Kematian Kobe Bryant Amat Memukul Rakyat Filipina, Negara Paling Gila Basket di Asia
Bocah yang hendak latihan basket di perkampungan Manila melewati tembok yang dihiasi mural mendiang legenda NBA Kobe Bryant. Foto oleh Maria Tan/AFP. 
Views My Own

Kematian Kobe Bryant Amat Memukul Rakyat Filipina, Negara Paling Gila Basket di Asia

Kontributor VICE menyatakan buat jutaan orang di Filipina, Kobe sudah dianggap seperti sahabat, bukan sekadar idola. Banyak ortu di negara itu sampai menamai anak mereka Kobe.

Terakhir kali aku menangis gara-gara pertandingan basket adalah pada 2004.

Saat itu pertengahan Juni, Los Angeles Lakers dikalahkan oleh Detroit Pistons di final NBA, dengan skor 4-1 dalam format tujuh pertandingan kandang-tandang. Bagi banyak orang, itu salah satu hasil final paling mengejutkan dalam sejarah kompetisi basket terpopuler sedunia. Kala itu usiaku 11 tahun, dan aku berada di kamar orang tuaku menyaksikan pertandingan game ke-5 dari televisi yang gambarnya bolak-balik buram. Aku frustrasi. Pistons unggul terus, sementara Lakers tak menunjukkan tanda-tanda bisa membalikkan keadaan.

Iklan

Karena gambar buram, aku berulang kali harus keluar rumah untuk memperbaiki posisi antena, supaya gambar di layar TV jadi lebih jernih. Sesekali, sambil memutar tiang antena, aku berharap skor berubah. Sayang harapanku tak terwujud. Saban gambar jadi lebih jernih, yang nampak di layar adalah Pistons sukses menjaga selisih skor sebanyak 10 hingga 15 poin. Setelah beberapa kali keluar masuk kamar gara-gara antena busuk itu, mataku mulai basah.

Tangis itu jadi rasa sakit yang menusuk hati, ketika di layar kulihat Kobe Bryant, pemain NBA favoritku, hanya bisa terduduk diam di bangku pinggir lapangan saat para pemain Pistons merayakan kemenangan. Aku pernah melihat Lakers kalah sebelumnya, tapi tidak semenyakitkan final 2004. Pertandingan tersebut membuatku menyadari kalau semua hal di dunia ini fana, termasuk kemampuan klub basket terbaik di dunia kala itu terus mempertahankan prestasinya.

Kobe, sehebat apapun dirinya sebagai atlet, masih bisa kalah. Dia cuma manusia biasa. Ayah melihatku menangis sesenggukan gara-gara pertandingan basket. Dia geleng-geleng kepala, tak bisa memahami apa yang membuatku bersedih. Dia bilang, seharusnya aku menangis kalau dapat nilai jelek saat ulangan di sekolah, atau aku jatuh dari sepeda, atau kalah berkelahi sama teman sekelas. Kata ayah, aku tak sepantasnya menangis gara-gara sebuah pertandingan basket. Hal yang amat sepele buatnya.

"Ngapain menangisi atlet yang bahkan kenal kamu saja tidak," ujarnya ketus. Ayahku benar. Kobe jelas tidak mengenalku, seorang pemuda sebuah kampung nun jauh di Filipina.

Iklan

Aku tidak pernah menyaksikan langsung pertandingan Lakers di Staples Center Los Angeles. Boro-boro bertemu Kobe. Aku tinggal di Cavite, provinsi pelosok Filipina. Saat itu aku baru kelas enam SD. Tapi ayahku keliru untuk satu hal: rasa sakit dalam hatiku, kesedihanku, itu nyata. Bagaimana bisa seseorang yang menghabiskan hidupnya melatih seni memasukkan bola ke dalam keranjang dapat memberi dampak amat besar pada hidup seorang bocah yang berjarak ribuan kilometer jauhnya?

kobe bryant filipinos death

Aku saat masih bocah, di sebelah kiri, menyatakan diri sebagai penggemar Kobe.

Kabar duka yang kudengar di pagi hari, tentang kematian Kobe, mengingatkanku kembali soal kefanaan. Kali ini tentang misteri hidup manusia. Setelah dewasa, aku memutuskan menjadi jurnalis olahraga, dan pindah ke Manila. Tak pernah terbayangkan dalam karirku, aku harus menyadari lebih cepat dari orang lain, bahwa Kobe tewas akibat kecelakaan helikopter bersama putrinya Gianna yang masih 13 tahun, di Calabasas, California.

