Premanisme

'Republik Jatah Preman': Praktik Pemkot Restui Ormas Kelola Parkir Bukan di Bekasi Saja

Begitu kemesraan pemerintah dan ormas dikonfrontasi, jawaban mendagri kurang memuaskan. Dalam kasus parkir Bekasi, pemkot ngeles tak kasih hak kelola, eh ormasnya sendiri ngaku setor ke kas daerah.
'Republik Jatah Preman': Praktik Pemkot Restui Ormas Kelola Parkir Bukan di Bekasi Saja
Ilustrasi petugas parkir tak resmi di kawasan Kuta, Bali. Foto oleh Bay Ismoyo/AFP

Pengelolaan lahan parkir memang ruwet karena menjanjikan. Topik ini mengemuka setelah ormas asal Bekasi bernama Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS) berunjuk rasa di area pom bensin Narogong, Rawalumbu, Rabu dua pekan lalu (23/10). Mereka menuntut jatah pengelolaan parkir minimarket setelah para pengusaha minimarket menolak kehadiran anggota ormas sebagai juru parkir. Alasan pengusaha, mereka tidak pernah ada info apa pun dari pemerintah soal ini. GIBAS lantas menyampaikan protesnya kepada pengusaha di depan publik. Mereka mengaku tuntutan yang dibawa valid karena mereka punya surat tugas dari pemerintah daerah, lewat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), yang menempatkan GIBAS sebagai pengelola parkir minimarket di Kota Bekasi.

Iklan

Ketua GIBAS Deni Muhammad Ali mengaku ormasnya mengajukan surat tugas mengelola parkir minimarket di Bekasi kepada Bapenda sejak 2017. Permohonan GIBAS kemudian disetujui dua tahun kemudian, dan dilaksanakan dua bulan belakangan (September-Oktober 2019). Menurut pengakuan salah seorang anggota GIBAS, setiap bulannya GIBAS menyetor Rp200-300 ribu kepada Bapenda, tergantung keramaian zona masing-masing.

"Kita tidak memaksakan tarif parkir. Ini pun sukarela, dikasih syukur, enggak dikasih enggak apa-apa. Dan dari Bapenda, jukir-jukir [juru parkir] ini sudah di- raining, dalam arti dikasih pengarahan. Mereka harus berpakaian yang sopan, rambut yang sopan, dikasih rompi juga. Jadi dikasih arahan seperti itu sebelum mereka jadi jukir," ujar Deni kepada Republika. Dalam unjuk rasa 23 Oktober silam, Deni bilang bahkan ada “instruksi Wali Kota” termaktub di surat.

Namun, pernyataan Deni tidak senada dengan Bapenda Kota Bekasi. Menurut Bapenda, surat tugas pengelolaan parkir diberikan atas pengajuan perorangan, bukan lewat ormas.

"Bukan [atas pengajuan ormas] ya. Begitu saya keluarkan, bukan atas nama ormas, tapi perorangan. Satu surat tugas satu orang. Satu orang, satu titik. Dan saya tidak memberikan ke ormas," ujar Kepala Bapenda Aan Suhanda kepada Kompas. Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi juga membantah memberikan "instruksi Wali Kota” dan mengatakan perkara surat tugas pengelolaan parkir adalah wilayah kerja Bapenda, jadi dia enggak mau ikut campur.

Iklan

Entah siapa yang jujur siapa yang bohong di Bekasi, untuk sementara kita tinggalkan mereka dulu dan bergeser ke Jakarta. Di provinsi ini, indikasi “kerja sama” pemerintah dan ormas soal parkir terlihat di ruas parkir Blok M, Jakarta Selatan. Di sana, pengguna parkir membayar retribusi dua kali: kepada petugas parkir di pintu keluar lahan dan kepada sosok dengan rompi oranye yang menjaga area.

Liputan Tirto melaporkan, lahan parkir Blok M dikuasai tiga ormas dengan petaknya masing-masing, yakni oleh Pemuda Pancasila, Kelompok Arek, dan Kelompok Serang. Padahal, pemerintah sudah menyerahkan pengelolaan parkir kepada PT Dinamika Mitra Pratama atau dikenal dengan brand Best Parking. Namun, menurut pengakuan para jukir, setoran bulanan justru tidak masuk ke Best Parking, melainkan kepada seseorang yang sering dipanggil “Aa”. Saat dimintai keterangan, pihak Best Parking menolak wawancara Tirto.

Hal serupa terjadi juga pada kawasan parkir gelanggang olahraga remaja (GOR). Menurut Pergub DKI Jakarta 188/2016, pemerintah daerah menguasai 60 GOR di seluruh Jakarta, namun lahan-lahan parkir tersebut juga diketahui dikuasai ormas.

Di GOR Johor Baru, Jakarta Pusat, lahan parkir dikelola Forum Betawi Rempug (FBR). Perputaran uang di sana pun lumayan besar. Biaya inap parkir mobil bulanan berkisar Rp300-400 ribu dengan kapasitas 50 mobil. Padahal, monopoli lahan macam ini termasuk dalam penyalahgunaan pemanfaatan lahan parkir untuk komersial yang sempat dibahas Dinas Perhubungan Jakarta, Satpol PP, dan kepolisian.

Iklan

Saat dikonfrontasi oleh Tirto, Asisten Manajer Operasional UP Perparkiran wilayah Jakarta Pusat Acep Sutisna berdalih belum mengetahui praktik semacam itu di GOR Johor Baru. Padahal, FBR sudah bertahun-tahun nangkring di lahan parkir tersebut. Menurutnya, pemerintah belum menindak pemanfaatan lahan oleh FBR karena belum adanya laporan warga. Katanya lagi, pemerintah akan segera menindak tegas oknum yang mengomersialkan lahan parkir untuk kepentingan individu/golongannya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian punya sikap yang sama terkait ormas yang intimidatif secara umum. Usai rapat di Senayan kemarin (6/11), ia mengatakan kepada wartawan, "Ormas itu kalau dia melakukan pelanggaran hukum, misal intimidasi, pemerasan, segala macam, tangkap saja. Kalau melakukan tindak pidana, tangkap saja oleh polda, polres," demikian dikutip Kumparan.

Tapi ketika wartawan bertanya lebih spesifik soal ormas dan sengketa lahan parkir, jawaban Tito melempem. "Ajak dulu bicara semua pihak. Para pengusaha yang akan terkena dampak itu undang. Mau enggak dia digituin begitu," katanya. "Kalau seandainya pengusaha mau, why not? Tetapi lihat aturannya, kira-kira ini ada kemungkinan korupsi tidak? Menguntungkan tidak untuk masyarakat?"

Lantaran sulit bersikap optimis melihat pengaruh ormas bisa berkurang di Indonesia, maka kami segera teringat pada buku Ian Wilson, pengamat politik Indonesia dari Australia, yang bertahun-tahun meneliti keberadaan geng, milisi, dan preman berbalut ormas di republik ini. Judul buku Wilson, Politik Jatah Preman, menggambarkan sengkarut pemungutan uang parkir, ormas, dan pemerintah yang bisa kita lihat dari Bekasi. Benar-benar deh. Kita ini fana, ormas dan ditarik uang parkir habis belanja di minimarket itu yang abadi….