Suasana TIME Club di Filipina
TIME Club pada malam penggerebekan narkoba. Foto dari arsip sumber VICE 

FYI.

This story is over 5 years old.

Perang Narkoba

Perang Narkoba ala Filipina Bisa Menghabisi Kancah Dance Music Underground

Klub malam di Manila tutup akibat maraknya penggerebekan narkoba yang kontroversial. Penutupan ini membuat subkultur musik di sana berada di ambang kehancuran.

Lampu neon di sepanjang Makati Avenue mulai berkedip-kedip seiring tenggelamnya matahari di balik gedung pencakar langit Manila. Kawasan ‘lampu merah’, yang ada di persimpangan menuju P. Burgos Street, dipenuhi oleh bar-bar feminin dan pertunjukan tinju orang cebol. Melangkah sedikit ke sudut jalan dan kamu akan menemukan Poblacion, lingkungan remang-remang tempat speakeasy bersembunyi di bawah kabel telepon yang menjuntai. Ketika fajar menyingsing, kawasan ini berubah menjadi kegilaan seraya lalu lintas menarik siapa pun ke dalam kekacauan akhir pekan.

Iklan

Pada 11 Agustus 2018 dini hari, Herb Cabral dan empat DJ lainnya mampir ke Manila untuk manggung di TIME Makati Avenue, satu-satunya kelab malam di Filipina yang memainkan underground dance music.

Cabral menyaksikan acara yang berlangsung dari belakang kelab. Pukul empat pagi pun tiba, dan asap biru semakin menyelimuti lantai dansa. Kerumunan orang terhanyut dalam musik techno yang dalam dan cepat. Entakkan bass mengalir dari pengeras suara. Bunyi derap sepatu bot menggetarkan lantai.

Bukan penari yang mengeluarkan suara, melainkan anggota polisi bersenapan yang menggerebek tempat itu. Mereka menggeledah seisi kelab tiga lantai, mencari jejak narkoba di setiap penjuru: di bawah sofa, tas ransel, botol bir kosong, hingga kotak permen karet kosong.

“Saya kira cuma sebentar,” kata produser musik house itu, “tahunya berlanjut sampai sekitar tiga jam selama kami di sana.”

123 pengunjung kelab, termasuk 57 orang asing, dibawa ke kantor polisi ketika pagi menjelang untuk di profiling. Ke-31 staf kelab ditahan, bersama sejumlah obat-obatan yang diduga disita dari brankas yang ada di lantai dua. Media melaporkan bahwa polisi menemukan 850 gram metamfetamin, 18 bungkus kokain, 19 pil ekstasi, dan sekitar satu gram kush. Polisi tak buang waktu memerintahkan penutupan TIME, salah satu kelab yang paling lama berdiri dalam sejarah Manila.

Perseteruan antara kelab dan pihak berwenang — yang paling baru terjadi di Fabric London dan Bassiani Tbisili — menggambarkan tantangan dalam dunia modern, di mana nilai-nilai konservatif berbenturan dengan kehidupan malam yang sarat liberalisme.

Iklan
1547023786864-NCRPO-raid

Polisi mengklaim ditemukan narkoba di lemari penyimpanan manajemen klub. Foto dari arsip NCR Police Office.

Penggerebakan kelab-kelab malam ini dampaknya berbeda di setiap tempat di belahan dunia. Di negara Barat, kancah dance music underground dapat dengan mudah pindah ke tempat lain yang dukungan komunitasnya lebih kuat. Sementara di Filipina, dunia “underground” dikaitkan dengan kejahatan terorganisir. Ditutupnya TIME menyiratkan kematian bagi subkultur ini karena orang-orang yang terlibat di dalamnya kesulitan mencari tempat lain yang mau menerima musik mereka.

Kelab komersial yang mendominasi Filipina membuat musik gelap TIME menjadi kurang menarik bagi penggemar Top 50. “Seperti di tempat lain, kebanyakan orang lebih suka musik populer,” kata Ryan Pamatmat, produser musik house dan techno yang menjadi musisi pembuka Dubfire di TIME. Para pemilik kelab sebenarnya saling mendukung, tetapi mereka terpaksa memilih antara passion atau uang.

“Namanya juga bisnis. Kamu enggak bisa menyalahkan mereka,” kata Pamatmat. “Pemilik kelab komersial sekalipun suka dance music underground. Tapi mereka enggak mau rugi, jadi harus bagaimana lagi?” Kebijakan musik kelab cenderung lebih condong ke musik hits “EDM” ala Martin Garrix dan Calvin Harris untuk menarik banyak pengunjung.

