade momen kelabu berlalu, Dahlia merasa etnis Tionghoa yang terpaksa kabur ke AS ternyata masih harus bergelut dengan isu-isu yang mengikuti mereka dari kampung halaman bagai kutukan.

“Hanya karena kamu mengepak koper dan pergi ke tempat baru bukan berarti kamu akan meninggalkan semua bebanmu,” ujarnya.