FYI.

This story is over 5 years old.

Piala Dunia 2018

Tak Disangka VAR di Piala Dunia Membuat Sepakbola Jadi Lebih Indah Buat Ditonton

Sistem video review berhasil menghapus kekhawatiran penggemar sepakbola bahwa sistem ini akan merusak keindahan permainan sepakbola. Malah, penerapan VAR (video assistant referees) adalah salah satu aspek terbaik Piala Dunia 2018.
Foto oleh Tim Groothuis/Witters Sport via USA TODAY Sports

Sepanjang pekan pertama gelaran Piala Dunia Rusia 2018, kita telah menyaksikan salah satu fase grup terbaik dalam sejarah penyelenggaraan Piala Dunia. Dan, semua ini bisa tercapai sedikit banyak karena penerapan sistem video review.

Kombinasi gol-gol yang mencengangkan, drama di penghujung pertandingan, performa individual mencuri perhatian dan beberapa hasil pertandingan yang tak terduga telah membuat Piala Dunia 2018 sebagai salah turnamen yang wajib dikenang di masa depan. Di sisi lain, kehadiran video assistant referee (yang tetap berdandan bak seorang wasit meski tugasnya cuma memandangi monitor selama pertandingan di Moskwa) telah membantu para pengadil mengambil keputusan yang benar. Ini pada akhirnya membuat Piala Dunia 2018 makin bersinar.

Iklan

Pengenalan video review di Piala Dunia bukannya tanpa kekurangan. Di samping itu, sistem video review pun tak serta merta menghapus kontroversi-kontroversi yang kerap mewarnai pertandingan sepakbola. Meski VAR kini sudah diterapkan, Aturan Permainan Sepakbola yang disetujui FIFA umumnya bersifat subyektif dan pelaksanaannya sangat bergantung pada kemampuan manusia menerjemahkannya. Alhasil, konsistensi pengambilan keputusan yang dilakukan para wasit tak pernah konsisten.

Akan tetapi, setidaknya, kekhawatiran para penggemar sepakbola akan penerapan video review sampai sekarang belum terwujud. Pertandingan sepakbola belum berubah menjadi pertandingan yang sedikit-sedikit berhenti seperti pertandingan bola basket. Lebih jauh, video review nyaris tak mencederai jalannya pertandingan sepakbola.

Waktu yang dibutuhkan untuk menganalisis ulang sebuah gol hanya 60 sampai 90 detik. Ini jauh lebih pendek dari durasi adegan pura-pura cedera yang kerap muncul di ujung pertandingan saat kedudukan 1-0.

Bahkan, kita sudah mulai bisa menyimpan rasa was-was kita kalau-kalau video review akan menghapus “elemen manusiawi” dari sepakbola (atau peluang untuk berdebat sampai bego dengan teman nobar kita apakah sebuah penalti harus diberikan atau tidak). Buktinya, sampai tulisan ini diturunkan, penggemar sepakbola masih sibuk berdebat tentang keabsahan penalti dalam laga Perancis vs. Australia atau Inggris vs. Tunisia.

Iklan

Tentu saja, pada prakteknya, pemanfaatan video review di beberapa liga seperti Major League Soccer dan Bundesliga memunculkan masalah tersendiri. Dan dengan makin sengitnya pertandingan di pekan kedua Piala Dunia, tak tertutup kemungkinan bahwa sistem yang sama akan melahirkan masalah tersendiri. Dan imbasnya, semua yang tertulis dalam artikel ini akan terasa naif dan sotoy dalam sepekan ke depan.

Namun, hingga fase grup Piala Dunia 2018 nyaris beres, sistem video review telah melakukan apa yang dia janjikan (maksudnya, melakukan intervensi hanya jika benar-benar dibutuhkan untuk menyediakan segala kemungkinan bagi wasit untuk mengevaluasi keputusannya) sekaligus menghindari apa yang ditakutkan penyuka sepakbola: jadi sumber masalah alih-alih solusi seperti yang tadi pada sistem video replay di NHL.

Yang kita saksikan di Rusia tahun ini adalah VAR yang dengan cepat mengoreksi pemberian kartu kuning yang keliru dalam laga Perancis vs. Peru, menegaskan keputusan wasit menghadiahkan kartu merah yang berpeluang menuai kontroversi saat Kolombia bertemu Jepang serta, yang paling terkenal, menganulir penalti yang awalnya diberikan ke Brasil atas aksi diving teatrikal Neymar saat Selecao bertemu Kosta Rika.

Dengan catatan seperti ini, kita bisa berharap bahwa keberadaan VAR akan memaksa para pemain berpikir dua kali sebelum melakukan diving.

Pun, kita bisa dengan tenang menonton laga-laga yang tersisa sampai final nanti sebab kita bisa lebih yakin bahwa semua gol tercipta dari proses open play. Kita tak lagi harus was-was jikalau gol-gol di laga penting dicetak oleh pemain yang berada dalam posisi offside atau lahir dari handsball (seperti gol “Tangan Tuhan” Maradona ke gawang Inggris pada 1986 atau gol Thierry Henry dalam kualifikasi Piala Dunia 2010).

Mengingat VAR yang bertugas di Moskow adalah para pengadil pilihan dan seluruh mata penggemar sepakbola tertuju ke Rusia, sepertinya akan terlalu naif jika kita berharap VAR bakal seeara bisa bertugas di semua laga dan kompetisi di muka bumi ini. Tiap liga memiliki cara pemanfaatan berbeda. Di MLS, setiap pertandingan dipantau oleh seorang VAR. Sementara itu, ada empat VAR dalam tiap laga di Piala Dunia 2018.

Terlepas debat tentang perlu tidaknya VAR yang barangkali masih tersisa, hasil dari laga-laga awal Piala Dunia 2018 membuktikan bahwa video review pada dasarnya bisa menguntungkan tanpa harus mengorbankan keindahan sepakbola. Belum jelas apakah hasil menggembirakan ini akan jadi dasar FIFA untuk memperluas penggunaan video review (yang malah mungkin merusak pertandingan sepakbola).

Eh sebentar, FIFA mengadopsi sistem baru dan memanfaatkannya dengan benar? Ah ini mah jarang sekali terjadi. Yang sering malah sebaliknya: FIFA menerapkan sistem baru dan mengubahnya jadi sistem yang menggelikan.