Album Terbaik Deerhunter
Ilustrasi oleh tim Noisey

FYI.

This story is over 5 years old.

Rank Your Records

Bradford Cox, Pahlawan Rock Masa Kini, Membuat Peringkat Album Deerhunter Favoritnya

Menjelang rilisnya LP ke-7 Deerhunter, Cox menilik ulang katalog karya bandnya selama ini—sebuah proses perenungan yang dia sebut mirip suasana wawancara saat mengajukan visa ke negara asing.

Dalam Rank Your Records, kami mengajak para musisi mengevaluasi karya mereka sendiri setelah rentang karir panjang, serta mendorong mereka menilai kedekatan personal dengan album-album tertentu yang pernah mereka hasilkan.


Bradford Cox pernah merilis sebuah album yang niatnya membahas betapa ingatan manusia tidak bisa dipercaya. Sentimen ini terpampang sepanjang album Deerhunter yang rilis pada 2010, Halcyon Digest. Tema utama tersebut sekilas menyiratkan bahwa album ini akan berisi kumpulan lagu tentang ingatan dari masa-masa indah yang sudah lewat. Nyatanya, enggak tuh. Album ini terdengar sama seperti rilisan Deerhunter lain, tak bosan-bosannya menceritakan kesakitan, kematian, perilaku tidak senonoh, dan pengucilan diri.

Iklan

"Kenyataan tidak pernah semanis yang kamu ingat," kata Cox. "Kita semua mencerna, menyusun, dan menyatukan ingatan sesuai keinginan. Bagian-bagian yang buruk kita buang."

Deerhunter dibentuk di Kota Atlanta pada awal dekade 2000'an. Awalnya band ini diniatkan jadi kolaborasi musik punk antara Cox dan teman-temannya. Sempat gonta-ganti personel, formasi inti akhirnya merilis album pertama mereka, Turn It Up Faggot. Cox bersama gitaris Lockett Pundt, selanjutnya dibantu drummer Moses Archuleta dan basis Josh Fauver, mulai dikenal pecinta musik seetelah paruh kedua 2000'an berkat deretan album yang menampilkan ketertarikan Cox pada komposisi avant-garde, mitos-mitos Americana, serta semangat rock ‘n’ roll.

Sejujurnya, ada banyak band yang karakter sound-nya mirip seperti Deerhunter. Bedanya, tidak banyak band memiliki sosok frontman sekarismatik Cox. Lebih sedikit lagi yang sukses menggabungkan musik dramatis dengan penampilan panggung anarkis macam Deerhunter. Melihat para personelnya memeragakan seks di panggung tidak akan terlalu mengejutkan kalau kalian dulu biasa nonton Deerhunter live semasa belum terkenal. Kita hidup dalam era ketika musik rock—atau lebih tepatnya “indie rock”, istilah yang dibenci Cox—terdengar aman dan sopan. Deerhunter memilih bermain di ranah yang berbeda.

Tentunya Deerhunter yang sekarang berbeda dari 10 tahun lalu. Fauver sudah meninggalkan band ini sebelum perilisan album 2013 mereka, Monomania, dan akhirnya meninggal pada 2018 lalu. Di hari ketika saya bertemu Cox, baru beberapa hari sebelumnya dia membacakan eulogi untuk upacara pemakaman Fauver. Kehilangan kawan band seperti itu membuat Cox banyak merenung soal hidup, dan betapa bandnya terus berubah setelah sekian lama berkarir di dunia musik.

Iklan

"Sempat muncul obrolan tentang seberapa rusuh dan menakutkannya acara panggung kami di masa muda dulu," ujarnya. "Sebagian penggemar mengatakan pada saya langsung, bahwa kami sudah melunak dan sold out. Ada orang yang tidak mau meninggalkan masa mudanya, tapi kami memilih mengubur kenangan itu. Saya move on. Saya meninggalkan punk. Saya ingin menjadi orang yang lebih baik dan sehat. Saya sama sekali enggak kangen muntah-muntah darah di panggung."

Pada 18 Januari 2019, Deerhunter akan merilis Why Hasn’t Everything Already Disappeared?, judul album yang lagi-lagi merujuk ke masa lalu. Namun sama seperti Halcyon Digest, album ini justru bersikap skeptis terhadap semua upaya glorifikasi berlebihan masa lalu. Track pembuka "Death in Midsummer" memiliki refrain dramatis, ketika Cox berteriak "There was no time to go back."

