FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Kesehatan Lahir Batin Adalah Fantasi Mahal

Komunitas kesehatan lahir batin adalah tempat saya berpulang, di mana orang-orang getol soal membuat makanan penutup tanpa gula, makan bermangkuk-mangkuk salad segar, dan menciptakan produk makanan dengan bahan dasar yang diproses seminimal mungkin.

Sebagai penulis sains, saya punya hobi yang malu saya umbar: saya penggila wellness. Kebanyakan orang yang saya follow di Instagram adalah blogger makanan sehat, atau influencer gaya hidup sehat, yang mempromosikan produk makanan bersih dan resep-resep masakan berbasis tumbuhan. Mereka biasanya nyobain kelas-kelas fitness terbaru, makan smoothie bowls untuk sarapan, dan menjunjung pola makan bersih dan gaya hidup sehat. Terang, saya terjerumus pada hobi ini secara perlahan. Saya sudah menjadi vegetarian selama satu dekade, dan setelah mengetahui bahwa tubuh saya tidak toleran terhadap laktos, saya langsung pindah jadi vegan. Itulah pola makan yang bikin saya merasa paling nyaman dan bikin saya paling bertenaga. Tapi, sebagaimana akan diamini para vegetarian dan vegan di manapun, enggak mudah hidup mengandalkan tumbuhan di dunia ini. Coba saja kunjungi restoran manapun dan menunya, biasanya, akan punya hanya satu atau dua masakan yang tidak mengandung produk hewan. Makanan yang saya gemar masak untuk acara kumpul keluarga seringkali diledek dan dikritik, bahkan sebelum dicicipi. Saat saya malas ngasih tahu kawan-kawan atau kolega bahwa saya enggak makan daging, hewan laut, ataupun produk susu (menyembunyikan istilah “vegan” karena malu), saya selalu mendengar argumen-argumen tidak perlu seperti: “Kalau bacon gimana?” “Terus proteinnya dapat dari mana?” “Ih, kan tumbuhan punya perasaan juga.” Padahal, alasan saya enggak makan produk hewani enggak ada hubungannya sama moralitas. Melainkan lingkungan hidup dan kesehatan pribadi saya. Warga Amerika kan penyakitan dan mengalami obesitas, dan sebagian besarnya disebabkan oleh pola makan tidak sehat. Sebagian besar warga Amerika melampaui anjuran konsumsi gula, lemak jenuh, dan sodium dan sekitar tiga perempat populasi tidak mengonsumsi sayur dan buah cukup. Kita semua rentan terhadap penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit hati, stroke, dan obesitas. Lebih dari satu pertiga warga Amerika mengalami obesitas dan tidak ada satu negara bagian manapun yang tingkat obesitasnya di bawah 20 persen. Komunitas kesehatan lahir batin adalah tempat saya berpulang, di mana orang-orang getol soal membuat makanan penutup tanpa gula, kue kering dari kacang Arab, makan bermangkuk-mangkuk salad segar, dan menciptakan produk makanan dengan bahan dasar yang diproses seminimal mungkin. Saya benar-benar senang makan semangkuk smoothie hijau pas untuk sarapan, setiap hari, dan cewek-cewek di Instagram ini bisa menyalurkan antusiasme saya. Saya telah menemukan tempat bernaung.
