Perayaan Pride March. Ilustrasi via Wikimedia Commons​
Perayaan Pride March. Ilustrasi via Wikimedia Commons
LGBTQ di Indonesia

Perayaan Pride Klandestin di Indonesia Jadi Pengganti Pawai Bulan Juni

Komunitas LGBTQ di Indonesia tetap merayakan Pride March, yang biasanya digelar tiap 30 Juni di seluruh dunia. Caranya? Terlibat momen aksi massa di bulan-bulan lainnya.

Massa aksi berangkat bersama-sama dari kawasan Patung Kuda di persimpangan Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Ribuan orang, didominasi perempuan, jalan kaki membawa beragam atribut dan papan tuntutan. Mereka menuju Taman Aspirasi di depan Istana Negara, seberang tempat presiden berkantor. Setiba di lokasi, satu per satu perwakilan perempuan naik ke mobil bak terbuka, menyuarakan aspirasinya.

Tepat setelah beberapa orang turun, peserta aksi lain meminta Stacey Nikolay naik ke bak belakang mobil. Adrenalinnya terpacu. Ia bingung sekaligus kaget diminta berorasi mewakili suara LGBT perempuan di atas panggung, tepat di depan Istana Negara. Dia sempat ragu dan hendak menolak.

Iklan

Menampilkan identitasnya sebagai perempuan lesbian berisiko mengancam keselamatan Stacey. Ini Indonesia, yang mayoritas warganya masih sulit menerima mereka dengan orientasi seksual berbeda. Terlihat oleh publik, seperti sore itu, merupakan hal yang perlu dia pikirkan berjuta kali. Di sisi lain, kesempatan menyuarakan hak perempuan LGBT ada di depan mata Stacy.

"Stace, sekarang elo berdiri di aksi dan elo punya mimpi untuk bantu memperjuangkan hak-hak teman-teman LGBT juga, inilah saatnya," tiba-tiba kawan sesama aktivis LGBT, Ryan Korbarrim meyakinkan Stacy bahwa bak mobil itu adalah tempat terbaik merayakan keberadaan mereka.

Stacy memantabkan hati naik ke panggung bersahaja itu. Dia merapal tuntutan bagi negara yang rutin mendiskriminasi kelompoknya. Hari perempuan internasional 2019 akan dikenang Stacy sebagai salah satu momen paling membanggakan dalam hidupnya.

"Itu kali pertama gue orasi di massa yang sangat besar, jadi sangat berarti buat gue sebagai perempuan lesbian. Kami diberikan space. Di situ bendera rainbow kibar-kibar sampai kami stop di taman aspirasi depan istana negara. Banyak LGBT allies mendukung kami dan menyusun strategi,” kenang Stacy. "Buat gue itu empowering moment banget."

Momen serupa kembali terulang April tahun ini di Jakarta. Kala itu, bendera pelangi warna-warni kembali berkibar. Perhatian massa berfokus pada penampilan enam transpuan menari lincah dalam iringan lagu "Bang Bang" yang dinyanyikan Ariana Grande.

Iklan

Saat lagu berdentum di pelantang suara, Riska Carolina naik ke panggung. Ia percaya momen itu adalah tempat aman bagi dirinya: perempuan lesbian Indonesia mengumumkan secara terbuka identitasnya di publik.

"Siapapun kalian kalau kalian support hak teman-teman LGBT kalian, tunjukkan. Kalau saya bilang ‘LGBT’, kalian jawab ‘ya saya!’"

“LGBT!” teriak Riska dari atas panggung.

“Ya, saya!” jawab massa riuh.

Sore itu massa yang datang sebenarnya merayakan Women’s March, sebuah aksi massa tahunan yang diperingati di hampir seluruh dunia dalam rangka menyuarakan isu perempuan interseksional. Tentu dukungan terhadap perempuan LGBTQ wajar ditemukan di sini. Tapi tetap, itu momen perayaan berbeda.

Suasana serupa pun bisa terlihat pada 1 Mei di Jakarta, yang diperingati sebagai Hari Buruh. Simbol identitas LGBTQ dibawa beberapa peserta aksi. Mereka menuntut hak dan keadilan bagi minoritas seksual yang seringkali mendapat diskriminasi di dunia kerja. Mereka ikut bersolidaritas dengan jutaan massa buruh lainnya di negara ini.

Komunitas LGBTQ ada dan nyata di Indonesia. Dalam berbagai aksi massa mereka datang, berorasi, lantang bersuara. Ironisnya, Stacy dan Riska tak pernah berorasi khusus di hari yang seharusnya mereka rayakan. Jutaan LGBTQ lain di seluruh dunia, pada 30 Juni lalu, biasanya menggelar pawai penuh kebahagiaan, memperingati momen keberhasilan kelompok LGBT melawan balik penindasan.