Benang merah album ini masih serupa karya-karya Deerhunter sebelumnya. Semangat album ini adalah menoleh ke masa depan. Selain itu, terasa jejak eksperimentasi instrumental dan struktur lagu yang dieksplorasi band ini pada album Fading Frontier (2015). Keputusan ini merupakan langkah berani, karena artinya Deerhunter ingin melewati ranah yang asing, semangat yang sebetulnya sejak lama coba dilakukan band ini tapi sempat tak terjadi ketika mereka merawat formula yang dianggap sukses.

Barangkali karena dia bersemangat mencoba hal baru, ketika kami wawancarai Cox langsung mengkritik konsep kolom Noisey ini yang meminta musisi melihat kembali katalog karyanya sendiri dan harus memilih album favorit.

Iklan

"Saya enggak ngerti kenapa ada musisi yang menikmati melakukan wawancara kayak gini," ujarnya. "Harus bikin peringkat album kita sendiri rasanya seperti proses bikin visa. Diwawancarai oleh aparat imigrasi dan kedutaan tentang seluk beluk kehidupan pribadimu."

Toh nyatanya Cox masih mau kami wawancara. Berikut cuplikannya:

Noisey: Kamu mengirimkan ke kami daftar album Deerhunter pilihanmu sebelum wawancara ini, tapi kok album debut malah enggak ada?
Bradford Cox: Oh iya. Jadi jujur aja nih. Saya enggak sengaja mengirim emailnya. Saya baru pakai komputer baru. Keyboard MacBook yang baru aneh banget. Saya mencet 'enter' tujuannya buat memulai baris baru, terus tiba-tiba hilang semua. Ya udahlah. Album itu pasti akan saya taruh terakhir sih, tapi enggak saya anggep juga. Kami masih enggak paham apa-apa soal musik ketika membuat album itu. Bukan salah engineer-nya atau musisinya. Kami tidak punya cukup waktu untuk bereksperimen di studio saat debut itu.

Personel Deerhunter masih muda banget ya waktu itu.
Kami merekam album pertama dan Cryptograms di tahun yang sama. Bukan berarti penulisan lagu kami tiba-tiba jadi lebih canggih beberapa bulan kemudian. Maksudnya, kami dulu tidak pernah benar-benar nyaman di studio. Saya terbiasa rekaman sendiri. Ketika saya mendengarkan ulang album debut itu, selalu kepikiran gini: kalau saja saya punya waktu satu minggu atau lebih untuk mengubah beberapa hal, mungkin albumnya berada di posisi yang berbeda dalam daftar ini. Ya, saya anggap aja album itu seperti film bikinan anak kuliah. Film tesis yang dibuat semasa kuliah enggak masuk filmografi tiap sutradara hebat toh?

Iklan
1547087512971-5-cryptograms

Ketika Cryptograms dirilis, rasanya kalian mulai menemukan karakter sound-nya Deerhunter ya.
Saya masih benci banget sama karakter vokalnya. Ketika masih muda dan belajar cara rekaman sendiri, saya hanya tahu cara untuk membuat vokal menonjol dalam mix adalah mendorongnya hingga terdistorsi. Teknik kayak gini biasa kamu dengar dalam genre garage rock dan yang sejenis. The Strokes punya sound vokal terdistorsi, seperti difilter lewat sambungan telpon. Saya bukannya pengin mencoba meniru mereka, tapi itulah satu-satunya cara yang saya tahu, lewat teknologi terbatas yang saya punya, agar vokalnya tidak terlalu terbenam dan keruh. Itu satu-satunya isu saya dengan Cryptograms. Saya ingin menghasilkan vokal ala-ala Bowie, tapi malah akhirnya terdengar seperti band post-punk awal 2000an.

Album ini tapi terasa berbeda dibandingkan album debut kalian
Secara instrumentasi dan komposisi, jelas. Kami menggunakan bel, tape loops, dan vocal loops. Kami semakin menjauhi sound post-punk revival menggunakan gitar-bass-drum. Saya selalu tertarik sama karya-karya komposer seperti Stravinsky dan Messaien. Saya ingin menciptakan musik yang lebih atmosferik. [Andrei] Tarkovsky, sutradara terkenal itu, juga berpengaruh besar terhadap selera saya. Dia sering menampilkan adegan-adegan film yang lambat dan jauh. Itulah yang saya coba capai di musik.

Ketika Cryptograms dirilis, kamu kayaknya pernah mengatakan saat diwawancara sebuah majalah, kalau kamu enggak punya misi tertentu saat bermusik dan ngasal doang.
Sampai sekarang juga semangat Deerhunter saat bermusik masih begitu kok. Tidak ada aspirasi tertentu, tidak ada ambisi. Orang-orang yang saya kenal, yang membangun hidupnya berdasarkan rencana jangka panjang, seringkali mengalami kekecewaan. Sulit untuk kecewa ketika kamu enggak tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan.

