Melawan Oligarki

Penundaan RUU Pertanahan Jadi Kado Manis di Hari Tani Nasional

RUU Pertanahan ini dianggap tidak memihak petani sehingga aliansi masyarakat kompak menentang.
Penundaan RUU Pertanahan Jadi Kado Manis di Hari Tani Nasional
Aksi mahasiswa, termasuk untuk menolak RUU Pertanahan, digelar di depan Gedung DPR RI, Senayan, pada Selasa (24/9). Foto oleh Elisabeth Glory

Bertepatan dengan Hari Tani Nasional yang jatuh pada hari ini (24/9), 200 petani berunjuk rasa di Istana Merdeka, Jakarta untuk menentang RUU Pertanahan yang kemarin sempat dikebut DPR di akhir masa jabatannya. Unjuk rasa tetap dilakukan meski pengesahan RUU Pertanahan sudah diumumkan ditunda. Unjuk rasa ini masih relevan karena RUU Pertanahan sudah dimasukkan dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.

Iklan

Pembatalan pengesahan RUU Pertanahan adalah imbas dari demonstrasi dan protes besar di berbagai kota di Indonesia. Dalam pertemuan dengan anggota DPR kemarin (23/9) di Istana Merdeka, Jokowi meminta penundaan pengesahan 4 RUU kontroversial, yakni RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, dan RUU Permasyarakatan.

"Tadi siang saya bertemu dengan Ketua DPR serta Ketua Fraksi, Ketua Komisi, yang inyinya tadi saya minta agar pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU KUHP, kemudian, keempat, RUU Permasyarakatan, itu ditunda pengesahannya untuk kita bisa mendapatkan masukan-masukan, substansi yang lebih baik sesuai keinginan masyarakat," kata Jokowi, dilansir CNN Indonesia. Sorenya, Komisi II DPR dalam rapat internal mereka memutuskan untuk tidak membawa RUU Pertanahan ke Sidang Paripurna hari ini (24/9).

Datang pukul 9 pagi, massa aksi berasal dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Komite ini berisi gabungan sejumlah organisasi, yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Karawang (Sepetak), BEM Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Forum Kesejahteraan Petani (Forma Tani).

“Di samping kita [ada] Kementerian Pariwisata, [yang mencanangkan] 10 lokasi wisata baru. Imbasnya, ada banyak penggusuran-penggusuran. Masyarakat [Pulau] Komodo dihilangkan [hak] sosial ekonominya. Sesekali kita pindahkan kementerian ini ke tengah hutan,” ujar orator demo, merujuk pada lokasi Kemenpar yang berdekatan dengan Istana Merdeka, dikutip dari CNN Indonesia.

Iklan

Agustus lalu, gabungan pakar agraria, guru besar, aktivis, dan masyarakat sipil sempat merilis kajian terkait pokok-pokok masalah dalam RUU yang sudah masuk Prolegnas prioritas sejak 2009 ini. Menurut kajian ini, RUU Pertanahan gagal menjawab 5 krisis agraria yang sudah terjadi di Indonesia dan bertentangan dengan peraturan sebelumnya, khususnya UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (biasa disebut UUPA).

Katadata mendaftar, setidaknya ada 5 masalah dalam RUU Pertanahan, yakni mengesampingkan Reforma Agraria, perpanjangan izin Hak Guna Usaha sampai 90 tahun dan merahasiakan nama pemegang izinnya, menghidupkan kembali hukum kolonial soal kepemilikan tanah, serta ancaman pidana untuk korban penggusuran.

Ketua Pusat Studi Hukum Agraria Universitas Islam Indonesia Mukmin Zakie menegaskan hal ini: Pasal-pasal dalam RUU Pertanahan rentan mengkriminalisasi masyarakat dan aktivis agraria.

“Banyak pasal yang diambil RUU ini yang juga diatur oleh UUPA. [Kita bertanya-tanya] Filosofi [RUU Pertanahan] dasarnya apa? Liberalis atau kapitalis? Kalau UUPA jelas berdasarkan hukum adat, populis, sangat merakyat, dan membela kepentingan petani. Sekarang ini [UU Pertanahan] mau ke mana orientasinya? Nggak ada pasal yang menjelaskan bagaimana penyelesaian masalah masyarakat adat jika tanahnya diambil. Itu contoh. Ketika mereka [petani] mempertahankan [tanah] dengan LSM, eh, disebut penyebab konflik dan dikriminalisasi. Gimana logikanya?” ujar Mukmin kepada Tirto.

Iklan

Ia mengacu kepada RUU Pertanahan Pasal 91 yang berbunyi, “Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp500 juta.”

Mukmin curiga RUU Pertanahan diloloskan karena DPR mengatur hasil kajian akademik sesuai dengan keinginan mereka. “Memang di dalam peraturan perundang-undangan nggak mesti naskah akademik [berasal] dari perguruan tinggi, tapi cukup meminta pendapat pakar. Takutnya mereka asal pilih [pakar] yang [jawabannya] sesuai keinginan mereka,” tutup Mukmin.

Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria, karena konflik agraria, 41 orang diduga tewas, 546 orang dianiaya, dan 51 orang tertembak sepanjang 2014-2018. Konflik terbanyak terjadi antara warga dan swasta (selama 2018 ada 244 kasus), disusul konflik warga-pemerintah (58), antarwarga (31), warga-BUMN, dan warga-aparat (21).

Ini adalah kali kedua tahun ini RUU Pertanahan batal disahkan. Pembatalan sebelumnya terjadi pada 16 Juli 2019 dengan alasan klise: masih perlu kajian.