Stacy dan Riska, sebaliknya, harus bergerak klandestin. Mereka meminjam momen-momen lain untuk menyuarakan aspirasinya. Sebab, di Indonesia, tak ada Pride di bulan Juni.

Iklan

Meskipun di Indonesia tak ada Pride di bulan Juni, aktivis LGBTQ Ryan Korbarri ingat betul saat-saat terakhir rekan sesama komunitasnya bisa berekspresi terbuka di ruang publik. Saat itu International Day Against Homophobia, Biphobia, and Transphobia (IDAHOT) 2015. Dia mengenangnya sebagai momen yang sangat indah.

Ratusan orang berjalan bersama di pagi hari saat Car Free Day yang rutin dilaksanakan pada hari Minggu di ruas Sudirman-Thamrin, Jakarta. Dalam peringatan IDAHOT empat tahun lalu, mereka yang ikut berpawai bebas mengenakan berbaju olahraga warna-warni, melukis wajah, dan mengibarkan bendera pelangi—simbol komunitas LGBTQ. Sesekali mereka berjoget bersama. Sembari membawa spanduk kosong, peserta aksi meminta tanda tangan publik sebagai bentuk dukungan gerakan anti diskriminasi pada 17 Mei 2015.

"[IDAHOT] 2015 itu masih banyak banget yang tanda tangan. Kami orasi juga di depan Bundaran HI. Banyak juga yang ikut dari berbagai elemen masyarakat," kata Ryan kepada VICE. "Banyak yang datang tanya kepo, banyak teman baru yang datang untuk sekedar partisipasi."

Situasi berubah drastis 12 bulan kemudian. Dalam peringatan IDAHOT 2016, sekitar 20 aktivis LGBTQ turun ke jalan. Tak ada lagi tanda tangan dukungan dari masyarakat seperti di tahun sebelumnya. Respons yang mereka terima berubah jadi cacian dan hinaan.

"Saat itu verbal abuse-nya yang kami terima cukup besar kayak orang mulai lantang manggil ‘eh bencong bencong’, ‘LGBT laknat', dan lainnya," kata Ryan. "It was not a pleasant experience, untuk keamanan kami memilih tidak melakukan acara di publik lagi."

Iklan

Trauma pada 2015 itu membuat beberapa komunitas dan aktivis LGBTQ Tanah Air tidak lagi pilih menyuarakan keberadaanya lewat momen lain. Setidaknya yang masih bersinggungan dengan isu diskriminasi yang mereka terima.

Juni di belahan bumi lain selalu diperingati sebagai Bulan Pride, yakni perayaan kebanggaan yang berkaitan dengan kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer. Indonesia, sekalipun secara legal tidak mengkriminalisasi LGBTQ, justru tak memungkinkan bagi minoritas seksual merayakan bulan yang bermakna buat mereka.


Tonton dokumenter VICE soal perayaan Pride di negara kecil mayoritas Katolik Timor Leste:


Momen Pride diperingati untuk mengenang perlawanan kelompok LGBT dalam kerusuhan Stonewall. Kelompok LGBT di Amerika Serikat pada dekade 1950 dan 1960-an mesti berhadapan dengan hukum antihomoseksual yang sangat diskriminatif. Saat itu hampir mustahil menemukan tempat aman yang melayani seluruh minoritas seksual, kecuali sebuah bar di kawasan Greenwich Village, New York City, bernama Stonewall Inc.

Pada 1960-an, penggerebekan polisi terhadap bar gay adalah hal yang rutin dilakukan, termasuk di Stonewall Inn. Komunitas LGBTQ AS akhirnya bersolidaritas, melawan balik penindasan polisi. Insiden itu memicu kerusuhan selama beberapa hari. Tapi setelahnya hak-hak minoirtas seksual di Negeri Paman Sam mulai dihormati. Itu sebabnya, momen tersebut diperingati sebagai titik balik perlawanan kelompok LGBT, tidak hanya di Amerika Serikat tapi seluruh dunia.

Iklan

Ryan sempat kecewa karena kelompok mayoritas di Tanah Air tak kunjung memberi ruang bagi dia dan teman-temannya menggelar Pride. Tapi dia menolak putus asa.

"Satu-satunya cara kami bersuara di aksi publik adalah dengan cara ngikut. Dengan bergabung dengan aliansi dan gerakan lain. Ini juga bentuk pernyataan bahwa isu LBGT bukan single issue, tapi intersectional issue yang bisa nyangkut ke isu mana aja," kata Ryan. "Di gerakan perempuan ada temen lesbian dan transpuan. Di gerakan buruh ada juga temen LGBT yang buruh, maupun di gerakan lainnya ya ada mereka yang bagian dari LGBT. Ini sekaligus untuk bilang bahwa LGBT ini bagian dari masyarakat."

