FYI.

This story is over 5 years old.

Televisi

Orang Indonesia Bisa Belajar Merespons Gangguan Mental Lewat Serial 'Crazy Ex-Girlfriend'

Season ketiga serial ini memberi kita gambaran metode terbaik melawan stigma bagi penderita gangguan mental.
Ilustrasi oleh Dini Lestari

Rebecca Bunch, karakter utama serial Crazy Ex-Girlfriend adalah sosok terbaik di dunia pertelevisian saat ini. Kenapa? Karena sifatnya kacau bukan main. Acara TV ini perlahan-lahan membeberkan fakta yang mungkin disadari penonton dari awal: Rebecca mengidap gangguan mental. Crazy Ex-Girlfriend menyampaikan kisah Rebecca dengan cara tak biasa—lewat humor yang bikin ngakak. Penonton Indonesia bisa belajar beberapa hal dari serial ini, tentang penanganan gangguan kesehatan mental yang ideal. Jika acara ini dipahami banyak orang, bisa jadi orang seperti saya tidak perlu menyembunyikan masalah kesehatan mental dari khalayak.

Iklan

Crazy Ex-Girlfriend menceritakan rasa putus asa Rebecca saat berjuang balikan dengan cinta pertamanya. Rebecca adalah pengacara sukses lulusan Ivy League, tinggal di Manhattan. Tapi ketika dia bertemu Josh Chan, cinta pertamanya di kamp musim panas yang mereka hadiri saat masih remaja, Rebecca menganggapnya sebagai pertanda bahwa dia harus meninggalkan semuanya, lalu pindah ke West Covina, California demi bisa bersama Josh. Tentu saja, banyak peristiwa tidak mengenakkan terjadi. Di musim ketiga Crazy Ex-Girlfriend, Rebecca dipaksa menghadapi kenyataan kalau dia mengidap gangguan mental.

Serial televisi ini secara efektif menampilkan pemikiran dan kisah setiap karakter lewat tembang musikal—yang apabila tidak diberikan narasi yang pas, bisa norak (ingat Glee?). Hebatnya, pelibatan musik tersebut justru menjadi daya tarik utamanya. Bahkan aktris pemenang Tony Award, Pati LuPone memiliki pendapat yang sama. Rachel Bloom, yang memainkan Rebecca, sekaligus salah satu penulis skenario acara TV ini, menjelaskan bagi dirinya pribadi, tembang musikal bukan cuma alat untuk menyampaikan guyonan, melainkan juga sarana menyampaikan ide-ide yang secara emosional tidak efektif bila hanya jadi dialog antar karakter.

Isu kesehatan mental Rebecca yang dibahas blak-blakan membuat acara ini dipuji kritikus. Vanity Fair menyebut musim ketiga serial ini sebagai yang "terkuat" dari segi cerita. Sementara Metro menulis betapa Crazy Ex-Girlfriend adalah acara TV terbaik tentang kesehatan mental saat ini. Di setiap episode, Rebecca menyanyikan tembang musikal berjudul “A Diagnosis”, semacam upayanya membangun caara menerima diri sebagai pengidap penyakit menta. Bloom bersama komposer Adam Schlesinger memastikan lagu ini membahas dan menggulingkan semua jenis stigmatisasi gangguan kesehatan mental yang sering menjadi persepsi publik.

Iklan

Di season ke-3, Rebecca didiagnosis mengidap borderline personality disorder (BPG). Dia lantas mencari informasi di internet—biarpun sudah dilarang oleh psikiaternya—dan semakin panik. Siapapun yang pernah didiagnosa menderita penyakit mental pasti tahu rasanya. Internet adalah pelarian pertama, karena siapa juga yang punya waktu untuk menelepon psikiater dan ngobrol panjang lebar tentang depresi yang kamu alami?

Di Indonesia, banyak orang yang saya kenal bahkan tidak sanggup mengumpulkan keberanian untuk melawan stigma-stigma yang ada. Maklumlah, di negara kita, ribuan penderita penyakit mental bahkan dipasung di rumah mereka sendiri.

