FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme

Koperasi dan Sekolah Diyakini Lebih Efektif Meluluhkan Militansi Pendukung ISIS di Indonesia

Penelitian anyar menunjukkan deradikalisasi aparat tak cukup lewat dakwah. Bagi kelompok fanatik macam Jamaah Ansharut Daulah, pendekatan ekonomi dan pendidikan seharusnya lebih manjur.
Terpidana terorisme Umat Patek digiring anggota Densus 88 seusai mengikuti persidangan di Jakarta Barat. Foto oleh Supri/Reuters.

Kelompok ekstrem Jamaah Ansharut Daulah (JAD) mungkin telah lumpuh pasca serangan bom Kampung Melayu yang menewaskan lima orang termasuk tiga anggota kepolisian. Dua puluh sembilan anggota penting JAD kini ditahan sedangkan delapan orang lainnya tewas. Sekilas JAD seperti telah mati, namun lembaga Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) justru mengingatkan sebaliknya bahwa kelompok tersebut masih berpotensi melancarkan serangan teror.

Iklan

Berdasarkan penelitian terbarunya, IPAC mengatakan 29 anggota JAD yang ditahan bersamaan di markas Brimob Kelapa Dua masih leluasa berinteraksi dengan sesama militan. Situasi tersebut dapat menggagalkan program deradikalisasi yang diandalkan pemerintah.

“Beberapa tokoh senior mungkin bisa dibujuk untuk mengajak anggota lainnya untuk meninggalkan kekerasan, tapi tidak jika mereka masih ditahan bersama para simpatisan ISIS lainnya untuk waktu yang lama. JAD membutuhkan perhatian khusus,” kata direktur IPAC Sidney Jones dalam pengantar laporannya. Jones turut mengimbau pemerintah supaya anggota JAD untuk diberikan akses konseling dan deradikalisasi.

Jones tidak berlebihan saat bilang bahwa JAD butuh perhatian khusus. Kelompok yang muncul dari sempalan Negara Islam Indonesia (NII) tersebut, meski tidak memiliki kemampuan militer yang mumpuni, terbukti mampu menebar teror di berbagai daerah. Anggotanya tersebar di hampir seluruh Indonesia.

JAD muncul sesaat setelah ISIS mendeklarasikan kekalifahannya di Suriah dan Irak pada 29 Juni 2014. Didasari pada ketidakpuasan pada ideologi NII ditambah dengan ceramah dan tulisan ustaz garis keras Aman Abdurrahman, para anggota NII memutuskan mendukung ISIS dan bersumpah melakukan jihad. Awalnya para anggota JAD hendak pergi ke Suriah namun kebanyakan memutuskan tetap di Indonesia menyusul seruan juru bicara ISIS Abu Muhammad Al Adnani pada 2016 untuk melakukan jihad di dalam negeri.

Iklan

Serangan yang dilancarkan JAD kebanyakan tergolong skala kecil seperti pelemparan bom molotov di gereja Samarinda; peledakan bom panci di Cicendo, Bandung; dan serangan bom molotov di rumah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Puncaknya tentu saja serangan bom bunuh diri Kampung Melayu pada Mei 2017 yang menewaskan lima orang termasuk dua orang pelaku.

Menurut IPAC, meski para petinggi JAD sudah ditahan, kebanyakan anggota dan simpatisannya masih aktif dalam kelompok-kelompok kecil menunggu momen atau instruksi lebih lanjut.

“JAD sendiri adalah kelompok suporter ISIS terbesar di Indonesia,” tulis IPAC dalam laporannya. “Anggotanya berasal dari pengikut Aman Abdurrahman dan Abu Bakar Baasyir yang sebelumnya bergabung di Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).”

Tantangan yang dihadapi pemerintah tak cuma bagaimana menangani ke-29 narapidana JAD tersebut selama di lapas dan setelah bebas, tapi juga memerangi narasi ekstremisme dalam sejarah JAD.

IPAC memiliki data bila kebanyakan anggota JAD berakar dari gerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (NII) yang aktif sejak 1950 sebelum dilarang pemerintah Orde Baru. Meski dilarang, NII secara sembunyi-sembunyi masih aktif berdakwah dalam lingkup kecil. Mereka memang tak lagi angkat senjata untuk mengaplikasikan hukum syariah di Indonesia. Namun sebagai gantinya, mereka menerapkan hukum syariah dalam skala komunitas.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa NII, yang menolak semua sistem dari pemerintah, memiliki sistem pendidikan, fasilitas kesehatan, dan pusat ekonomi untuk menyebarkan ideologinya. NII di daerah Jawa Barat mendirikan banyak pesantren dan fasilitas pendidikan dari TK hingga SMA, salah satunya adalah Yayasan Zakaria di Bandung. Yayasan Zakaria yang aktif sejak 1990-an konon merekrut tenaga pengajarnya dari ITB dan IKIP Bandung.

Iklan

NII diyakini masih aktif di beberapa wilayah Jawa Barat, Banten, Sulawesi dan Sumatera. NII memiliki Komando Wilayah yang tersebar di berbagai daerah. Di Jawa Barat komando wilayah NII tersebar di Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Bandung dan saling terhubung. Setiap komando wilayah memiliki sistem pendidikannya sendiri lewat sekolah atau pesantren yang dikepalai oleh seorang amir.

IPAC menawarkan solusi bahwa strategi NII, yang mendirikan yayasan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan koperasi untuk menyebarkan ideologi sekaligus menjamin keikutsertaan warga pendukung, bisa digunakan juga untuk program deradikalisasi di daerah-daerah rawan ekstremis seperti Solo, Jawa Tengah; Bima, Nusa Tenggara Barat; dan Poso, Sulawesi Tengah.

“Strategi tersebut adalah satu model yang bisa dikaji untuk masyarakat yang memiliki sejarah ekstremisme adalah dengan fokus ke pelayanan sosial melalui pemimpin agama yang menolak jihad dengan kekerasan,” tulis IPAC.

Selain menggunakan pola pemberdayaan sosial dan ekonomi, IPAC mengatakan bahwa deradikalisasi bisa dilakukan oleh para ulama atau ustaz dengan menyebarkan dakwah Islam moderat. “Para ustaz militan bisa merekrut banyak anggota dalam kelompok ekstrem, hal tersebut juga bisa dibalik dengan mengajak ustaz yang moderat,” tulis IPAC dalam laporannya.

Salah satu contoh berhasilnya sekolah deradikalisasi adalah pesantren Al Hidayah di Deli Serdang, Sumatera Utara yang fokus menangani anak-anak teroris. Sejauh ini pesantren Al Hidayah menampung 20 anak teroris. Sayangnya strategi penangkalan ekstremisme dengan jalan pendidikan memang belum terlalu umum di Indonesia. Padahal, jika fokus pemerintah dalam mencegah ideologi radikal bisa dilakukan sedari dini, pergerakan ekstrem kemungkinan bisa ditekan.

Pengamat terorisme Taufik Andrie dari Yayasan Prasasti Perdamaian mengatakan program deradikalisasi yang ada sekarang belum jelas tingkat keberhasilannya. Biar begitu, menurutnya, para mantan teroris seharusnya terus didampingi dan dibina setelah keluar dari penjara. Minimal, pemerintah mengupayakan mereka agar memperoleh pekerjaan.

“Kami menyebutnya dengan disengagement,” ujar Taufik kepada VICE Indonesia. “Deradikalisasi selama ini banyak ditolak para narapidana terorisme. Dengan disengagement kami membuka ruang interaksi sosial dalam masyarakat agar narapidana bisa merasa diterima dan ada bantuan ekonomi agar mandiri.”