Kelompok LGBTQ di Indonesia sewindu terakhir mengalami tekanan yang makin kuat. Beberapa pemerintah daerah, kelompok konservatif, serta didukung aparat, gencar menggalakan kampanye yang homofobik ataupun transfobik.

Tekanan mulai kentara muncul seiring pemberlakuan Qanun Jinayat di Provinsi Aceh, yang mengatur soal hubungan sesama jenis pada 2014. Menurut Ryan, beleid dari satu-satunya provinsi yang menerapkan syariat Islam itu berhasil menciptakan ketakutan-ketakutan sejenis di wilayah lain negara ini.

Tak berapa lama, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi homoseksual pada 2015. Ketakutan tak beralasan semakin menjadi, usai berita legaliasasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat membuat kelompok konservatif di Tanah Air khawatir agenda yang sama hendak diberlakukan di Indonesia.

Iklan

Ketakutan komunitas LGBTQ bertambah ketika beberapa pejabat penting pemerintahan mengeluarkan pernyataan diskriminatif terhadap minoritas seksual. Dimulai dari pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir yang melarang keberadaan organisasi mahasiswa LGBT di kampus-kampus. Tak lama kemudian Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan fenomena LGBTQ sebagai imbas perang proksi yang dituding lebih berbahaya daripada senjata nuklir. Ketakutan komunitas LGBTQ di Tanah Air makin menjadi, usai pelaksanaan hukuman cambuk bagi pasangan homoskesual di Aceh. Sebagian besar lantas memilih tiarap, gara-gara penangkapan 141 pria gay yang sedang berpesta di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

"Dulu pemerintah ignorant ‘alah apa sih LGBT ini enggak signifikan’. Sebenarnya, ignorant membuat lebih acceptable. Bahkan secara budaya banyak banget budaya queer di Indonesia yang subur," kata Ryan. "Perubahan itu ditandai dengan meningkatnya fundamentalisme agama di Indonesia. Ketika agama dipolitisasi harus ada yang jadi korban, salah satunya LGBT."

"Sebelumnya we have all, bikin acara di publik cukup terbuka, orang-orang nggak seresisten sekarang karena resistensi dibangun dari pemerintah. Jadi masyarakat ikut resisten," imbuhnya.

Organisasi swadaya pemantau HAM, Human Rights Watch, sempat meluncurkan laporan setebal 58 halaman. Laporan itu mengumpulkan berbagai pernyataan resmi pemerintah Indonesia yang dianggap penuh prasangka negatif terhadap kelompok LGBTQ. Dalam laporan HRW disebutkan sebetulnya Indonesia setelah merdeka tidak pernah mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis.

Iklan

Perubahan kebijakan muncul sejak 1999, setelah desentralisasi hukum dimulai sehingga masing-masing daerah bisa mengkriminalisasi perilaku seksual sejenis, seperti yang terjadi di Aceh. Puncaknya tahun lalu Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) berupaya mengkriminalisasi kelompok LGBT dengan mengajukan peninjauan kembali KUHP ke Mahkamah Konstitusi.

1562071468605-Womens-March-LGBTQ-4

Foto oleh Firman Dicho Rivan

Meski empat tahun terakhir aktivis minoritas seksual ganti menyuarakan hak-hak mereka melalui momen interseksional, aksi-aksi tersebut tak otomatis membuat kelompok LGBTQ ada di ruang aman. Riska memang berkesempatan hadir di panggung Women’s March, tapi dia sempat mengaku diawasi aparat yang mempermasalahkan seruannya kepada kawan-kawann peserta aksi tersebut.

"Bergabung dengan aksi intersectional lainnya tidak membuat risikonya berkurang. Risiko diawasi pihak-pihak otoritas tertentu masih terjadi," kata Riska yang memilih tidak menyebutkan pihak mana yang ia maksud. Padahal menurutnya, hal yang ia sampaikan dalam orasi merupakan bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi konstitusi.

Bagi Stacy, Ryan, Riska, dan kawan-kawan LGBTQ lainnya, hak menyuarakan pendapat di negeri ini tidak datang cuma-cuma. Mereka belum bisa sebebas rekan-rekan perempuan atau buruh yang sangat dilindungi untuk menggelar aksi.

Sampai kelak pawai untuk LGBTQ bisa terwujud di negara ini, mereka memilih merayakan Pride kapan saja asal ada kesempatan. Sekalipun tidak di bulan Juni.

"Pride itu buat gue kebanggaan menjadi diri sendiri. Karena, kebanggaan buat kawan-kawan LGBT enggak didapat cuma-cuma tapi dengan berjuang dan itu yang sedang kami lakukan," ujar Ryan. "In daily basis kita banyak yang berpura-pura jadi orang lain, dan momen kita jadi diri kita sendiri itu melegakan. Buat kami sesuatu hal yang diperjuangkan itu butuh dirayakan."