Pandemi Corona

BPOM Tegaskan Obat Terapi Covid-19 Baru Dua, Ivermectin Tak Termasuk

Obat cacing itu gencar dipromosikan pejabat macam Luhut Pandjaitan dan Erick Thohir, padahal faedahnya belum terang. Obat darurat terapi Covid-19 yang diizinkan baru remdesivir dan favipiravir.
BPOM Sebut Ivermectin Tak Termasuk Obat Terapi Covid-19 yang sudah diizinkan
Ilustrasi ivermectin yang belakangan diklaim pejabat Indonesia bisa menjadi obat terapi Covid-19. Foto oleh  Rodrigo Urzagasti/picture alliance via Getty Images

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) saat rapat virtual dengan Komisi IX DPR RI menegaskan bahwa masyarakat baiknya lebih mendengar saran ahli dibanding pesan terusan di grup-grup WhatsApp. Pada Selasa (6/7) lalu, Kepala BPOM Penny K. Lukito mengingatkan baru ada dua zat aktif dalam obat yang sudah diizinkan penggunaan daruratnya, untuk dikonsumsi penderita Covid-19. Dua obat itu yakni remdisivir dan favipiravir.

Iklan

Selama ini, obat terapi remdisivir dan favipiravir sudah digunakan untuk pasien Covid-19 dengan gejala tertentu yang dirawat rumah sakit.

“Obat yang sudah mendapatkan EUA [emergency use authorization atau izin penggunaan darurat-red] sebagai obat Covid-19 baru dua, remdesivir dan favipiravir. Tapi, tentu saja, berbagai obat yang juga digunakan sesuai dengan protap [prosedur tetap] yang sudah disetujui organisasi profesi ini kami dampingi untuk percepatan apabila membutuhkan data pemasukan atau data untuk distribusinya,” kata Penny, dilansir Kompas.

Respons BPOM muncul di tengah gosip ramai bahwa obat antiparasit ivermectin bisa menyembuhkan Covid-19. Aslinya, ivermectin adalah obat untuk membasmi cacing dan kutu pada manusia dan hewan. Belakangan obat ini dipromosikan banyak pejabat pemerintah, mulai dari Menteri BUMN Erick Thohir, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menkomarves Luhut Pandjaitan. Akibatnya, harga ivermectin melambung sejak akhir Juni 2021 di berbagai platform marketplace online.

Iklan

Ivermectin, yang fungsi aslinya adalah obat cacing, makin lekat dengan kontroversi, setelah laporan investigasi TEMPO menunjukkan ada upaya lobi-lobi dari PT Harsen Laboratories sebagai produsen ivermectin di Indonesia, kepada beberapa pejabat di Kementerian Pertahanan dan Istana Negara. Lobi itu, menurut TEMPO, bertujuan agar ivermectin disahkan menjadi obat terapi Covid-19.

Dalam pernyataan terpisah, Luhut mengklaimtidak ada yang salah mencoba penggunaan invermectin. Apalagi jika ada peluang bila obat ini dapat meringankan gejala penyakit Covid-19.

"Salahnya apa? Untuk orang yang ringan dikasih [ivermectin]. Artinya saturasi oksigen masih 95 mungkin kurang sedikit dan paru-paru [tidak parah]. Inikan darurat selama itu kepentingan rakyat kita lakukan saja. Dari pada sekarang orang mati gara-gara Covid-19," kata Luhut saat hadir di podcast Deddy Corbuzier.

Di sisi lain, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Bidang Farmasi Keri Lestari menjelaskan, obat yang mengandung remdesivir dan favipiravir akan didistribusikan ke apotek, sehingga bisa diakses masyarakat yang menjalankan isolasi mandiri.

Iklan

“Rantai pasokannya yang awalnya obat antivirus itu diarahkan ke rumah sakit, sekarang juga ke apotek-apotek. Rantai pasokan obat ke apotek bisa segera untuk terpenuhi, jadi masyarakat bisa mendapatkannya,” kata Keri kepada Antaranews. Keri juga mengingatkan bahwa kedua kandungan ini berfungsi sebagai obat terapi, bukan obat definitif yang bisa benar-benar menyembuhkan Covid-19. 

Agar pembaca familier, remdisivir adalah kandungan obat berbentuk serbuk injeksi atau larutan konsentrat untuk infus. Beberapa merek dagang untuk produk injeksi, misalnya Remidia, Cipremi, Desrem, Jubi-R, Covifor, dan Remdac. Sementara produk berbentuk konsentrat misalnya Remeva. Remdisivir biasanya diberikan kepada pasien Covid-19 dewasa dan anak yang mengalami gejala berat di rumah sakit.

Kalau Faviparir biasanya berbentuk tablet, bisa dijumpai dengan merek dagang Avigan, Favipiravir, Favikal, Avifavir, dan Covigon. Obat terapi ini diberikan kepada pasien Covid-19 dengan derajat keparahan sedang yang dikombinasi standar pelayanan kesehatan. Jadi, silakan cek ketersediaan nama-nama merek tersebut di apotek terdekat apabila membutuhkan.

Adapun BPOM, mengikuti panduan WHO, belum merekomendasikan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19. Sikap ini diambil sambil menunggu uji klinis khasiat obat tersebut pasien corona. Namun, tindakan tersebut memancing polemik di lapangan.

Iklan

Direktur Marketing PT Harsen Laboratories yang memproduksi ivermectin dengan merek dagang Ivermex, Riyo Kristian Utomo, mengeluhkan BPOM yang memblokir ivermectin mereka keluar dari pabrik. “BPOM harus berhenti mengintimidasi, kami menyediakan senjata ivermectin melawan Covid. Jangan ada upaya sengaja agar kita kalah. Kita harus menang melawan Covid. Jangan ada yang menghalangi,” ujar Riyo dalam rilis resminya kepada media, dilansir Tempo.

BPOM beralasan penghentian produksi Ivermex karena PT Harsen Laboratories menggunakan bahan baku dan kemasan yang tidak sesuai ketentuan, menyertakan waktu kedaluwarsa tidak sesuai keputusan BPOM, dan memakai jalur distribusi tidak resmi.

Di internet, penggunaan ivermectin sebagai obat terapi juga ditentang kalangan medis. Salah satunya dokter mancanegara yang opininya belakangan sering jadi rujukan masyarakat Indonesia, Faheem Younus. Ia membagikan hasil penelitian bahwa ivermectin tidak bisa melawan virus Covid-19.

Untuk mencegah kenaikan harga yang tak masuk akal pada obat-obat yang sudah dapat izin edar, Sabtu pekan lalu (3/7) Kementerian Kesehatan mengeluarkan keputusan tentang harga eceran tertinggi. “Kita harus tindak tegas orang-orang yang bermain-main dengan angka ini [harga obat]. Kita betul-betul jangan main-main karena ini menyangkut masalah kesehatan,” ujar Menko Marves Luhut Panjaitan, dalam keterangan pers dari Kemenkes yang diterima VICE.