Iklan

Dalam pembuatan album ini, kabarnya ada situasi-situasi penuh stres yang diwarnai penyakit menghinggapi para personel. Apa sih yang terjadi?
Saya kena flu, tapi memang materi albumnya ditulis berdasarkan pengalaman saya sering sakit ketika masih muda. Saya menghabiskan banyak waktu di rumah sakit ketika masih kecil. Saya merasa inilah yang membedakan album kami, karena ada elemen realita di belakangnya. Bukan sekedar “oh baby, oh girl, let me get with you” ala garage rock. Album kami tidak pernah bernuansa romantis atau seksual. Semua album kami ditulis mengenai topik-topik yang biasanya dijauhi orang dalam industri hiburan.

Contohnya?
Seperti rasa sakit dan anak-anak kecil yang mati. Rasanya kami adalah band queer pertama dalam genre ini. Sekarang realitanya menarik. Sangat mudah untuk band memasarkan dirinya sendiri sebagai queer sekarang.

Apakah aneh rasanya melibat perubahan ini?
Yang aneh adalah melihat bagaimana sebuah budaya populer bisa mudah menerima ide-ide seaneh apapun asalkan sudah diolah lebih dulu ataupun difilter.

Maksudnya gimana tuh?
Maksudnya kultur queer diubah agar masuk dengan selera mereka kemudian mereka membanggakan diri karena telah mengakomodasi hal tersebut. Saya mah selalu blak-blakan. Baca saja wawancara-wawancara lama saya. Saya selalu kena masalah. Yang ironis, saya dulu perjaka, tidak pernah aktif secara seksual. Saya tidak pernah tertarik dengan hubungan asmara atau seksualitas. Ini membuat orang mengatakan, “Oh, dia enggak benar-benar gay.” Tapi saya beneran gay. Orang-orang ingin kamu queer sesuai dengan buku panduan fesyen, dan itu lucu.

Iklan
1547087482756-4-halycon-digest

Banyak situasi kurang menyenangkan terjadi dalam proses pembuatan setiap album kalian. Apakah kondisi serupa terjadi juga saat rekaman album ini?
Oh, ada drama juga dong. Saya belajar untuk tidak bermusuhan dengan produser kami, Ben Allen. Kami punya pandangan yang berbeda tentang proyek ini. Saya merasa tahu apa yang saya lakukan dan sebagai orang yang sukses, dia merasa punya ide-idenya sendiri. Dia memang kompeten, tapi saya tidak mencari teman kolaborasi artistik, jadi kami tidak bisa akrab. Anggota band yang lain terasa menarik diri dari proyek ini karena saya membela kepentingan kami dengan sangat lantang. Dan ketika ada orang yang sangat lantang, ada kesan dialah leader bandnya. Dalam Cryptograms, ketika Josh Fauver masih terlibat di band, kami semua setara. Tidak ada yang namanya leader.

Demokratis banget ya?
Iya. Dan di album Halcyon Digest, ada kesan sayalah yang paling dominan. Kemudian ada juga sedikit kompetisi antara saya dan Ben Allen, perihal sound album. Saya ngotot “Basement Scene” direkam dalam rubanah beneran, atau kalau bisa direkam sama bocah berumur 14 tahun—salah satu anak sound engineernya. Tapi memang, ketika kolaborasi terjadi, biasanya itu menjadi momen puncak karir kami. Lagu Deerhunter favorit saya sepanjang masa ada di album ini: “Desire Lines.”

Itu salah satu lagu favorit saya juga.
Kaget gak kalau saya bilang saya gak terlibat dalam penulisan lagu ini? Saya memainkan bagian gitar lead di bait pertama, tapi Lockett memainkannya ulang di bait kedua karena punya saya enggak sebagus miliknya. Tadinya kami akan berhenti dan merekam albumnya di tempat lain. Terus ya udah, kami bilang, “OK, ayo coba satu lagu lagi.” Kemudian Ben mengatakan, “Boleh gak saya kerjakan yang ini dengan cara saya? Jelas kamu enggak senang dengan kerjaan saya, jadi biarkan saya lakukan satu hal ini tanpa kamu mengawasi dan mengatur-ngatur. Biarkan saya melakukan pekerjaan saya tanpa gangguan.” Ben mengusir saya keluar dari studio. Saya setuju. Saya muter-muter nyetir keliling komplek. Ketika saya kembali, lagu itu menjadi lagu Deerhunter favorit saya.

