Kebebasan Pers

Tewasnya Mantan Wartawan di Sumut Tambah Rapor Merah Perlindungan Pers Era Jokowi

Jika terbukti Martua tewas saat melakukan kerja jurnalistik, ia menjadi wartawan Indonesia ke-10 yang meninggal karena berita tiga dekade terakhir. Delapan di antaranya tewas dibunuh.
Tewasnya Dua Mantan Wartawan di Sumut Tambah Rapor Merah Perlindungan Pers Era Jokowi
Foto ilustrasi korban pembunuhan oleh Bay Ismoyo/AFP

Dua lelaki yang salah satunya mantan wartawan ditemukan mati mengenaskan di Desa Wonosari, Kecamatan Panai Hilir, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara pada Rabu dan Kamis, 30-31 Oktober 2019. Kematian mereka diduga terkait konflik lahan antara perusahaan sawit dan warga.

Jasad Maraden Sianipar (55) dan Martua Parasian Siregar (42) ditemukan Polsek Panai Hilir terbenam di parit belakang gudang PT Sei Alih Barombang yang tertutup rerimbunan semak. Sabetan senjata tajam tersebar di kepala, badan, lengan, punggung, dada, dan perut korban. Yang lebih mengerikan, tangan kiri Maraden putus.

Iklan

Polisi turun tangan setelah Burhan Nasution melaporkan hilangnya Maraden. Sehari sebelum ditemukan jadi mayat, pada Selasa (29/10) Maraden meminjam sepeda motor Burhan untuk menengok kebunnya. Namun, hingga malam hari Maraden tak kunjung datang mengembalikan motor sehingga besoknya, Burhan melapor ke polisi.

Warga sempat melihat Maraden memboncengkan Martua masuk ke kawasan perkebunan sawit PT SAB. Salah satu saksi yang bertemu keduanya di warung kopi juga sempat mengingatkan Maraden untuk tidak masuk perkebunan.

"Saya sempat melarang beliau lantaran takut terjadi hal buruk. Sebab, hari Senin lalu saya melihat tiga orang lelaki diduga penjaga palang keluar masuk perkebunan sambil membawa sajam [senjata tajam-red]. Namun, korban tak peduli dan meninggalkan kami berdua di warung kopi,” kata saksi yang namanya tidak disebutkan kepada Metro24.

Imbauan itu bersangkutan dengan peristiwa beberapa hari sebelumnya. Menurut teman korban yang bernama Johan, korban sempat cekcok dengan orang yang mengaku pemilik lahan setempat. "Beberapa hari lalu sebelum kejadian, korban pernah cekcok dengan orang yang mengaku pemilik lahan didaerah itu," kata Johan kepada Suluh Sumatera.

Setelah mendapat keterangan warga, polisi dan Burhan kemudian menyisir sekitaran PT SAB pada . Dua jam kemudian, mayat Maraden ditemukan terbenam di parit. Sedangkan jenazah Martua baru ditemukan keesokan paginya (31/10). Motor Burhan juga didapati sudah hancur. Polisi menyimpulkan keduanya dibunuh oleh lebih dari satu pelaku.

Iklan

Maraden adalah caleg dari Partai NasDem di Pileg Labuhanbatu 2019, tapi kalah. Sedangkan Martua pernah menjadi wartawan di media lokal Pilar Indonesia Merdeka (Pindo Merdeka) dan kini berprofesi sebagai aktivis LSM. Martua dikenal sebagai aktivis yang mengavokasi warga dalam konflik lahan antara warga VS PT SAB.

"Korban Sanjay memang giat menyoroti dan mengkritisi soal lahan itu," kata Ketua LSM Lembaga Pemantau Independen Aset Negara (LIPAN) Syamsul Sitepu yang bersahabat dengan Martua, kepada Metro24. Syamsul menambahkan, di perkebunan PT SAB sering terjadi kekerasan antara warga dan orang yang menjaga lahan. Latar ini membuat ada kecurigaan motif pembunuhan terhubung dengan konflik lahan.

Seminggu setelah pembunuhan terjadi, tim khusus gabungan Polda Sumut dan Polres Labuhanbatu mengaku sudah mengetahui pelakunya. "Identitasnya [si pelaku] sudah diketahui, tapi masih belum bisa tertangkap," demikian pesan Kapolres Labuhanbatu AKBP Agus Darojat kepada BBC Indonesia.

Status Martua sebagai mantan wartawan dan aktivis membuat kasus ini menjadi sorotan nasional. Ketua Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Erick Tanjung lewat Tempo mendesak aparat segera menyelesaikan kasus ini. Jika terbukti Martua tewas karena sedang melakukan kerja jurnalistik, dikutip dari BBC Indonesia, ia menjadi wartawan ke-10 yang meninggal karena berita dalam tiga dekade terakhir di Tanah Air. Delapan di antaranya tewas dibunuh. Salah satu kasus yang terus menyita perhatian misalnya pembunuhan jurnalis Fuad Muhammad Syafrudin atau biasa disapa Udin.

Iklan

Statistik kekerasan pada wartawan di Indonesia masih tidak membahagiakan. Berbagai kasus menimpa pekerja media sekalipun kita hidup di alam pascareformasi. Angkanya bahkan malah memburuk di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang notabene sipil.

AJI Indonesia mencatat, sepanjang Mei 2017-Mei 2018 saja ada 75 kasus kekerasan terhadap wartawan. Selama 2019, tercatat 42 kasus kekerasan terhadap wartawan yang hampir seluruhnya tidak diproses hukum. Menurut Ketua Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung, angka kekerasan tertinggi kepada wartawan terjadi pada 2016, meliputi 81 kasus.

Bentuk-bentuk kekerasan kepada wartawan bisa berupa kekerasan fisik, persekusi daring, dan persekusi di lapangan ketika wartawan liputan. Erick mengaitkan angka tertinggi di 2016 dengan tahun politik Pilkada Jakarta. Erick menambahkan, tiga tahun terakhir polisilah yang paling sering melakukan kekerasan kepada wartawan. Termasuk berbagai enam kasus pemukulan, intimidasi, sampai perampasan alat kerja dilakukan polisi, yang menimpa wartawan ketika meliput demonstrasi mahasiswa akhir September lalu. Itu baru kasus yang tercatat, belum mencakup intimidasi yang tidak dilaporkan resmi oleh jurnalis yang jadi korban.

Padahal sejatinya sudah ada nota kesepakatan antara Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia untuk memastikan jurnalis bisa bekerja dengan leluasa. Komite Keselamatan Jurnalis lantas mendesak MoU itu ditingkatkan statusnya agar menjadi Peraturan Kapolri. "MoU tersebut belum efektif membendung kekerasan terhadap jurnalis, utamanya pelaku kekerasan yang berasal dari anggota Polri," kata Juru Bicara Komite Sasmito Madrim lewat keterangan tertulis.