Meski demikian, perlahan-lahan ada yang merasuki dunia kecil ini. Awalnya saya abaikan, dan menjadi pengikut kafetaria kesehatan. Saya hanya menyerap yang saya sukai: semangat dari cewek-cewek bahwa yang penting sehat, bukannya kurus, untuk mengisi tiap waktu makan dengan buah-buahan segar dan sayur-sayuran, untuk meluangkan waktu untuk merawat diri, dan mendukung perusahaan-perusahaan kecil yang menjual produk-produk baik. Sebaliknya, saya melewatkan yang saya tak sukai: penggunaan suplemen berlebihan, adaptogen, tren diet yang mengekang, dan penolakan terhadap obat-obatan Barat dan sains dan menggantinya dengan ramuan-ramuan “alami.” Ndilalah, sekitar sebulan yang lalu, American Heart Association merilis sebuah laporan soal risiko kesehatan terkait lemak jenuh, dan menyertakan minyak kelapa ke dalam daftar produk yang meningkatkan risiko tersebut. Makalah tersebut menuliskan bahwa minyak kelapa mengandung lebih banyak lemak jenuh dibandingkan mentega atau minyak babi, dan mengutip penelitian-penelitian lain yang menunjukkan bahwa minyak kelapa meningkatkan kolesterol LDL—jenis kolesterol jahat yang berhubungan dengan penyakit jantung. Minyak kelapa juga meningkatkan kolesterol HDL, tapi sekadar untuk mengimbangi kolesterol jahat. Lemak-lemak jenuh lainnya, seperti minyak zaitun, tak hanya meningkatkan HDL namun juga mengurangi LDL. Minyak kelapa telah lama menjadi bintang dalam dunia kesehatan, dengan klaim-klaim seperti meningkatkan daya tahan tubuh, memerbaiki pencernaan, membakar lemak, dan lain-lain. Penjelasan “ilmiah” yang beredar adalah minyak kelapa terbuat dari triglycerides rantai medium, jadi minyak ini diproses dalam tubuh dengan cara yang berbeda. Sebagaimana dilaporkan Stat, mitos ini muncul dari dua penelitian dari Marie-Pierre St-Onge, profesor gizi dari Columbia University. Dalam penelitiannya, para peserta menyantap makanan yang dipersiapkan khusus dengan seratus persen asam lemak medium, dan menemukan bahwa tingkatan lemak mereka secara umum menurun dan hal ini membantu mereka membakar energi. Namun, minyak kelapa yang kita beli di toko hanya mengandung 10 hingga 15 asam lemak medium, dan presentase itu tidak cukup untuk mengatasi risiko-risiko yang ditimbulkannya. Meski minyak kelapa dianggap “bersih” dan “whole food,” ini sebenarnya adalah sumber lain kandungan lemak jenuh. Saat makalah itu dirilis, saya membuat catatan dalam pikiran untuk tidak terlalu sering memasak dengan minyak kelapa dan kembali menggunakan minyak zaitun. Saya juga melihat reaksi yang sama online. Saya salah. Sebagian besar blogger yang saya ikuti, antara mengabaikan penelitian AHA atau membacanya namun tidak menganggapnya serius. Segelintir bilang bahwa AHA keliru. Saya melihat banyak blogger yang kekeuh sama penjelasan MCT—meski itu yang keliru. Minyak kelapa tidak berbahaya kalau dikonsumsi secara moderat. Saya enggak mau menyalahkannya kok. AHA bilang bahwa kita sebaiknya membatasi konusmsi lemak jenuh sebanyak 13 gram per hari, yaitu kira-kira satu sendok makan minyak kelapa. Namun resep-resep dan produk yang diciptakan dan dipromosikan dalam dunia kesehatan masih sangat mengandalkan minyak kelapa, sebagai pilihan lemak yang “sehat.” Sebagai seorang konsumen yang memebeli produk di dunia ini, atau membuat masakan berdasarkan dari resep yang mereka pacak di blog, saya jadinya makan lebih banyak lemak jenuh. “Orang-orang memercayai hal-hal seperti itu begitu saja, hampir seperti agama,” ujar Timothy Caulfield, profesor hukum di School of Public Health di University of Alberta yang menghabiskan karirnya memelajari kebijakan ilmiah. Dia sering mendebat “selebritas” dan klaim-klaim kesehatan budaya pop; buku terbarunya berjudul Is Gwyneth Paltrow Wrong About Everything?: When Celebrity Culture and Science Clash. Saya meneleponnya untuk membahas tren di Instagram yang menurut saya mulai meresahkan. Caulfield berpikir, yang direkomendasikan dan dikatakan influencers soal kesehatan memiliki dampak panjang. Tujuh dari sepuluh orang masih percaya bahwa minyak kelapa adalah makanan sehat, dan bukan hanya ketika dikonsumsi satu sendok makan sehari, melainkan dalam jumlah lebih dan frekuensi lebih sering. “Ini adalah contoh yang betul-betul nyata betapa komunitas kesehatan telah menang,” ujar Caulfield. “Jujur aja lah, emang gitu kok nyatanya.” Pesan-pesan ini juga dapat menunjukkan contoh-contoh yang lebih serius. Caulfield berpikir bahwa gerakan anti-vaksin memiliki akar di gerakan kesehatan lahir batin, karena kepercayaan bahwa ada unsur yang tidak “alami” dalam vaksin.