Iklan

Banyak orang suka lagu-lagunya Lockett lho.
Lockett adalah seorang penulis lagu yang ciamik. Kalau dia menulis lagu seperti saya menulis lagu, album-album kami pasti isinya kebanyakan lagu-lagu dia. Saya tidak pernah menolak lagu buatan dia. Orang sering penasaran kenapa saya menulis mayoritas lagu-lagu Deerhunter, padahal bukan niat saya begitu.

Apakah cara kerjamu sebagai kolaborator dalam bermusik berubah dalam beberapa tahun terakhir?
Iya, semakin melemah. Semua band pasti melemah. Yang terbaik yang bisa kamu lakukan adalah mencoba menjaga inti band menyala. Lockett punya istri dan anak. Saya punya rumah dan anjing. Saya selalu di sini. Moses tinggal di New York, dan dua anggota lainnya tinggal di Athens. Enggak ada waktu. Tidak mungkin untuk berkolaborasi. Tidak akan ada lagi waktu-waktu seperti ketika Josh Fauver mengatakan, “Lagu ini sampah, tapi bridgenya bagus, boleh gak coba main kayak gini?” Itu baru kolaborasi. Enggak ada lagi yang mengkritik saya soalnya saya yang menulis sebagian besar lagu. Semua orang bersikap seakan-akan karya saya tidak boleh dikritik, tapi saya enggak suka sikap ini. Saya ingin orang punya opini yang kuat karena kalau enggak, begitu saya punya opini yang kuat, kesannya saya enggak adil. Josh Fauver enggak pernah segan-segan dengan saya. Saya kangen banget sama dia.

1547087460251-3-fading-frontier

Saya sempet kepikiran menempatkan album ini sebagai karya terbaik Deerhunter. Ini album kami yang paling tidak dihargai. Orang-orang harus menerima kenyataan tersebut. Mereka yang menyebut dirinya sebagai penggemar Deerhunter rata-rata membenci album ini. Semua album kami punya kelemahan, tapi di mata saya, Fading Frontier tidak punya kelemahan. Tidak ada satupun vokal yang ingin saya track ulang, tidak ada satu efekpun yang ingin saya ganti. Tidak ada satupun editan sound yang enggak pas. Siapapun yang enggak suka album ini, tidak punya kapasitas untuk mengaku berhasil keluar dari masa kecil dan konsep kolot mereka tentang seperti apa seharusnya karya musik Deerhunter.

Iklan

Ini album yang sempurna. Seharusnya album ini diterima semua pihak. Seharusnya album ini mendatangkan kami banyak penggemar baru. Lucu deh kalau lihat personel Kings of Leon sangat menyukainya, dibanding anak-anak jebolan sekolah seni yang membencinya. Seakan-akan semua karya saya harus bersifat biner untuk orang-orang. Harus Eksperimental atau Pop, dan jangan mencampur dua-duanya. Album ini paling sukses menggabungkan dua unsur tadi. Tidak ada satupun momen jelek di album ini. Tidak ada satupun lagu yang menurut saya jelek.

“Snakeskin” adalah momen yang aneh dalam karir kami. Saya enggak ingat lagi mikir apa ketika menulis lagu itu. Lagu itu nuansanya jahat. Ketika kami menulis lagu itu, nuansanya menyeramkan. Tapi sekarang orang menganggap lagu itu terdengar seperti “indie rock”—seru, upbeat. Orang-orang itu mikir apa sih… Tapi ya inilah yang harus dihadapi setiap musisi. Yang mereka anggap sebagai karya terbaik mereka, tidak digubris pendengar dan karya yang mereka buat ketika berumur 21, justru didaulat sebagai standar emas oleh semua orang.

Apakah semua keluhanmu tadi risiko dari karir ngeband yang berumur panjang?
Sepertinya sih. Menurut saya kurangnya apresiasi untuk Fading Frontier berhubungan langsung dengan menurunnya rentang perhatian orang, biarpun album ini lumayan singkat—hanya setengah jam durasinya.

1547087431510-2-microcastle

Saya bukan orang yang suka bernostalgia. Tapi saya baru saya ikut menguburkan teman baik, teman yang mewarnai hidup saya selama ngeband. Album ini adalah yang paling mendekati konsep kolaborasi. Dan album ini punya lagu sekuat “Nothing Ever Happened.”

Iklan

Suara bass-nya mendiang Fauver keren banget di album ini.
Tidak ada penggantinya. Dia tipe orang yang langka. Dia bukan hanya seorang pemain bass, tapi juga pribadi yang menyenangkan. Dan dia berhasil menjangkau banyak orang lewat album ini. Saya bukan nostalgik, tapi ada semacam perasaan “kita bisa melakukan apapun” kala itu. Kami sedang di puncak.

