FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Sampai Kapan Suporter Indonesia Harus Bertaruh Nyawa di Stadion?

Kematian Catur Juliantoro di Bekasi menambah panjang daftar korban sia-sia. Sepanjang 1995 hingga 2017, total pecinta sepakbola meregang nyawa di tribun mencapai 55 orang.
Sepanjang 1995 hingga 2017, total pecinta sepakbola meregang nyawa di tribun mencapai 55 orang
Petugas menyemprotkan air ke tribun suporter Semen Padang. Foto dari arsip: Irfan Cort/Wikimedia Commons.

Takbir Idul Adha masih berkumandang sore itu, ketika Haikal dan dua orang saudaranya Taufik dan Catur Juliantono berangkat menuju Stadion Patriot Candrabhaga Bekasi demi menyaksikan laga persahabatan antara timnas sepakbola Indonesia melawan Fiji.

Hari itu adalah pertama kalinya bagi Haikal menonton pertandingan sepakbola secara langsung. Dengan menyewa taksi online, ketiga bersaudara itu meluncur dari rumah mereka di Jakarta Timur. Mereka tak membawa tiket, karena yakin banyak calo yang menjualnya di sekitaran stadion. Pemikiran mereka tidak keliru. Sesampainya di stadion, tiket dari calo mudah mereka kantongi. Ketiganya sepakat memilih tribun timur.

Iklan

Jalannya pertandingan cukup tertib tanpa ada insiden terjadi. Menjelang berakhirnya pertandingan, tiba-tiba dari arah selatan sebuah suar meluncur dari tribun selatan menuju tempat duduk mereka. Suar tersebut lewat di atas kepala Haikal dan tepat mengenai wajah Catur yang duduk disampingnya. Catur langsung pingsan.

"Petasan itu lewat di depan kepala saya, saya kaget dan ternyata kena Bang Catur. Kami pun berhamburan dan para suporter Indonesia lainnya langsung menolong Bang Catur dengan menyiramkan kepalanya dengan air karena terkena petasan," kata Haikal yang masih berusia 13 tahun dikutip Bolasport.com.

Catur yang tak sadarkan diri langsung dibawa menuju ambulans yang siaga di depan stadion. Dalam perjalanan menuju RS Mitra Keluarga, Bekasi, nyawa Catur tak tertolong.

Insiden yang menewaskan Catur menambah cipratan noda kelam sepakbola di Indonesia. Setiap suporter seakan harus siap bertaruh nyawa saat mendukung kesebelasan favoritnya bertanding.

Kematian Catur sangat mengejutkan, mengingat masih segar di ingatan saat Bobotoh Ricko Andrean tewas setelah dikeroyok saat pertandingan antara Persib melawan Persija akhir Juli lalu. Ricko yang hendak menyelamatkan salah seorang Jakmania dari keroyokan Bobotoh justru tewas di tangan rekan-rekannya sendiri.

Iklan

NGO Save Our Soccer (SOS) Indonesia mencatat empat orang suporter tewas sepanjang tahun ini. Sementara 51 suporter tewas sejak 1995 hingga 2016. Total, ditambah insiden empat kematian suporter sepanjang 2017, maka total penggemar sepakbola yang meregang nyawa di Indonesia mencapai 55 orang.

Penyebabnya beragam, terbanyak adalah pengeroyokan dengan jumlah korban 13 orang, diikuti oleh penusukan dengan 12 korban dan pemukulan dengan benda tumpul sebanyak 11 korban. Sisanya disebabkan oleh hal lain. Angka tersebut bisa jadi lebih tinggi mengingat beberapa insiden yang tak terekam.

Menurut koordinator SOS Akmal Marhali, sudah saatnya Indonesia memiliki regulasi yang khusus mengatur suporter. Menurutnya dengan mencontoh Football Spectator Act (FSA) di Inggris, fanatisme berlebih yang dapat berujung pada bentrokan bisa diredam.