Pada waktu yang sama makalah AHA keluar, saya sedang mencoba produk perawatan wajah yang saya lihat di Instagram, namanya Primally Pure. Di laman beranda situsweb mereka, ada penjelasan: “Alam Lebih Pintar Daripada Sains.” Awalnya, saya merasa pernyataan itu lucu bukan main. Eh, tapi juga depresif. Frase ini adalah bentrokan ideologi yang membuat saya resah akhir-akhir ini. Komunitas kesehatan mengklaim diri sendiri “alami” dan segala hal di luar itu sebagai “tidak alami”—termasuk sains, yang saya anggap sebagai penjelasan alam. Setelah membaca tagline itu, dengan segala urusan minyak kelapa, komunitas kesehatan jadi kehilangan pesonanya di mata saya. “Saya enggak merasa ada dua sisi,” ujar Caulfield. “Saya rasa itu adalah dikotomi keliru yang dikooptasi industri kesehatan. Hampir setiap orang ilmiah yang saya pernah kerja bareng setuju dengan ide pencegahan, dan promosi kesehatan. Itu bukan kerjaannya komunitas kesehatan. Mereka enggak bisa mematenkan ide itu. Tapi mereka memang jago ngaku-ngaku, dan menciptakan dikotomi keliru ini, dan itulah salah satu alat pemasaran yang paling efektif yang mereka pernah gunakan.” Bagaimana saya, seseorang yang mengadvokasikan praktik-praktik berdasarkan bukti, bisa terjerat dalam ilusi seperti itu? Masalahnya dengan komunitas kesehatan, sebagaimana diungkapkan Bee Wilson dalam artikel Guardiannya, “Why We Fell For Clean Eating,” adalah pada akarnya, itu semua terdengar benar. Tidak ada dikotomi antara “kealamian” dan sains, tapi memang betul bahwa dokter-dokter kita kurang terlatih dalam hal gizi. Frank Hu, profesor gizi dan epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health, yang melakukan penelitian soal diet, nutrisi, dan gaya hidup serta pencegahan penyakit kronis, berkata bahwa ada kebutuhan “mendesak” agar gizi diintegrasikan dalam kurikulum kedokteran dan pelatihan kesehatan profesional. Dia berpikir ada gerakan yang menggabungkan keduanya, tapi masih dalam tahapan awal. Tanpa itu, publik hanya terpapar pada rekomendasi pola makan yang membingungkan dan laporan media yang bilang bahwa wine baik untuk kesehatan pada hari Selasa dan membunuhmu pada hari Kamis. “Judul berita sensasional mungkin membuatnya terlihat seakan-akan sains gizi tidak ajeg, sampai-sampai pakar gizi tidak tahu sedang ngomongin apa,” ujarnya. “Ini tidak tepat; prinsip dasar pola makan sehat sudah lumayan jelas dan ada konsensus soal prinsip-prinsip itu. Pola makan sehat biasanya mencakup makanan berbasis tumbuhan yang diproses seminimal mungkin, seperti buah dan sayuran, kacang, biji-bijian, dan produk hewani, terutama seafood, dan unggas, dan sedikit daging merah.” Hu bilang, kita bisa mencapai pola makan sehat dengan berbagai cara. Dalam laporan ilmiah pada 2015 oleh Dietary Guidelines Advisory Committee yang turut disusun Hu, mereka merekomendasikan beberapa pola makan sehat termasuk vegetarian, vegan, atau bagi seseorang yang mengonsumsi produk hewani secara moderat. Bukan kah ini yang selalu dipromosikan komunitas kesehatan? Ya, enggak juga. Ramuan kesehatan dan tips-tips kesehatan serta gaya hidup yang dipromosikan komunitas ini tak sekadar soal makan tumbuhan. Mungkin, tips-tips yang paling sering kita dengar datang dari