FYI.

This story is over 5 years old.

Kebebasan Pers

Di Berbagai Negara, Makin Banyak Jurnalis Dipenjara Atas Tuduhan Menyebar 'Berita Palsu'

Bukan berarti kualitas jurnalisme memburuk. Banyak penguasa negara kini politikus populis anti-kritik. Pemimpin macam Trump, Putin, atau Erdogan menepis semua kritik sebagai "berita palsu."
Pengunjuk rasa di Hong Kong menuntut Tiongkok bebaskan jurnalis Gao Yu
Pengunjuk rasa di Hong Kong menuntut Tiongkok bebaskan jurnalis Gao Yu. Foto oleh Kin Cheung/Associated Press

Seiring makin gencarnya Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerangi penyebaran apa yang secara sepihak dianggapnya sebagai "berita abal-abal" jumlah jurnalis di dunia yang dijebloskan ke penjara atas alasan menyebarkan 'berita palsu' mencapai rekor baru, menurut laporan independen yang dirilis Kamis (12/13).

Sensus penjara tahunan, digelar oleh lembaga nirlaba Committee to Protect Journalists (CPJ), membeberkan ada 251 jurnalis dari berbagai negara yang tengah mendekam di penjara per tanggal 1 Desember 2018. Selama tiga tahun berturut-turut, jumlah napi jurnalis tidak mengalami perubahan, berkisar di angka yang sama.

Iklan

Bedanya tahun ini, 28 dari 251 jurnalis itu menjadi pesakitan karena dituduh menyebarkan "berita palsu." Angka ini menunjukan kenaikan yang signifikan, Dua tahun lalu, kasus pemenjaraan jurnalis karena tuduhan penyebaran berita hanya berjumlah 9 buah.

Mesir menjadi negara yang paling banyak menjebloskan wartawan ke penjara dengan tuduhan serupa. Jumlahnya mencapai 19 orang. Empat jurnalis lainnya dipenjara di Kamerun, tiga di Rwanda dan satu orang, masing-masing di Cina dan Maroko.

Laporan ini menuding Trump sebagai salah satu pemimpin duna yang jadi "pelopor" retorika berita palsu di ranah global. Retorika Trump merugikan jurnalis yang bekerja profesional. "Kalian pikir retorika #FakeNews tak punya konsekuensi?" ujar penulis laporan tersebut, direktur editorial CPJ Elana lewat akun Twitter pribadinya.

Laporan ini sekaligus mencatat tak ada wartawan AS yang dijebloskan ke penjara atas tuduhan serupa. Kendati begitu, pewarta di Negeri Paman Sam masih harus berhadapan dengan kekerasan yang nyata dan retorika bernada mengancam. Juni lalu, lima orang terbunuh dalam insiden penembakan massal di kantor The Capital Gazette, Kota Annapolis, Negara Bagian Maryland. Dalam kasus lain, seorang pengirim bom yang mengamini serangan terhadap media yang dipelopori Trump mengirim paket berbahaya ke kantor pusat CNN di New York, di samping sejumlah tempat lainnya, pada bulan Oktober lalu.

Tahun ini, untuk ketiga kalinya jumlah wartawan yang dipenjara melampaui angka 250. Sebuah angka statistik yang menggambarkan “bahwa pendekatan otoriter terhadap pemberitaan tak hanya tren sesaat” dan telah menjadi "hal baru yang dianggap lumrah," menurut Beiser.

Iklan

Laporan CJP menemukan tingginya napi jurnalis di seluruh dunia disebabkan negara-negara macam Cina, Mesir dan Arab Saudi tengah getol memerangi pemberitaan yang kritis terhadap pemerintah. Ketiga negara tersebut, beserta Turki dan Eritrea, adalah lima negara yang paling banyak menjebloskan wartawan ke hotel prodeo. Sebagai gambaran, Mesir memenjarakan setengah dari seluruh napi wartawan di seluruh dunia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ini.

Lebih jauh, nyaris tiga perempat wartawan yang dipenjara didakwa melakukan tindakan melawan pemerintah yang sah, seperti berkomplot dengan kelompok-kelompok yang dituding sebagai organisasi teroris. Sebagian besar—tepatnya 98 persen—wartawan ini dibui oleh pemerintah negaranya sendiri.

Dengan 68 wartawan yang kini mendekam di penjara, Turki masih menjadi negara yang paling getol membui jurnalis. Fakta yang berseberangan dengan kecaman presiden Recep Tayyip Erdogan terkait pembantaian kolumnis Jamal Khashoggi oleh pemerintah Arab Saudi.

Jumlah jurnalis yang kini dipenjara di Tiongkok mencapai 47 orang. Angka ini tersebut dipicu oleh penangkapan besar-besaran terhadap populasi etnis Muslim Uyghur di provinsi Xinjiang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan hampir satu juta warga Muslim Uyghur dijebloskan ke penjara.

Dalam sebuah kasus terbaru, fotografer lepas waktu pemenang penghargaan jurnalistik Lu Guang dinyatakan menghilang di kawasan Xinjiang bulan lalu. Hingga kini, pihak berwenang Tiongkok belum mau mengemukakan alasan Lu Guang ditahan.

Iklan

Di bagian lain, laporan ini memaparkan bahwa kendati AS berkali-kali menekan Tiongkok dalam urusan perdagangan, mereka jarang melakukan hal yang sama terkait pelanggaran hak asasi manusia dalam gelombang baru represi yang terjadi di sana.

Mesir tahun ini memenjarakan 25 wartawan. Kentara sekali, pemerintah Mesir ingin mengikis segala macam kritik terhadap pemerintah. Sedangkan Arab Saudi—negara yang dengan sadis menghabisi nyawa Khashoggi, salah satu jurnalis yang terbunuh tahun 2018—memenjarakan 16 jurnalis, termasuk di dalamnya empat perempuan yang memperjuangkan hak kaumnya di tempat mereka bekerja.

Sekitar sepertiga dari semua jurnalis yang dipenjara adalah pekerja paruh waktu dan politik adalah topik yang paling berbahaya bagi para pewarta, diikuti isu-isu HAM, menurut temuan CPJ.

Angka wartawan yang dibui tahun ini sebenarnya mengalami penurunan dari angka tahun lalu (262 orang) serta dua tahun lalu (259). Salah satu aspek yang menyebabkan penurunan ini adalah perkembangan iklim di Etiopia. Abiy Ahmed, perdana menteri baru Etiopia yang juga seorang reformis, sudah mengakhiri kebijakan pemerintah setempat memenjarakan wartawan.

Tetap saja, penurunan ini semu semata apalagi jika dibandingkan dengan angka pada 2012 yang berkisar di angka 200an atau 150an sebelum 2010.

Laporan CPJ dirilis tepat setahun setelah dua jurnalis Reuter Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, ditangkap dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara karena mengungkap pembantai warga Muslim oleh anggota militer Myanmar di Provinsi Rakhine.

Dua jurnalis Reuters tersebut bersama Jamal Khashoggi, jurnalis yang tewas di markas Capital Gazette, serta Kepala website berita asal Filipina Rappler — yang diincar oleh Presiden Rodrigo Duterte — bersama-sama ditetapkan sebagai “person of the year”oleh majalah TIME.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News