Biarpun begitu, TIME tetap menjadi kelab yang paling tua di sana. Tempat ini bisa bertahan selama tujuh tahun, tak seperti kelab lain yang biasanya menghilang dalam kurun lima tahun. “Ketika membuka TIME, kami sudah menentukan kalau kelab ini khusus untuk musik underground,” kata Pav Parrotte, Direktur Musik di TIME yang pernah membawa musisi seperti Eddie Richards dan Dave Seaman.

Iklan

Tonton dokumenter VICE soal larangan joget di klab malam Jepang yang sedang dilawan pecinta musik elektronik:


TIME bukan satu-satunya yang membawa dance music underground ke Filipina. Jenis musik ini sudah ada sejak awal 1990-an dengan kelab-kelab seperti abg’s dan Euphoria sebagai markas besar musik techno dan house. Kolektif musik Groove Nation menyelenggarakan pesta-pesta “Consortium” paling terkenal di kota yang dihadiri oleh Richie Hawtin dan Derrick May selama puncak kejayaan techno Detroit di dunia. Parrotte sudah menyadari sejak awal kalau dia harus menjunjung tinggi warisan budaya ini.

“Meskipun awalnya sulit, saya enggak merasa sia-sia telah berjuang memberikan momen spesial bagi penonton yang meninggalkan kelab di pagi hari,” kata Parrotte. “Prinsip utamanya yaitu bertahan.”

Prinsip ini akan berlaku bagi mitra kelab saat menghadapi sistem peradilan Filipina, berusaha menghapus reputasi buruk TIME sebagai “ sarang narkoba”. Perang narkoba ala Presiden Rodrigo Duterte yang kejam dan berdarah jelas memberikan tantangan besar bagi mereka. Ribuan orang Filipina telah dibunuh polisi dalam penggerebekan obat-obatan terlarang yang kontroversial sejak Duterte memimpin pada 2016. Dalam banyak contoh kasus, polisi dituduh telah menanamkan bukti di tempat kejadian.

“Ada parameter tertentu yang menentukan tempat tersebut sarang narkoba atau bukan,” terang Inspektur Senior Rogelio Simon, Kepala Kepolisian Kota Makati. Dia merujuk pada Undang-Undang Tahun 2002 tentang Obat-Obatan Berbahaya Komprehensif. “Tempat itu menjadi sarang narkoba apabila orang menggunakannya sebagai tempat mengambil dan menjual narkoba.”

Iklan

Seminggu sebelum penggerebekan, seorang anggota keluarga kaya raya di Filipina ditangkap atas tuduhan pelanggaran UU narkotika. Simon memberi tahu VICE bahwa orang itu membeli narkoba di TIME. Intel ini mengadakan operasi “buy-bust” di kelab. Seseorang ditugaskan sebagai pengguna yang sedang mencari obat-obatan terlarang senilai 22.000 Peso (setara Rp5,9 juta).

Simon dan petugasnya diduga menemukan proses bottom-up yang melibatkan penjaga pintu, pelayan, supervisor, manajer, dan brankas di lantai dua. “Dengan bukti narkoba itu, kami memerintahkan seluruh anggota unit pemberantas narkoba untuk datang ke kelab,” katanya. “Kami menangkap semua karyawan, dan meminta pengunjung melaporkan diri ke kantor polisi.”

Sayangnya, apa yang diungkapkan Simon berseberangan dengan sejumlah keterangan pihak lainnya. Tiga pengacara yang disewa untuk membela TIME digelandang polisi lantaran dituduh “menghalangi proses penegakan hukum.” Tudingan itu muncul setelah ketiganya menuntut polisi menunjukkan surat perintah penggeledahan beberapa hari setelah penggerebekan terjadi. Salah satu partner pemilik TIME, yang bersedia memberikan keterangan kepada VICE namun menolak dibeberkan identitasnya, mengatakan bahwa penggerebekan malam itu sebenarnya tak berhasil. “Polisi cuma akting doang dengan segala impunitas yang mereka miliki. Mereka bikin kesan ada transaksi obat-obatan terlarang padahal tak ada yang bisa digerebek di sana.”

Iklan

Lantaran tak ada satupun orang yang membeli atau melakukan transaksi substansi terlarang di TIME, polisi terpaksa harus menanam buktinya sendiri saat penggerebekan terjadi. Dalam prosesnya, polisi juga mengenyahkan sisa rekaman CCTV insiden dini hari tersebut, imbuhnya.

Saksi lainnya mengungkapkan bahwa anggota polisi yang ditugaskan malam itu hanya menjalankan tugasnya sekenanya. Seorang saksi mata, yang ingin tetap anonim, menjadi salah satu orang yang digelandang ke kantor polisi.

“Kami sempat nanya kenapa kami diangkut ke kantor polisi,” katanya. “Lucunya, polisi yang membawa kami ke sana juga enggak tahu apa-apa.” Pengunjung kelab yang ingin pulang diminta memberikan nama jelas, tanda tangan dan diminta diambil fotonya sebelum pergi.

“Saya bilang gini: sebelum saya tanda tangan, pengacara saya ingin tahu rincian operasi ini. Dan dia dalam perjalanan ke sini.” Tak lama berselang, dia dan teman-temannya dipersilahkan pergi.

Satu-satunya yang ditakutkan perempuan itu adalah namanya berakhir dalam daftar panjang orang yang “terlibat kasus peredaran narkotika.” Ini jelas ketakutan yang beralasan. Jumlah orang dalam daftar itu yang tewas setelah dikejar-kejar polisi lumayan tinggi. Malah, dua hari kemudian, 120 “patron” TIME dinyatakan bersalah dan dianggap melanggar Pasal 7 Undang-Undang Obat-Obatan Berbahaya gara-gara “mengunjungi sarang narkoba.”

“Kalau saya sampai menulis nama saya di daftar polisi hari itu, hidup saya mungkin sudah enggak nyaman lagi. Saya enggak akan merasa aman,” kata saksi mata itu.

Iklan

“Loh kenapa kami harus menanamkan bukti?” tegas Simon saat kami bertanya tentang tudingan miring yang diarahkan pada Polisi. “Kan ada CCTV di sana. Kami punya surat perintah penggeledahan resmi dari pejabat pemerintah setempat. Media juga dilibatkan.”

“Jika polisi menanamkan bukti, maka kami akan kesusahan memperkarakan TIME dan semua yang ditangkap bakal dibebaskan dari penjara,” lanjut Simon.

Clubbers and staff were herded into a police station without explanation. Photo sourced by VICE

Kendati 28 dari 31 karyawan dibebaskan setelah membayar uang jaminan, tiga sisanya masih mendekam di penjara karena melakukan pelanggaran yang hukumannya tak bisa ditangguhkan dengan memberikan uang jaminan. Mereka ini, menurut Simon, “adalah aktor utama dalam sebuah sarang narkoba.”

Sampai artikel ini diturunkan jadwal sidang kasus penggerebekan TIME belum juga ditentukan. Imbasnya, susah menerka bagaimana nasib TIME setelah vonis hukum dijatuhkan. Yang jelas, penutupan TIME—meski mungkin untuk sementara—meninggalkan luka tersendiri bagi penggemar dance musik. Satu tempat favorit mereka baru saja dirampas oleh aparat.

“TIME itu tempatnya orang-orang aneh,” ujar Parrotte. “Orang-orang ini tak merasa cocok di skena dance music komersial. Dan mereka butuh berada di tempat yang musiknya cocok.”

1547024311326-Photo-eyewitness-source-3

Pentingnya TIME juga ditekankan oleh Cabral. Sebagai seorang produser, TIME mutlak jadi platform yang krusial bagi karir bermusiknya.

“Ketika kamu lihat pengunjung merespon track yang kamu mainkan pada jam lima pagi, sensasinya enggak ada duanya,” katanya.

Iklan

Lalu, apakah razia obat-obatan terlarang akan membunuh skena dance underground di Filipina? Bagi Cabral, kelangsungan skena dance music Filipina tak boleh sepenuhnya bergantung pada satu venue belaka. Pengunjung kelab, katanya, yang harusnya turun tangan menyelamatkan dance music bawah tanah Filipina.

“Sebagaian besar dukungan yang saya dapatkan berasal dari kancah internasional. Sambutannya memang lebih hangat,” jelas Cabral yang pernah merilis tracknya di Baltimore, Berlin, dan Rotterdam. “Saya merasa seperti ini karena nyaris enggak dapat dukungan memadai di Filipina. Orang enggak lagi beli musik di sini.” Kelab macam TIME memungkinkan produser seperti Cabral selamat dari sekadar jadi suara antah berantah yang tak didengarkan orang. Di sisi lain, TIME juga menjadi surga bagi penggemar dance music yang ingin kabur dari kesehariannya yang monoton—kendati cuma beberapa jam saja.

Akhir pekan selepas razia Agustus lalu, Pamatmat berada di Poblacion. Dia dijadwalkan beraksi di Oto. Didesain sebagai bar-cum-lounge tanpa sejengkal dancefloor pun, Oto menjelma jadi venue cadangan yang menggelar party yang semestinya dihelat di TIME. Pamatmat lega gignya masih terselamatkan kendati mengakui mood pengunjung sudah jauh merosot.

“Tanpa TIME, vibe dance music asyik yang kami pernah miliki bersama-sama menghilang,” ujar Pamatmat. “Dance music underground itu sepenuhnya masalah feeling. Itu tuh sama seperti anggukan dari penonton untuk track yang baru pertama kali kamu mainkan.”

“Dance music underground di Filipina adalah cinta. Cinta yang dirampas dari kami.”

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.