situsweb Gwyneth Paltrow, Goop. Goop telah membuat klaim-klaim keliru bahwa culi dapat menyebabkan kanker payudara, bahwa virus-virus Epstein-Barr menyebabkan 95 persen kondisi tiroid, bahwa tampon berbahaya, atau disengat lebah secara sengaja bisa menjadi perawatan kecantikan. Produk terbaru mereka adalah telur giok. “Ini adalah rahasia bangsawan Cina,” yang katanya “memanfaatkan kekuatan energi, penyembuhan kristal, dan latihan fisik seperti Kegel. Para penggemar bilang penggunaan rutin dapat meningkatkan chi, orgasme, otot vagina, keseimbangan hormon, dan energi feminin secara umum.” Goop bilang bahwa “telur-telur giok ini memiliki kekuatan untuk membersihkan, sehingga cocok untuk detoks,” dan menjualnya seharga $66. Jen Gunter, seorang OB/GYN dan dokter obat-obatan nyeri, memiliki sikap yang berlawanan dari produk dan praktik yang dipromosikan Goop. Sebagaimana dia tulis saat menanggapi postingan soal telur giok: “Latihan senam lantai untuk pelvis bisa membantu mengatasi kurangnya kontrol saluran kemih dan bahkan bisa memerkuat orgasme bagi sebagian perempuan, tapi hal tersebut tidak bisa mengubah hormon. Nah, apalagi soal energi perempuan? Saya seorang ginekolog dan saya bahkan enggak tahu itu apaan!” Dia juga bilang bahwa giok memiliki pori-pori sehingga dapat menjadi tempat bernaung bakteri dan menjadi faktor risiko atas bakteri vagina atau bahwa toxic shock syndrome. Otot pelvis bukan dimaksudkan untuk berkontraksi terus menerus, dan dia pernah merawat pasien yang melakukan latihan Kegel secara tidak tepat dan justru mengarah pada nyeri di bagian pelvis dan nyeri saat berhubungan seks. Tapi, Goop masih berhasil menjual habis telur-telur giok itu. Saat saya mendengar soal telur giok ini, saya benar-benar mencoba memisahkannya dari komunitas kesehatan yang saya ikuti di internet. Tapi Goop juga mempromosikan produk-produk yang membuat saya sulit enggak risih: jamur adaptogenik, seperti reishi dan kordisep, suplemen super seperti “spirit dust,” atau “moon dust,” diet alkalin, detoks, dan kopi super. Suplemen dan diet ini tidak didukung bukti atau penelitian ilmiah, karena mereka “alami,” dan digadang-gadang dapat menyembuhkan segala. “Saya rasa kita semua perlu lebih waspada soal klaim-klaim seperti ini dan manfaat kesehatan dari suplemen ini,” ujar Hu. “Buktinya sangat jarang dan pada umumnya seakan-akan setiap orang percaya manfaat dari suplemen atau rempah yang mereka konsumsi, alih-alih bukti saintifik yang objektif dan telah melalui proses peer review. Sebagian suplemen ini terkontaminasi dengan kandungan tidak murni, kandungan berbahaya. Suplemen ini tidak diregulasi FDA, dan meski saya senang minum teh jahe saat perut sedang aneh, ramuan-ramuan dan minyak lainnya yang dijual di pasaran cenderung ora jelas. Sulit mengetahui takaran tiap kandungan atau campuran kimiawi di dalamnya. James Loomis, dokter internis di Washington DC, tidak merekomendasikan segala jenis suplemen herbal untuk pasiennya. Saya ngajak dia ngobrol dia karena dia bekerja di Barnard Medical Center, yang menggabungkan nutrisi dan pencegahan penyakit. Saya pikir, kalaupun ada pihak yang menyarankan suplemen seperti itu secara bertanggung jawab, itulah dirinya. Dia mengadvokasi