Namun tak selamanya sepakbola hanya melulu soal fanatisme. Kita tahu bahwa pengadaan pertandingan masih jauh dari kata baik. Indikatornya calo tiket masih terus berkeliaran saban pertandingan digelar.

"Persoalan utama adalah buruknya prosedur dan manajemen pertandingan," ujar Fajar Junaedi, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang meneliti komunitas suporter Bondo Nekat (Bonek) di Surabaya. "Baik panitia pelaksana maupun pihak keamanan sepertinya tidak mematuhi regulasi. Ini telah menjadi permasalahan utama sejak dulu."

Iklan

Menurut Fajar, pihak keamanan tidak bertugas secara maksimal dengan tidak melakukan pengawasan ketat mulai dari pintu masuk hingga berakhirnya pertandingan.

"Secara peraturan misalnya, ada yang mengatur soal larangan membawa petasan atau flare. Tapi kenyataan di lapangan tidak ada kedisplinan. Polisi lebih asyik melihat pertandingan dibandingkan menjaga ketertiban."

Kepala hubungan media dan promosi digital PSSI Gatot Widakdo membantah tudingan Fajar soal kelengahan polisi. Dia menjamin prosedur keamanan pertandingan Indonesia Super League maupun laga tim nasional sudah menggunakan standar FIFA dan Asian Football Confederation (AFC). Namun menurutnya selalu ada faktor kelalaian manusia yang terus terjadi.

"Dua minggu sebelum pertandingan kami sudah menggelar briefing dengan pihak keamanan internal dan kepolisian. Kita sudah melakukan pengamanan berlapis," ujar Gatot. "Sulit untuk menjaga dan mengontrol secara penuh. Celah masuk itu ada saja."

Demi mencegah jatuhnya korban jiwa lagi di bangku suporter, PSSI mengklaim segera akan meneken kesepakatan (MoU) dengan kepolisian demi meningkatkan pengawasan suporter.


Baca laporan lain VICE tentang sepakbola di Indonesia:

Sepakbola adalah salah satu olahraga terfavorit di Indonesia. Ironisnya, menurut Fajar, stadion sepakbola tak pernah menjadi tempat bagi keluarga untuk menikmati pertandingan secara langsung. Faktor keamanan dan pengalaman buruk terkait suporter menjadi alasan utama.

Iklan

"Tolok ukurnya gampang. Jika menonton pertandingan secara langsung itu ramah anak, maka ia juga ramah keluarga. Tapi faktanya selama ini menonton pertandingan secara langsung masih jauh dari kesan ramah anak. Nyanyian atau yel-yel bernada rasisme atau provokatif masih terus terdengar," ujar Fajar yang belum lama ini menerbitkan buku Merayakan Sepakbola.

Fajar tak menyalahkan fanatisme dalam sepakbola sebagai pemicu kekerasan dan kematian suporter. Menurutnya fanatisme dalam sepak bola ibarat siang dan malam, alias tidak bisa dipisahkan.

"Fanatisme hanyalah alasan kedua mengapa menonton sepak bola di Indonesia tidak menjadi hal favorit keluarga," ujar Fajar. "Alasan pertama adalah buruknya tata kelola pertandingan."

Sejauh pengamatan Fajar, fanatisme dalam sepakbola dijadikan alasan rivalitas di luar lapangan untuk menutupi kelemahan di sektor tata kelola. Padahal menurut Fajar, Indonesia tidak memiliki alasan ideologi, sejarah, politik, dan kelas yang dapat menjadi pemicu bentrokan antar suporter.

"Di Indonesia konflik kecil menjadi besar dan turun temurun. Di Spanyol separatisme Catalan dan perang sipil di masa jenderal Franco seharusnya membuat suporter Barcelona dan Real Madrid terlibat bentrok, tapi kenyataannya tidak," kata Fajar. "Rivalitas tersebut hanya ada di lapangan hijau ketika pertandingan dikelola dengan baik."