The VICE Guide to Right Now

Pemerintah dan DPR Tetap Meyakini RUU yang Bikin Mahasiswa Demo Tak Bermasalah

RUU KUHP ditunda sampai batas waktu tak ditentukan berkat aksi mahasiswa terbesar setelah 98. Tapi mahasiswa belum bisa dibilang menang. Medan perang baru akan terbuka di MK.
Pemerintah dan DPR Tetap Meyakini RUU yang Bikin Mahasiswa Demo Tak Bermasalah
Salah satu spanduk peserta aksi di depan DPR pada Selasa 24 September 2019. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE.

Pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat menunda pengesahan empat rancangan undang-undang kontroversial, setelah ribuan mahasiswa menggelar aksi dua hari berturut-turut di berbagai kota. Beleid yang batal disahkan di akhir paripurna bulan ini termasuk RKUHP dan Pemasyarakatan, yang dianggap melengkapi revisi UU KPK memperlemah upaya pemberantasan korupsi. Gelombang aksi itu menjadi gerakan mahasiswa paling massif setelah demonstrasi menumbangkan Suharto pada 1998.

Iklan

Selepas demonstrasi berakhir ricuh, Ketua DPR Bambang Soesatyo kepada awak media mengatakan pengesahan RKUHP ditunda sampai batas waktu tidak ditentukan. Bambang awalnya hendak menemui mahasiswa untuk berdialog. Apa lacur, tindakan aparat menembakkan gas air mata dan meriam air ke arah mahasiswa membuat aksi berakhir ricuh. Dikabarkan lebih dari 200 mahasiswa terluka dan tiga lainnya dalam kondisi kritis, tengah dirawat di beberapa RS ibu kota.

"Titik temunya penundaan sampai waktu yang tidak ditentukan, bisa sekarang periode ini atau yang akan datang. Artinya bisa periode yang akan datang," kata Bambang dikutip Kompas.com.

Pemerintah dan DPR berharap, penundaan ini bisa menurunkan ketegangan di tengah publik. Ia juga menjamin seluruh fraksi di DPR sepakat menunda dua beleid kontroversial tersebut. Bambang pun meminta demonstran untuk tak lagi melakukan unjuk rasa, sebab dia mengklaim seluruh tuntutan mahasiswa sudah dipenuhi.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Manik Marganamahendra mengatakan tujuan aksi mahasiswa pada dasarnya adalah untuk menggagalkan rancangan UU bermasalah dan KPK, bukan cuma soal penundaan.

"Kami menunggu sampai sidang paripurna DPR betul-betul tidak mengesahkan semua UU bermasalah," kata Manik. "Kami juga mengupayakan pencabutan UU KPK. Untuk menggelar aksi atau tidak, itu tergantung situasi. Jika Jokowi tetap tidak mengeluarkan Perppu [untuk revisi UU KPK] maka kami akan menempuh judicial review."

Iklan

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Wiranto melempar pernyataan serupa seperti Bamsoet. Menurutnya demonstrasi hingga 30 September mendatang tak lagi relevan karena pemerintah sudah menuruti kemauan publik. Dia pun menyinggung agar mahasiswa mencari jalan yang lebih etis ketika menyampaikan aspirasi.

“Dengan penundaan yang didasarkan atas kebijakan pemerintah mendengarkan rakyat, maka demo yang menjurus RUU Pemasyarakatan dan lain-lain tidak relevan lagi karena bisa diberi masukan di jalur bukan di jalan, yang lebih etis," ujar Wiranto.

Sejalan dengan dua pejabat tersebut, Kepala Staff Kepresidenan Moeldoko juga meminta publik untuk memahami Presiden Joko Widodo yang telah meminta penundaan tersebut. Sebab, katanya, posisi Jokowi juga sedang tidak mudah.

“Yang perlu dipahami oleh teman-teman semuanya bahwa pemerintah saat ini telah bersepakat dengan DPR untuk mengkaji lebih jauh tentang revisi UU KUHP [pengesahannya ditunda], berikutnya [RUU] Pertanahan, berikutnya [RUU] Pemasyarakatan dan beberapa yang lain," kata Moeldoko, Selasa.

Namun apa yang telah diklaim pemerintah sepertinya tak sejalan dengan tuntutan mahasiswa yang sebenarnya. Dari tujuh tuntutan mahasiswa, sebenarnya tak ada satu kata pun yang menyinggung soal penundaan. Permintaan demonstran jelas: cabut revisi UU bermasalah. Tuntutan paling keras yang didengungkan mahasiswa adalah pencabutan UU KPK yang disahkan dalam jangka waktu super kilat.

Iklan

Satu-satunya cara untuk membatalkan UU KPK tersebut adalah dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan mendesak Jokowi untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun opsi kedua ditolak Jokowi mentah-mentah.

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mempertanyakan sikap Jokowi yang mendua antara mau menunda rancangan UU dan penolakan pencabutan UU KPK, yang cuma butuh waktu 11 hari dari pengajuan draft hingga pengesahan.

"Kenapa untuk KPK tidak diperlakukan hal yang sama begitu. Terhadap undang-undang yang lain, Presiden berani mengambil sikap itu, tapi kenapa untuk undang-undang yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi, itu tidak diambil," ujar Oce.

Oce berpendapat sikap Jokowi yang dingin dalam merespon tuntutan pencabutan UU KPK justru akan semakin menguatkan dugaan masyarakat bahwa ada kekuatan koruptif yang bermain di balik pengesahan UU anti-rasuah tersebut.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan janji Jokowi soal pemberantasan korupsi tak lebih dari sekedar halusinasi. Sebab administrasi di bawah Jokowi tak menunjukkan komitmen itu.

"Ini sudah berkali-kali terjadi. Sikap yang menunjukkan ketidakberpihakan pada pemberantasan korupsi. Pertama, Jokowi langsung menyerahkan nama-nama capim KPK yang kita pandang bermasalah. Soal revisi UU KPK, ia punya waktu 60 hari tetapi langsung setuju. Kini saat ada opsi Perppu, Jokowi kembali menolak," kata Kurnia.

Kurnia juga mengatakan pihaknya bersama sejumlah lembaga akan mengajukan peninjauan kembali terhadap UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Namun belum jelas tanggal definitif pengajuan judicial review tersebut. Pekan lalu, 18 perwakilan mahasiswa juga sepakat menggugat ke MK.