pola makan berbasis tumbuhan secara serius setelah menjadi vegan pada 2011, turun 60 pound, dan menyaksikan kesehatan dirinya meningkat. Dia memberikan B-12 pada pasien vegan dan secara rutin mengawasi tingkat Vitamin D. “Sisanya, enggak pernah saya suruh minum suplemen herbal apapun,” ujarnya. Caulfield bilang masalah pada menjadikan kesehatan sebuah gaya hidup alih-alih diet sederhana adalah, hal tersebut menjadikannya sulit diakses. Kalau kesehatan berarti membeli lebih banyak apel dan bayam tiap minggu, maka itu bagus. Tapi kalau kita jadi harus beli moon dust dan menghabiskan seribu dolar seminggu di Whole Foods, ya jelas lah sulit dijangkau. “Saya jengkel bukan main bahwa industri kesehatan ini mengandalkan informasi soal cara hidup sehat, untuk meraup keuntungan,” ujarnya. “Saya rasa pesan mereka membuat rancu kebenaran sederhana soal bagaimana kita bisa memiliki gaya hidup sehat. Penelitian telah menunjukkan bahwa mempromosikan makanan organik dan meningkatkan rasa takut soal pestisida menyebabkan orang-orang dari keluarga berpenghasilan rendah enggan mengonsumsi buah dan sayuran. Itu adalah hasil yang buruk, dan itulah hasil dari komunitas kesehatan.” Dia berpikir bahwa Paltrow, yang pada intinya hanya mempromosikan gaya hidup sehat, mengaburkan pesan umumnya karena kebanyakan menggunakan embel-embel pseudosains, dan seringkali harganya mahal. “Enggak ada rahasia gitu-gituan,” ujarnya. “Intinya mah kamu jangan ngerokok, harus rajin olah raga, makan banyak buah dan sayuran, tidur cukup, berat badan seimbang, dan kamu sayang sama seseorang. Gitu aja. Seseorang bisa saja membungkus prinsip ini secantik mungkin, dan itulah yang dilakukan industri kesehatan. Tapi hanya karena kamu enggak setuju dengan pseudosains, bukan berarti kamu enggak setuju dengan pencegahan penyakit yang berlandaskan fakta, dan kebenaran.”
Jadi apa yang sebaiknya dilakukan seseorang yang menggemari tumbuhan? Terlepas dari segala perasaan saya, saya enggak mau ngeunfollow akun-akun kesehatan di Instagram. Saya masih menikmati resep-resep dan foto makanan yang mereka posting, dan merasakan antusiasme dan dukungan terhadap pola makan sehat. Jawabannya bukan diet atau gaya hidup lain, melainkan perubahan besar di industri makanan. “Sistem makanan kita perlu banget reformasi,” ujar Wilson dalam artikelnya di Guardian. “Ada bahaya bahwa, dalam memerangi omong kosong clean eating, kita akhirnya tampak seperti orang yang mentolerir pasokan makanan komersil yang gagal menyediakan nutrisi bagi tubuh. Mantan orthoreksik Edward L Yuen berargumen—dalam bukunya Beating Orthorexia—bahwa petuah bijak “semuanya yang sedang-sedang saja” tidak lagi bijak dalam lingkungan makanan di mana cara seperti itu tetap tidak menghindarkan kita dari penyakit kronis.” Adiksi kesehatan yang saya miliki bukan berarti saya menutup mata pada fakta-fakta seperti itu. Tapi, saya hanya mendoakan yang terbaik bagi segala makanan—kecuali mie zucchini hiii ga enak. Sampai saat itu tiba, saya mengakui bahwa dunia kesehatan pada dasarnya adalah fantasi. Atau, sebagaimana disebut Wilson, “sebuah respon disfungsional pada pasokan makanan yang lebih disfungsional lagi: mimpi akan kemurnian di dunia yang penuh racun.”

Iklan