Bagi banyak orang, Microcastle adalah album terbaik sepanjang karir Deerhunter.
Iya, saya enggak tahu kenapa orang berpikir begitu. Walaupun saya paham alasannya. Saya tentunya punya album favorit dari band tertentu. Tapi kemudian setelah album-album selanjutnya keluar, saya berpikir, “Hadeh, album itu sampah ternyata.” Mana ada sih musisi yang merilis materi yang mereka anggap sampah?

Tiga tahun lalu saat diwawancara media, kamu mengatakan Microcastle adalah album yang paling jarang kamu ingat-ingat.
Benar sekali.

Apakah rasa engganmu mengingatnya adalah reaksi atas kesuksesan Deerhunter setelah merilis album ini?
Saya tidak menganggapnya sebagai sebuah kesuksesan atau kegagalan. Tapi jujur saja kasus respons publik terhadap Monomania dan Fading Frontier membuat saya terganggu. Sebagian penggemar mungkin mengatakan, “Karirmu sedang menurun kalau begitu, karena itu dua album terakhirmu.” Saya sebetulnya lebih terganggu dengan cara orang mendengarkan musik di zaman sekarang. Microcastle adalah album terakhir kami yang didengarkan orang dari chord gitar pertama hingga feedback penutup sebagai sebuah karya teatrikal.

Iklan

Apakah era kesuksesan band ini sesudah rilisnya Microcastle menyenangkan?
Microcastle itu ibarat album Blood Visions-nya Jay Reatard. Setelah album itu rilis, kami mendadak bermain di hadapan 200 orang, dibanding yang biasanya tak sampai 100 penonton. Kami bersenang-senang. Semua personel masih hidup kala itu. Kami masih muda. Kami bergerak menuju negativitas yang menunggu kami di masa depan. Entahlah. Saya tidak ingat apa-apa.

1547087061745-1-monomania

Monomania adalah album terbaik yang pernah saya dan teman-teman Deerhunter buat. Siapapun yang tidak paham kenapa saya menyukainya, berarti tidak mengerti apa yang saya lakukan selama ini. Yang enggak suka berarti hanya sekedar penggemar genre yang disebut indie rock dan menganggap band kami bagian dari subgenre indie rock. Saya benci indie rock dan tidak pernah suka istilah itu. Saya tidak menganggap diri sebagai bagian dari kultur indie rock.

Menurutmu itu istilah marketing label rekaman doang ya?
Lebih parah dari itu. Indie rock tuh terdengar seperti hinaan. “Indie” rock itu kesannya musik rock yang malas.

Kenapa kamu memilih ini sebagai album favorit? Mengingat sound album ini paling beda dibanding rilisan Deerhunter lainnya.
Saya sempat mengalami nervous breakdown selama proses rekamannya. Saya benar-benar hancur. Saya menciptakan seni yang bagus dari semua rasa sakit, panik, dan ketidakbahagiaan yang saya alami.

Ada elemen spontanitas ya.
Kami merekam album ini sepenuhnya di malam hari. Semua rumor dan mitologi tentang pembuatan Monomania benar. Saya sering mengatakan ini ke manajer saya: Monomania adalah album rock ‘n’ roll terakhir yang pernah diciptakan umat manusia.

[Tertawa]
Eh saya enggak lagi ngelawak atau lebay ya. Saya tidak tahu siapa lagi yang pernah segitu tenggelamnya dalam diri sendiri dan berhasil bangkit. Ini bukan ala-ala VH1: Behind The Music gitu ya. Tapi perihal hal-hal yang tidak mau disinggung siapapun. Ini bukan hiburan. Adik saya menyebutnya album rumah sakit mental. Dia tidak mengizinkan keponakan saya mendengarkannya. Album ini dicemooh penggemar berat Deerhunter, dan mereka semua salah. Kadang pisau tajam bisa sama atmosferiknya dengan kabut di atas danau. Kadang sesuatu yang abrasif bisa sama halusnya seperti bedak bayi.

Jadi menurutmu album ini terhubung dengan album-album sebelumnya secara spiritual?
Album ini ibaratnya kultus. Album ini mati. Habis. Melambangkan kematian emosi. Saya mengerti kenapa album ini tidak mencapai “metrik kesuksesan” tinggi, barangkali karena album ini dibuat dari papan logam dan ampelas.

Sensasi yang enggak enak buat kebanyakan orang ya?
Saya suka bau-bau yang tidak sedap. Saya punya lilin di rumah yang baunya seperti pelumas mesin. Monomania adalah karya saya yang paling memicu katarsis dan membangun dedikasi saya dalam bermusik.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey