FYI.

This story is over 5 years old.

Pilkada 2018

Alasan Pilkada Serentak Hari Ini Penting

Pertarungan pemilihan kepala daerah tahun ini pasti akan berpengaruh terhadap peta politik nasional.
Foto oleh Izaac Mulyawan/Antara Foto via Reuters

Hari ini warga Indonesia akan berpartisipasi dalam ajang pemilihan demokratis terbesar di dunia. Tempat Pemungutan Suara telah disebar-sebar di lebih dari 170 daerah. Pilkada ini dapat secara dramatis menggeser lanskap politik nasional menjelang pemilihan presiden tahun depan.

Ada lebih dari 156 juta pemilih yang terdaftar di Indonesia, dan dengan tingkat partisipasi pemilih yang tinggi serta pemilihan yang dilangsungkan di tempat-tempat seperti Jawa Barat—provinsi paling padat di Indonesia—lembaga survei mengatakan bahwa beberapa pilkada penting hasilnya tidak dapat diprediksi karena terlalu ketat.

Iklan

Lembaga polling melaporkan persaingan ketat terjadi di Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan sehari sebelum pilkada digelar. Semua provinsi yang, jika digabungkan, mewakili sekitar 41 persen populasi Indonesia secara keseluruhan.

Di Jawa Barat, walikota Bandung Ridwan Kamil berhadapan dengan wakil gubernur saat ini, Deddy Mizwar, dan dua kandidat lainnya pada pilkada besok. Menurut lembaga poling, Ridwan Kamil sementara masih unggul. Tetapi, Indo Barometer memprediksi selisih yang tipis, 6 persen saja, pada pilkada besok. Dengan kata lain, hasilnya pilkada belum dapat dipastikan sebelum quick count muncul.

Sistem politik Indonesia sangat terdesentralisasi, menempatkan kekuatan besar di tangan pejabat daerah, dan dengan pemilu presiden tahun depan, hasil pilkada di daerah-daerah seperti Jawa Barat bisa sangat berdampak pada pemilu presiden 2019.

“Mendapat posisi gubernur amatlah penting,” ujar Ari Ganjar, pakar politik dari Universitas Padjadjaran, Bandung. “Jawa Barat memiliki sekitar 17 persen pemilih nasional. Pilkada Jawa barat selalu mendapatkan sorotan nasional, terutama bagi pasangan kandidat yang menang, dan faktor ‘sumber daya manusia’ yang berarti pasangan kandidat yang menang akan memobilisasi sumber daya yang mereka miliki untuk menggerakkan dukungan pada pemilu 2019.”

Tahun depan, Presiden Joko Widodo akan (kemungkinan besar) sekali lagi berhadapan dengan rivalnya, Prabowo Subianto, mantan petinggi Kopassus TNI dan ketua partai politik yang dibangunnya sendiri, Gerindra.

Iklan

Jokowi mampu mengamankan 53 persen suara pada pemilu presiden sebelumnya, pada 2014, tapi lanskap pemilihan di Indonesia tampak lebih terfragmentasi dan tak dapat diduga tahun ini. Gerindra memenangkan pilgub Jakarta tahun lalu, saat kandidat mereka mampu mengalahkan mantan gubernur petahana yang sempat populer, Basuki Tjahaja Purnama, dari PDI-P, dalam sebuah perlehatan yang menimbulkan permasalahan sektarian.

Gerindra, yang sering menyebut dirinya sendiri sebagai partai bernuansa nasionalis telah secara serius mendekati Islamis garis keras di Indonesia. Prabowo sendiri telah bertemu dengan anggota FPI saat merayakan kemenangan Anies Baswedan di pilgub Jakarta dan baru-baru ini bertemu dengan ketua FPI Rizieq Shihab selama kunjungannya ke Arab Saudi, tempat Rizieq tinggal dalam pengasingan untuk menghindari penahanan selama lebih dari satu tahun.

Kini, Prabowo sekali lagi mendeklarasikan dirinya sebagai satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Indonesia dari banyak ancaman, sebagiannya tak lebih dari sekadar fiksi, dan partai-partai yang lumayan besar seperti Partai Demokrat terus mengambil jarak dari koalisi pemerintahan Jokowi. Kesetiaan dan arah haluan partai tersebut setelah pilkada besok masih belum bisa dipastikan.

