Gaya hidup Blue Zone
Foto Wikimedia Commons

FYI.

This story is over 5 years old.

gaya hidup

Fenomena Kota Blue Zone Buktikan Hidup Woles Adalah Kunci Umur Panjang

Meski manjur di kawasan blue zone, kiat hidup panjang umur ini tak bisa mentah-mentah ditiru oleh kaum urban di negara lain.

Jika ada di tempat di planet ini yang memiliki air terjun keabadian, yang tak kekurangan pasokan cahaya matahari dan penduduk lanjut usianya masih berjalan tegap bak anak muda, kalian bakal membayangkan tempat ini seperti apa?

Orang Spanyol menemukan tempat macam ini di Bimini; Herodotus dari Yunani menyangka penduduk Macrobian—sebuah kerajaan legendaris di Afrika—tahu rahasia panjang umur, dan Injil kerap menyebut kemujaraban Kolam Bethesda. Padahal, pada kenyataannya, ada beberapa tempat di bumi ini yang dijuluki “Blue Zone.” Penduduk blue zone konon bisa hidup sehat hingga melewati umur 100 tahun. Nah, penasaran kan apa penyebabnya?

Iklan

Istilah ‘blue zone’ diciptakan oleh Dan Buettner, seorang penulis dan kontributor National Geographic. Kendati perdebatan tentang daerah mana yang boleh diklasifikasikan sebagai blue zone dan mana yang tidak masih ramai (tak seperti perdebatan tentang status pluto sebagai planet yang sudah beres), sejauh ini lokasi yang dianggap sebagai Blue Zone mencakup Loma Linda di California, Kepulauan Okinawa, Jepang, Sardinia di Icaria—terletak di lepas pantai Yunani dan Semenanjung Nicoya di Kosta Rika.

Blue-Zones-Diet-1-of-4

Pantai Sardinia yang masih indah dan perawan. Photo: Michael Gwyther-Jones, via Flickr

Semua tempat yang disebutkan di atas memiliki beberapa persamaan mendasar: penduduknya rajin makan sayuran, jarang mengonsumsi alkohol, tidak merokok dan rajin berolahraga ringan saban pagi. Akan tetapi, ada faktor yang ditengarai punya andil dalam tingginya angka harapan hidup di wilayah-wilayah tersebut seperti pancaran sinar matahari yang konstan, hobi berkebun penduduknya dan sistem masyarakat yang cenderung matriarkal.

“Blue Zone itu fenomena betulan,” jelas Timoty Spector, profesor epidemiologi di King’s College, London, dan penulis buku The Diet Myth. “Meski dalam sejumlah konteks ada yang dilebih-lebihkan, tempat-tempat itu benar-benar ada.”

Saat Buettner pertama kali mengidentifikasi blue zone di bukunya, dia menyoroti pentingnya pola makan semi-vegetarian (atau flexitarian) yang mengandalkan tumbuhan polong seperti kacang-kacangan dan lentil serta “kedekatan dengan kehidupan sosial yang kekeluargaan dan relijius.” Professor Spector lebih jauh menjelaskan bahwa, “Penduduk berusia 80 tahun atau 90 tahun di wilayah ini sering kali terlihat berada di luar rumah cukup lama. Itu bukan pemandangan aneh di kawasan-kawasan ini. Mereka bisa keluar makan siang yang dipungkasi dengan minum-minum di sebagian Blue Zone. Makanan dan nongkrong dianggap penting dan orang-orang sangat taat menjalankan budayanya, apalagi di Sardinia. Di sana kamu bisa menemukan penduduk baya di kafe, bar dan restoran tengah makan bareng.”

Iklan

Baiklah, ternyata ada keuntungan lain berlama-lama di restoran, selain dapat Wi-fi gratis.

Blue-Zones-Diet-2-of-4

Okinawa sejak dulu dikenal sebagai tempat dengan angka harapan hidup yang sangat tinggi selama bertahun-tahun. Foto via Wikimedia Commons

“Penduduk di Blue Zone lebih sering tinggal dengan anak dan cucunya agar bisa terus diperhatikan, alih-alih tinggal di panti jompo. Itu artinya mereka punya semacam jaringan teman dan kerabat yang memasak makanan untuk mereka dan menemani mereka saat menyantapnya. Jadi, mereka tak harus makan masakan yang dihangatkan lewat microwave dan hidup terisolasi,” jelas Profesor Spector. Di samping berumur sangat panjang, penduduk di kawasan Blue Zone kebanyakan masih tetap bugar di umur yang tak lagi muda. Bayangkan, ada berapa banyak penduduk lanjut usia yang bisa leluasa jalan-jalan keluar rumah, makan malam bareng temannya dan bergerak dengan gesit di sekitar kita?

