FYI.

This story is over 5 years old.

Gender dan LGBTQ

Supaya Tak Dipersekusi, Kaum LGBTQ Myanmar Menjadi Paranormal

Para LGBT komunitas nat kadaw disebut sebagai istri roh halus. Makanya mereka tak diserang sama penduduk mayoritas Myanmar yang konservatif.
Seorang penari nat kadaw pentas di Taung Byone, festival nat terbesar di Myanmar. Semua Foto oleh penulis.

Ketika remaja Myanmar bernama Htet Htet mengaku pada keluarganya sebagai transgender, reaksi yang muncul sangat brutal.

"Ayah mengusir saya dari rumah," kata Htet Htet, yang nama aslinya kami ganti demi melindungi identitasnya. Ayahnya tidak bisa terima harus tinggal bersama seorang transgender, biarpun itu anak kandungnya sendiri. Lantaran tidak memiliki banyak pilihan, Htet Htet meninggalkan kota asalnya dan menjadi nat kadaw, alias "istri roh."

Iklan

Biarpun 90 persen populasi Myanmar adalah penganut agama Buddha, banyak juga penduduk lokal masih memuja roh setempat bernama nats. Warga meyakini nat kadaw—semacam dukun—bisa dirasuki makhluk spiritual yang akan memberikan nasehat hidup penting. Upacara kerasukan arwah ala Myanmar itu (dengan kostum dan makeup tebal) awalnya mulai dilakukan oleh lelaki gay ataupun perempuan transgender awal dekade 1980'an. Kini, upacara arwah ini adalah satu-satunya jenjang karir 'normal' bagi lelaki gay dan perempuan trans supaya diterima masyarakat setempat tanpa khawatir persekusi.

Pengalaman Htet Htet dengan keluarganya bukanlah hal yang asing di negara Asia Tenggara yang cenderung konservatif terhadap penyuka sesama jenis. Intoleransi terhadap komunitas LGBTQ masih sangat tinggi di ASEAN. Malah homoseksualitas di Myanmar sepenuhnya ilegal karena "melanggar hukum alam." Di mata hukum warisan kolonial Inggris, komunitas LGBTQ masih dianggap warga kelas dua.

Akademisi Myanmar, Ma Thanegi, yang telah menulis banyak buku tentang teologi nat mengatakan ada tiga profesi terhormat tersisa bagi kaum transgender di negaranya: jadi penata kecantikan, desainer fashion, atau dukun arwah. Kedua profesi yang disebut sebelumnya butuh "investasi uang yang besar" untuk standar Myanmar kata Ma Thanegi. Setidaknya buat buka salon atau belajar merancang busana. Karena itulah, menjadi nat kadaw lebih murah meriah.

Iklan

Tentu saja melakoni prosesi nat kadaw tidak hanya demi mendapatkan uang. Profesi tersebut juga menjauhkan mereka dari stigma yang biasanya menimpa kaum queer di negara seperti Myanmar. "Mereka menghadapi diskriminasi sepanjang hidup mereka—tapi sebagai nat kadaw, mereka dipuja," kata Ko Hla Myat Tun, aktivis yang bekerja bareng dua organisasi LGBTQ Myanmar, &Proud dan Colors Rainbow LGBTQ Network. "Lewat pekerjaan ini, mereka mendapatkan rasa hormat dan menghindari diskriminasi."

Seorang nat kadaw memberi nasehat kepada warga dalam Festival Bo Bo Gyi Nat.

Beberapa dekade terakhir, perkumpulan nat kadaw membesar. Kelompok paranormal ini berevolusi menjadi semacam gabungan antara acara keagamaan sekaligus karnaval dengan tujuan menghibur warga. Motif ekonomi itu semakin jelas terlihat di Festival Bo Bo Gyi Nat yang diadakan akhir September lalu di Amarapura, dekat Kota Mandalay. Seiring dimulainya musim hujan, nat kadaw yang mengenakan kostum mewah menyalurkan arwah spiritual dan menjawab pertanyaan para warga. Kemudian, nat kadaw yang sedang kerasukan menari ditemani musik yang sangat keras. Warga dan penampil (ya teknisnya, si arwah yang sedang merasuki) banyak menengguk Johnnie Walker Red Label. Di pukul 10 pagi, Amarapura tidak terasa seperti desa tapi justru seperti sebuah klub malam.