Pada 2014, DPR mengesahkan undang-undang untuk menyediakan perawatan yang lebih baik bagi penderita kesehatan mental. Kebijakan DPR itu terhitung sebagai kemajuan, namun Indonesia masih harus menempuh jalan yang panjang sebelum benar-benar bisa menghancurkan stigma mengenai kesehatan mental di masyarakat. Sebuah UU saja tidak ada artinya bila masyarakat masih sering mengabaikan depresi dan gangguan kecemasan. Padahal dua sindrom itu relatif mudah disembuhkan. Tapi yang terjadi, penderita gangguan mental sering disuruh berdoa ke Tuhan saja, bukan mencari pertolongan psikolog atau dokter. Praktik budaya macam ini adalah alasan kenapa banyak penderita gangguan mental di Indonesia tidak mendapatkan bantuan secara layak, sehingga kondisinya pun memburuk.

Iklan

Lebih parah lagi, kebanyakan orang Indonesia hidup di dalam karakter masyarakat yang menganggap tindakan seseorang batal butuh diri sebagai sesuatu yang “cemen”. Ketika kamu cukup berani meminta bantuan ke orang terdekat tentang gangguan kesehatan mental, bersiaplah untuk yang terburuk. Banyak orang di Indonesia cenderung mempermalukanmu ketika kamu mengalami gangguan kecemasan. Paling banter mereka menyuruhmu “tenang dong” seakan-akan depresi itu perkara yang mudah diatasi penderitanya. Berdasarkan pengalamanku sendiri, pernah ada teman yang menuding saya kena depresi karena kerasukan setan. Makanya, dia menyarankan, satu-satunya solusi adalah di-ruqyah.

Stigma, tudingan, dan saran ngaco kayak gitu enggak muncul di serial Crazy Ex-Girlfriend. Teman-teman Rebecca memang membiarkan dia berkelakuan irasional, tapi tindakan mereka muncul karena Rebecca awalnya tidak mau mengakui kalau dia mengidap gangguan jiwa. Dengan cara berbohong ke diri sendiri, akhirnya Rebecca berbohong ke orang lain. Akhirnya di musim ketiga serial ini, semua teman-temannya mengetahui masalah Rebecca yang sebenarnya. Sikap mereka pun berubah. Kawan-kawan Rebecca akhirnya membantu sebisa mungkin agar Rebecca bisa sembuh. Dari sana, kita bisa belajar kalau sistem pendukung di sekitar penderita gangguan mental itu sangat penting. Tanpa dukungan keluarga atau teman, sulit bagi penderita gangguan mental mempercepat proses pemulihan.

Crazy Ex-Girlfriend juga menampilkan pikiran-pikiran gelap soal bunuh diri dan kesehatan mental yang realistis dan mengerikan. Tapi penonton tidak akan sampai terganggu. melihat perjalanan Rebecca menuntun para penonton ikut menyadari siapa dirinya sebetulnya, lengkap dengan segala kekurangannya. Adanya penjelasan mendetail soal latar belakang karakter utama ini terasa sangat melegakan. Awalnya acara ini lumayan suram, tapi rasanya sangat membebaskan ketika akhirnya kamu mengetahui penyakitmu bisa didiagnosis dan mengetahui perawatan macam apa yang kamu butuhkan agar bisa pulih seperti sedia kala.

Saya meyakini pendidikan yang komprehensif tentang kesehatan mental harus terus dikampanyekan dalam kehidupan sehari-hari. Crazy Ex-Girlfriend menunjukkan contoh penerapan cara yang oke agar orang bisa merespons kabar ketika kawan atau kenalan mereka dinyatakan mengidap gangguan mental. Berkata acara televisi ini, saya berhasil menemukan jati diri saya dan cara menghadapi masalah kejiwaan saya secara lebih baik di masa mendatang. Pendek kata, oke ini karakter millenial banget sih, tapi harus diakui acara televisi ini berhasil menyelamatkan saya dari jurang keterpurukan.

Terima kasih banyak, Rebecca Bloom—untuk semua hal yang telah kamu tunjukkan dan kepedulianmu yang mendalam di acara televisi ini tentang kesehatan mental.