Tentu saja, sejak dibahas dalam buku Buettner, blue zone telah jadi bahan fetisisasi dan komersialisasi. Beberapa orang mengatakan bahwa Blue Zone sejatinya cuma kebetulan semata. Namun, sampai tulisan ini diturunkan terdapat hampir 70 buku “diet blue zone yang dijual di Amazon (sebagian ditulis oleh Buttner juga), sebuah klinik kesehatan bernama blue zone dan entah berapa banyak pakar yang diundang oleh TV untuk ngomong betapa pentingnya hidup mendekati gaya hidup orang di Blue Zone. Chane bahkan mengeluarkan sebuah “Blue Serum” (harganya Rp1,4 juta jika berminat). Dalam klaim mereka, chane mengaku berhasil “mengenali kesamaan kebiasaan orang berusia lebih dari 100 tahun dengan mereka yang kulitnya awet muda dalam waktu yang lama.”

Iklan
Blue-Zones-Diet-3-of-4

Cagliari. Foto via Wikimedia Commons

Lantas, apa ini artinya kita harus diet makan minyak zaitun dan burrate, kembali nebeng tinggal di rumah ortu dan mendadak jadi relijius lagi? Tak harus seperti itu sih. “Kalian tak bisa pilih-pilih kebiasaan sehari-hari penduduk di blue zone seperti cuma mempraktekan makan tumbuhan polong dan hidup dengan keluarga. Bukan begitu caranya. Begini, ada sejumlah kelompok yang sama-sama memiliki gaya seperti ini, tapi umur mereka toh tak panjang-panjang amat—kalian tak boleh mengambil aspek-aspek tertentu dan melepaskannya dari konteks di Blue Zone,” tegas Spector. Plus, yang penting bukan pola makannya tapi bagaimana tubuh kita merespon pola makan tersebut.

‘Diet Blue Zones’, jika memang benar-benar ada, sepertinya bukan tentang menyantap makanan sehat semata sebab semua diet yang baik pada dasarnya seperti itu, melainkan menyantap makanan sehat yang sesuai dengan fingerprint sistem pencernaan kita. “Dalam masalah diet, sebenarnya tak ada banyak perbedaan. Warga Okinawa, misalnya, banyak makan nasi putih dan ketela yang jika dilihat sebenarnya kaya sekali dengan tepung dan karbohidrat, pola makan seperti ini berhasil bagi mereka, makanya kita tak boleh mengadopsi elemen kehidupan di blue zone secara terpisah.”

Blue-Zones-Diet-4-of-4

Agios Kirykos, kota utama di Icaria. Foto via Wikimedia Commons

Yang bisa kita lakukan adalah mencatat aspek-aspek utama dalam kehidupan sehari-hari di kawasan Blue Zone. Sejumlah aspek mutlak bisa kita tiru, seperti rajin berolah raga, menjauhi rokok dan konsumsi alkohol dalam jumlah sedang. Sebaliknya, kita tak bisa mencontek begitu saja pola makan di kawasan Blue Zone karena sangat variatif. Jadi, barangkali yang bisa kita tiru adalah kebiasaan makan bersama keluarga, menjadi anggota komunitas, menghindari stres dan memprioritaskan tidur serta istirahat,

“Jangan belanja di supermarket; beli hasil panenan lokal dan konsumsi apapun yang sedang musim,” kata Profesor Spector. “Cobalah hal-hal baru, mungkin menjajal satu makanan baru saban minggu. Konsumsi makanan hasil fermentasi seperti kimchi dan keju kambing non-pasteurisasi. Kuncinya memang ada pada keragaman—orang di kawasan Blue Zone tak pergi ke supermarket tapi belanja banyak makanan olahan yang bisa disimpan dalam waktu lama. Sekali lagi, yang penting adalah keragaman.”

Blue zone dengan gaya hidup penduduknya yang woles, pola makan yang bertumpu produk pertanian dan peternakan lokal serta sistem kekeluargaan yang erat punya kesan romantik sekaligus asing bagi kaum urban. Makanya, adalah sebuah tindakan konyol jika kita mengadopsi mentah-mentah pola hidup penduduk blue zone. Tapi, setidaknya kita bisa memanfaatkannya sebagai pengingat untuk hidup jauh lebih woles.

Artikel ini pertama kali tayang di Amuse—situs bagian dari VICE.com membahas travelling dan gaya hidup lintas negara