Htet Htet dan sekelompok kawannya menghadiri event Amarapura tersebut sebagai bagian dari pelatihan nat kadaw mereka. Tidak terlihat satu orangpun yang memiliki masalah dengan remaja-remaja gay dan transgender ini berkeliaran dan bersosialisasi di tempat umum. "Lewat profesi ini, saya bisa membantu orang menyelesaikan masalah mereka," jelas Htet Htet di tengah upacara. "Saya juga mendapat banyak kesempatan berjoget dan saya suka sekali berjoget!" Teman-teman Htet mengamini pernyataannya.

Iklan

Seorang nat kadaw berjalan di sela-sela kerumunan festival nat Myanmar.

Biarpun tengah berada dalam suasana perayaan, ketika diajak membicarakan pengalaman mereka sebagai kaum LGBTQ di Myanmar, paras nat narasumber saya langsung berubah suram. "Orang di negara ini masih menganggap homoseksualitas itu tidak alami, jadi banyak diskriminasi," kata U Kyaw Kyaw Moe, salah satu penyelenggara festival. Di usia 53-tahun, dia telah membantu mengadakan festival nat tanpa putus selama hampir 30 tahun. Dia sudah pernah mengalami sendiri diskriminasi seperti LGBTQ Myanmar lainnya. "Awalnya orang tua saya memukuli saya, kemudian teman-teman memukuli saya juga, kemudian bahkan guru juga ikut menghajar saya."

Iklim kultural yang tidak bersahabat menyebabkan komunitas LGBT di negara tersebut sangat akrab. Diskriminasi dan rasa amarah yang mereka hadapi telah menciptakan "rasa solidaritas yang sangat kuat" di Amarapura.

Solidaritas ini sangat terasa di Festival Taung Byone Nat yang juga diadakan di dekat Mandalay. Merupakan acara terbesar dalam kalender nat kadaw, ratusan nat kadaw berkumpul setiap tahunnya untuk bersosialisasi dan merayakan arwah, namun akibat menjangkitnya virus flu H1N1, festival Taung Byone tahun ini batal digelar.

Biarpun Myanmar tengah menghadapi pergeseran politik dan kultural yang cepat—pemerintahan junta militer yang berkuasa 50 tahun resmi lengser pada 2016 sehingga banyak embargo ekonomi AS dicabut—nyatanya masih sulit memperkirakan berapa banyak waktu yang dibutuhkan mengubah pandangan penduduk tentang komunitas LGBTQ. Kelompok LGBTQ cuma satu dari sekian kelompok minoritas di Myanmar tengah mengalami penindasan. Sorotan dunia sementara ini lebih terarah pada etnis muslim Rohingya yang berusaha kabur dari kekerasan di Provinsi Arakan, Myanmar. Warga muslim dibantai oleh tentara Myanmar yang dibantu belasan milisi sipil, memicu krisis kemanusiaan paling parah dalam sejarah Asia Tenggara. Bagi komunitas LGBTQ Myanmar, kesetaraan bagi mereka masih di awang-awang. Pemerintah sipil pimpinan Aung San Suu Kyi belum menunjukkan dukungan terhadap komunitas transgender maupun penyuka sesama jenis. Untuk sekadar hidup mandiri saja sangat sulit buat mereka.

"Pemerintah Myanmar tidak melihat hak LGBT sebagai isu hak asasi manusia," kata Ko Hla Myat Tun. Indikasi itu sangat jelas terlihat dari komentar yang dilontarkan pejabat tinggi pemerintah, Win Htein, saat percakapan teleponnya terungkap setelah dokumenter Life in the Shadows: Silent Suffering in Myanmar's LGBT+ Community rilis tahun lalu. Ketika ditanya tentang hak LGBT oleh seorang jurnalis asing, Htein mengaku tak peduli pada mereka. "Saya tidak tertarik… [Myanmar] itu tidak seperti negara barat. Isu gender itu tidak penting…kami tidak bisa memberikan prioritas terhadap isu ini."

Follow Nick Baker di Twitter.