Berbagai pihak di seluruh dunia mengungkap duka cita mendalam atas kabar mengejutkan ini. Tapi, kurasa tidak berlebihan untuk bilang rakyat Filipina termasuk yang amat terpukul, melebihi banyak negara lain, karena kehilangan Kobe. Duka kami mungkin setara dengan yang dirasakan penggemar Lakers di Los Angeles, yang menyemut di sekitar Staples Center 24 jam terakhir.

Sejak berita itu pertama kali menyebar, semua media massa membahas Kobe. Televisi, radio, media online, bahkan surat kabar menerbitkan edisi khusus di siang hari. Sepanjang Senin (27/1) yang kau dengar di media, serta tempat-tempat nongkrong, adalah diskusi soal Kobe, Kobe, dan Kobe. Atlet-atlet basket di Filipina mengheningkan cipta serta menggelar sesi berkabung khusus untuk mengenang sang superstar NBA itu. Medsos dipenuhi ucapan bela sungkawa serta memori personal tiap orang terhadap sosok Kobe.

Iklan

Mereka yang amat berduka terutama generasi millenial seangkatanku, yang masih terlalu kecil untuk mengenang Michael Jordan, tapi mulai jatuh cinta pada basket di era kejayaan Kobe. Dia amat populer di Filipina. Sepanjang hidupnya, Kobe enam kali menyempatkan berkunjung ke negaraku. Kami cukup beruntung dipedulikan oleh Kobe dan NBA secara umum. Filipina merupakan bangsa Asia paling gila basket. Mampirlah ke kota manapun di Filipina, kalian akan menemukan lapangan basket di pasar, pojok kampung, hingga antah berantah. Dibilang lapangan pun tak layak kadang, karena seringkali yang tersedia cuma tiang dan keranjang tanpa jaring. Anak muda di sini bahkan nekat main basket di pasir pantai. Basket adalah agama terbesar kedua di negaraku, setelah Katolik Roma.

Penduduk Filipina mengenal basket sejak 1910, berkat kehadiran Amerika Serikat yang mengendalikan negara ini setelah menang perang lawan Spanyol di akhir Abad 19. Timnas Filipina sukses meraih perunggu, di ajang Piala Dunia FIBA 1954. Prestasi terbaik timnas basket asal Asia yang belum bisa disamai hingga sekarang, sekalipun Tiongkok dan Korsel 10 tahun terakhir dianggap lebih baik dari Filipina. Penduduk negaraku memang tak dianugerahi tinggi badan yang bisa menyaingi bangsa-bangsa jago basket lainnya. Tapi kalau soal fanatisme dan kecintaan memainkan olahraga ini, kami siap diadu dengan siapapun.

Generasi millenial Filipina, seperti kubilang sebelumnya, tumbuh besar menyembah Kobe, Tim Duncan, atau Dirk Nowitzki. Tiga nama itu begitu agung. Ketiganya sudah pensiun dari dunia basket. Dan salah satu dari mereka kini meninggalkan kita selama-lamanya.

Iklan

Kobe bagi kami amat spesial, karena di akhir 90'an, hanya dia pemain muda yang berani memanggul beban besar meneruskan estafet Jordan dan Chicago Bulls-nya yang amat kesohor. NBA butuh bintang baru. Para pemain muda kala itu enggan dijuluki "Penerus Jordan". Hanya Kobe, bagi kami, yang dengan tegas menyambut tantangan semua pihak. Dia ingin menang dan mencatatkan sejarah. Kobe tak takut menghadapi kegagalan. Ambisi dan kegigihannya sebagai atlet, membuat bangsa kami jatuh cinta. Tak sedikit orang seusiaku, yang sudah menikah, menamai anaknya "Kobe".

Kobe pun menunjukkan gestur kalau dia betulan mencintai budaya Filipina. Dalam satu kunjungan pada 1998, dia mengenakan baju adat motif Barong, yang biasa dipakai lelaki Filipina. Dia berulang kali berkunjung ke negara kami bukan hanya karena NBA memintanya, atau ada deal dengan sponsor. Kobe mengapresiasi kecintaan kami pada basket.

kobe bryant barong philippines

Kobe (kanan) mengenakan baju kain Barong saat menemui Presiden Filipina kala itu Joseph Estrada (kiri) di Istana Negara Manila pada 1998. Foto oleh Alex De La Rosa/AFP.

