Artikel ini pertama kali tayang di VICE New Zealand.Saat fotografer asal Aucklad Joe Dowling dijambret di Iran, dia kehilangan kartu kredit sehingga tidak bisa mengambil uang dari ATM. Dia dihadapkan pilihan terbatas dan mesti bijaksana menggunakan Rp800.000 sisa uangnya menyeberangi perbatasan ke Irak dan mencari bantuan dari kawan-kawan yang mengajar di sekolah internasional. Dia akhirnya bekerja sebagai pengajar Bahasa Inggris di Kurdistan, daerah otonom khusus di utara Irak. Dari sana, dia melanjutkan proyeknya memotret wilayah Irak yang porak-poranda karena perang.
Iklan
Joe menghubungi pemandu lokal dengan cara tradisional—melalui kontraktor keamanan swasta dan wartawan yang dia temui di bar-bar. Mereka mengantarnya ke garis depan, di mana dia mendokumentasikan langsung situasi aneh selama konflik dengan ISIS. "Berada di tengah-tengah baku tembak mortir dekat Kawasan Mama cukup sulit," ujar Joe. "Para tentara tidak gentar sedikitpun."Saat kembali ke perkotaan, Joe memburu laboratorium foto pinggiran untuk mengembangkan filmnya. Ujung-ujung yang kasar dan goresan pada cetakan foto menggambarkan realitas Irak, negara yang sumber dayanya amat terbatas akibat konflik tiada akhir. "Menjelang akhir kunjungan saya di Erbil, prosesnya menjadi cukup jelek," ujar Joe. "Saya tidak yakin kawan-kawan lab foto di dekat bazar Qaysari mengolah cairan kimia fotonya selama saya di sini."
Tayangan VICELAND, The Road to Mosul menjelajahi area-area sama yang tak mengenal istirahat. Fotografer kami melekat dengan relawan pasukan Pershmerga. Bersama Joe, jurnalis VICE Aris Roussinos menceritakan kenapa terjadi kebuntuan dalam perang melawan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) di Mosul, Irak.Dua setengah tahun setelah ISIS mengambil kekuasaan atas kota terbesar kedua Irak, Mosul tetap menjadi medan perang. Terlepas dari serangan yang didukung AS pada Oktober 2016, pasukan Irak dan Kurdi sejauh ini gagal mengambil kembali kekuasaan. Diperkirakan 750.000 warga sipil masih terjebak di Mosul barat. Lembaga swadaya Save the Children memberi peringatan atas krisis kemanusiaan yang kemungkinan terus berlanjut di wilayah Irak yang dikuasai ISIS.
Iklan
Jadi, setelah meninggalkan Irak selama setahun, bagaimana Joe melihat masa depan negara itu? "Itu adalah pertanyaan yang betul-betul rumit," ujarnya. Terutama mengingat perkembangan geopolitik akhir-akhir ini di Timur Tengah, misalnya keterlibatan Rusia di Suriah. Joe masih mencoba optimis. Perhatian dunia internasional sekarang lebih mengarah ke perang saudara Suriah, bukan orang-orang Kurdi di utara Irak yang berjuang mengusir ISIS. Orang-orang yang dia temui selama di Irak punya daya hidup luar biasa. "Tapi saya engga yakin mayoritas politikus—dalam maupun luar negeri—memedulikan kepentingan Irak," ujarnya. "Ya, saya hanya bisa berharap."