“Hal ini sangat sulit diprediksi,” ujar Ari. “Ini seperti yang terjadi tahun lalu saat pilgub Jakarta, saat konstelasi politik tiba-tiba berubah. Partai Demokrat, misalnya, tampaknya sedikit ‘menjauh’ dari PDI-P karena pendukung partai tersebut mulai memerhatikan basisnya.

Iklan

“Ini seperti yang terlihat di pilgub Jakarta, saat sebagian besar pemilih (Demokrat) tidak memilih untuk (kandidat PDI-P) Ahok-Djarot pada saat itu. Saya rasa jika polanya sama di sini, pada pilkada, ada kemungkinan pendukung Demokrat akan memiliki kandidat presiden alternatif yang bisa didukung. Atau mereka akan membentuk koalisi mereka sendiri, meski hal ini sepertinya tidak akan terjadi.”

Pada pilkada lain, para pemimpin politik menghadapi kemungkinan kalah dan pejabat yang sebelumnya terpilih berjuang untuk menjabat untuk kedua kalinya. Di Sulawesi Selatan, pilkada besok adalah persaingan antar empat kandidat: generasi penerus dari dinasti politik besar, wakil gubernur saat ini, aktivis anti-korupsi, dan seorang politisi yang sedang menjalani kasus tuduhan korupsi, menjadikan daerah ini salah satu yang patut diperhatikan.

Ichsan Yasin Limpo, adik laki-laki Gubernur Syahrul Yasin Limpo, berjuang untuk mempertahankan kendali atas Sulawesi Selatan, sebuah provinsi tempat keluarganya telah mengendalikan setengah lusin kursi lokal dan nasional selama beberapa dekade terakhir. Namun, keluarga yang dilanda skandal itu sekarang menghadapi persaingan serius dalam pilkada ini dan, menurut jajak pendapat oleh CSIS dan SSI, tertinggal di urutan ketiga.

Nurdin Abdullah, seorang juru kampanye anti-korupsi dengan rekam jejak membalikkan nasib sebuah kabupaten yang secara ekonomi terbelakang, memimpin beberapa jajak pendapat, sementara seorang pria lain yang juga bernama Nurdin, orang yang mungkin kebalikannya, memimpin persaingan yang lain.

Iklan

Nurdin Halid, seorang politisi yang disebut-sebut terlibat dalam berbagai skandal korupsi sejak tahun 90-an, sebelumnya menjalani hukuman penjara pada tahun 2005 karena keterlibatannya dalam kasus korupsi skema impor beras. Mantan ketua Asosiasi Sepak Bola Indonesia (PSSI) itu dilarang oleh FIFA mencalonkan diri lagi untuk posisi ini karena dakwaan korupsi, tetapi, meskipun ada upaya untuk melarang narapidana memegang jabatan terpilih di Indonesia, para pejabat yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi masih diizinkan untuk berkampanye sekali lagi setelah mereka dibebaskan.

Di Sumatera Utara, mantan Gubernur Jakarta Djarot Saiful Hidayat sedang berkampanye untuk kursi gubernur provinsi terbesar keempat di Indonesia. Djarot, yang menjabat sebagai wakil gubernur untuk Ahok dan kemudian menggantikannya begitu dia dipenjara atas tuduhan penodaan agama, sangat bergantung pada dukungan untuk PDI-P dan pamor yang berasal dari periode jabatannya yang bersih dari korupsi, tetapi masih terpecah belah, sebagai wakil dan kepala Balai Kota.

Hal ini disebut sebagai kesempatan kedua bagi seorang laki-laki yang kehilangan kendali atas ibu kota dalam pemilihan tahun lalu, tetapi Djarot terus mencoba di belakang saingannya Edy Rahmayadi, seorang pria militer yang berjalan dengan dukungan dari ketua Partai Gerindra, Prabowo, dan dua partai Islam terkemuka.

Untuk melihat hasil pilkada nanti, dan mengetahui apa artinya semua itu untuk pemilihan presiden tahun depan, besok para reporter kami akan melaporkan berita dari berbagai tempat di Indonesia.