Demonstrasi Anak STM

Daripada Ancam Setop KJP Pelajar Ikut Demo, Disdik Diminta Beri Pendidikan Politik

Ucapan Kadisdik DKI soal anak STM ikut demo "sudah miskin ya ikut-ikutan rusak masa depannya" panen kecaman. Unicef ikut meminta pelajar dihormati haknya oleh aparat dan pemerintah Indonesia.
Disdik DKI Ancam Setop KJP Anak STM Ikut Demo, Aspirasi Politik Pelajar Mustahil Dihambat
Sebagian pelajar SMK terpantau mengikuti aksi di depan Gedung DPR pada 24 September 2019. Foto oleh Muhammad Ishomuddin/VICE

Pemerintah menempuh berbagai cara untuk memastikan demonstrasi mahasiswa dan pelajar sekolah menengah tak terulang di masa mendatang. Usai Menristekdikti memanggil 130 rektor untuk meredam demonstrasi, giliran Dinas Pendidikan Jakarta lah yang ikut bergerak. Selasa (1/10) kemarin, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono mengumumkan siswa yang ikut-ikutan demo akan mendapatkan peringatan, serta pembinaan bersama orang tua. Sedangkan yang terbukti melakukan tindakan kriminal diancam sanksi pemberhentian fasilitas Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Iklan

Target ancaman ini tentu saja anak-anak sekolah menengah kejuruan (dan selama gelombang demonstrasi kemarin lebih populer disebut anak STM). Ribuan pelajar sekolah dari SMK se-Jabodetabek jurusan teknik terlibat cukup aktif selama unjuk rasa menolak RUU bermasalah di depan Gedung DPR. Ancaman menyetop KJP dirasa efektif, karena rata-rata pelajar dari sekolah macam itu diandaikan berasal dari kelompok ekonomi rentan, sehingga butuh subsidi pemerintah untuk menyelesaikan pendidikan sampai tamat SMK.

"Kalau dia kriminal bisa pemberhentian KJP, tapi kalau sifatnya ikut-ikutan dan mendapat peringatan dan pembinaan pada orangtua itu barang kali dikumpulkan jangan diulangi ya KJP-nya tetap jalan," ucap Ratiyono kepada awak media di Balai Kota. Menurut Ratiyono seharusnya selepas sekolah, pelajar langsung pulang saja. Dia juga menegaskan bahwa pelajar lebih baik mengikuti aksi unjuk rasa ketika sudah duduk di bangku kuliah.

Pencabutan KJP ini menurut Ratiyono harus dilakukan agar para pelajar SMK sadar diri dengan statusnya. "Kalau [KJP] dihentikan udah miskin ya ikut-ikutan rusak masa depannya, tapi tetap diingatkan 'kamu sudah miskin jangan ikut-ikutan'."

Ucapan Ratiyono menuai kecaman dari pengguna Internet, sebagai pernyaataan tidak patut sekaligus merendahkan.

Pengamat pendidikan Eko Prasetyo, menilai ancaman Disdik DKI tidak akan efektif membendung aspirasi politik pelajar. Alih-alih melarang dan menggembosi partisipasi pelajar STM, menurut Eko justru sebaiknya sekolah memberi edukasi sejak dini mengenai berbagai jenis partisipasi politik.

Iklan

"Secara historis Tan Malaka dan Soekarno itu berpolitik ketika muda. Tan Malaka sebelum usia 17 sudah aktif di pergerakan SMA dengan Soekarno yang waktu SMA sudah menjadi anak didik Tjokroaminoto. Malaka sejak muda sudah mendirikan sekolah rakyat dan tinggal di organisasi progresif pertama, yaitu Sarekat Islam," kata Eko saat dihubungi VICE.

Eko menambahkan, aspirasi politik tidak ada kaitannya dengan status ekonomi seorang pelajar. Informasi kini dapat diperoleh dengan sangat mudah. Malah, penyampaian opini dapat dilakukan sesederhana mengunggah story di Instagram. Sehingga susah mengharapkan pelajar SMA, atau malah SMP, sepenuhnya steril dari partisipasi politik. Negara-negara lain yang sistem demokrasinya lebih mapan, unjuk rasa pelajar sekolah sudah menjadi hal yang lumrah. Hal itu terlihat dari tingginya partisipasi pelajar yang belum dewasa turun ke jalan menuntut kebijakan soal perubahan iklim di berbagai negara, seperti digalang Greta Thunberg.

Eko menambahkan bahwa pemerintah harusnya lebih khawatir pada minimnya kesadaran pelajar pada korupsi dan perusakan lingkungan. Apabila anak-anak belum bisa melaksanakan partisipasi politik dengan rapi, ia menyatakan itu tugas sekolah yang gagal diejawantahkan. "Sekarang pelajaran kewarganegaraan dan juga pendidikan sikap hanya condong ke hal normatif, tidak adaptif ke minat dan juga kebutuhan anak-anak," tandasnya.

Hal lain yang menurutnya perlu dijadikan perhatian juga adalah penanganan aparat terhadap anak-anak yang cenderung represif. Pekan lalu, selepas unjuk rasa besar di depan DPR, polisi menggelandang 570 pelajar ke Polda Metro Jaya. Hingga dua hari lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan 10 pelajar belum dilepaskan oleh polisi.

Iklan

"Sudah ada peraturan Kapolri tentang pengendalian massa, namun belum ada yang pendidikan sistematis pada polisi untuk mengenali dan juga memahami cara penanganan anak demonstran," kata Eko.

Pendapat senada disampaikan Debora Comini, perwakilan United Nations Children's Fund (UNICEF) untuk Indonesia. Debora, melalui keterangan tertulis, mendorong pemerintah Indonesia menjamin anak-anak terbebas dari kekerasan, mendapatkan perlindungan, dan rasa aman saat menyatakan pendapat di publik tanpa intimidasi pihak manapun.

"Anak-anak dan remaja di Indonesia memiliki hak untuk mengekspresikan diri dan terlibat dalam dialog tentang masalah yang memengaruhi mereka," kata Debora

Debora menegaskan, penangkapan dan penahanan anak di bawah 18 tahun hanya bisa dilakukan selama maksimum 24 jam, dan setiap anak berhak dipisahkan dari tahanan dewasa. UNICEF juga mengingatkan aparat agar pelajar yang ditahan memperoleh bantuan hukum dan asistensi lainnya; dilindungi dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan kejam, dan perlakuan yang merendahkan martabat.