"Aku selalu menikmati momen berbagi kebahagiaan lewat basket. Jujur, Manila, dibanding semua tempat lain di dunia ini, punya antusiasme yang amat tulus dan besar terhadap olahraga ini. Itulah kenapa aku senang tiap kali sempat berkunjung ke Filipina. Aku senang main basket bersama anak-anak di negara ini. Aku bahagia berada di tengah orang yang punya passion sepertiku," kata Kobe pada 2011, saat kembali mendatangi Manila.

Di luar kehebatannya bermain basket, Kobe juga amat berkesan bagi kami karena kerja kerasnya. Mentalitas "Ular Mamba", meminjam kata-kata Kobe. Dia adalah atlet yang percaya bahwa kerjas keras adalah bagian terpenting untuk meraih kesuksesan. Semua kolega menyebut Kobe bekerja lebih keras dari siapapun justru di luar lapangan. Dia berlatih dribble dan melempar bola hingga tengah malam, menonton video lawan berjam-jam, dan selalu tekun mempelajari taktik.

Iklan

"Aku memang bangun amat pagi dan langsung bekerja keras hingga tengah malam. Tapi aku tidak pernah merasa itu beban. Memang berat, tapi aku merasa kerja keras itulah mimpiku," ujarnya dalam upacara pengunduran dirinya dari basket empat tahun lalu.

Kobe menikmati basket justru bukan sekadar karena dia sukses memenangkan lima cincin juara NBA. Dia mencintai proses melelahkan yang harus dilewati untuk sampai pada kesuksesan tersebut. Etos kerjanya itu yang membuatku bertahan di profesiku sekarang sebagai jurnalis, profesi yang kuanggap mimpi jadi nyata, tapi seringkali menuntut kerja amat berat ini.

kobe philippines

Kobe menemui puluhan bocah di Manila, aat mengunjungi Filipina pada September 2007. Foto oleh Jay Directo/AFP.

Kisah hidup memukau itu yang dia wariskan pada dunia, selama 20 tahun karirnya sebagai atlet basket profesional. Kobe percaya, mengalami kekalahan adalah keindahan tersendiri yang harus dirasakan semua orang yang menekuni satu bidang. Kegagalan justru sarana terbaik menempa karakter seseorang. Aku memang tidak memahaminya pada 2004, ketika menangisi kekalahan Kobe dan Lakers. Saat itu yang kutahu hanya fakta bila kekalahan terasa menyedihkan. Tapi aku paham sekarang. Kalah menang bukan yang utama dalam hidup ini.

Setelah tangisan di depan TV dua dekade lalu, aku akhirnya mewujudkan cita-cita semasa kecil. Aku bisa bertemu Kobe. Sebetulnya tidak bertemu langsung atau sampai mewawancarainya. Kobe mampir ke Manila pada 2013 untuk sebuah acara amal. Aku bersama ribuan orang lain mengerumuni lokasi di luar gedung acara, berharap bisa melihat sosoknya. Harapanku terkabul.

Sekalipun dijaga belasan pengawal, Kobe yang saat itu mengalami cedera tendon mau berjalan kerumunan penggemar. Dia tersenyum dan melambaikan tangan kepada kami, sebelum terpaksa pergi untuk acara lain. Begitulah. Hanya senyum dan lambaian tangan. Itu "pertemuan" pertama dan terakhir antara aku dengannya. Tapi itupun cukup, kurasa. Kobe akan tetap hidup, ketika kami, para penggemarnya, meneruskan etos kerjanya dan kecintaannya yang tiada bertepi pada basket.

Meski begitu, rasa sakit itu masih membekas. Kami, bangsa Filipina, mencintai Kobe karena dia mengajarkan pada kami pentingnya bekerja keras. Bangsa kami mengalami berbagai bermacam pahit-manis dalam hidup, dan Kobe mengingatkan kami untuk merengkuh kehidupan. Selain itu, dia adalah sosok yang menemani jutaan anak muda sepertiku tumbuh dewasa. Kehilangan Kobe, sudah seperti kehilangan sahabat yang amat kau hormati.

Follow Immanuel di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.