FYI.

This story is over 5 years old.

Korea Utara

Korut Bikin Pelatihan Menambang Bitcoin, Dunia Resah

Jika sampai rezim totaliter itu mampu meraup untung dari bisnis mata uang digital, mereka akan memiliki pemasukan baru untuk program nuklirnya.
Pelatihan Mahasiswa di Pyongyang untuk topik Bitcoin. Foto oleh Associated Press.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Setahun belakangan, banyak orang menduga rezim Korea Utara sudah mulai mengincar keuntungan dari perdagangan bitcoin. Negara paling tertutup sedunia itu dituduh mencuri cryptocurrency, menimbun, bahkan menambangnya. Rumor yang awalnya hanya berdasar kecurigaan mulai menunjukkan titik terang. Mahasiswa di Universitas Teknologi Pyongyang—kampus yang pernah dituduh melatih peretas disponsori negara—baru saja menjalani kursus singkat soal tema cryptocurrency alias mata uang digital. Topik ini sebelumnya tak pernah masuk kurikulum pendidikan tinggi Korut. Kursus tersebut merupakan bukti paling sahih jika pemerintahan Diktator Kim Jong-un tertarik pada mata uang digital, dan khususnya Bitcoin. Meski kursus singkat tersebut tergolong normal untuk para mahasiswa, mengingat bitcoin merupakan topik yang sedang populer, sejumlah pakar keamanan digital mengatakan dunia perlu waspada. Sebab kursus ini digelar oleh rezim Korut yang berulang kali mendorong aksi peretasan di seluruh dunia, perdagangan manusia, dan sensor informasi. “Sebaiknya kita tidak naif menganggap kursus singkat soal Bitcoin ini sebagai program akademik untuk semata-mata kegiatan akademik. Segala hal di Korea Utara dievaluasi dan dikelola secara hati-hati oleh rezim,” kata Priscilla Moriuchi, Direktur Pengembangan Strategi dan Ancaman Internasional di firma keamanan Recorded Future, saat dihubungi VICE News. Awal November ini, Federico Tenga, penggagas startup Bitcoin Chainside berkewarganegaraan Italia, mengunjungi Pyongyang sebagai dosen tamu. Dia diminta mengajar puluhan pelajar terpandai Korut di bidang Teknologi Informasi soal bitcoin dan teknologi blockchain yang mendasarinya. Tenga mulanya menghubungi Pyongyang University of Science and Technology, satu-satunya sekolah yang didanai asing di Korut. Dia mengajukan tema diskusi panel soal bitcoin pada sebuah konferensi industri keuangan. Setelah Presiden Donald Trump melarang warga negara AS mengunjungi Korea Utara, kampus membatalkan konferensi tersebut. Tapi materi soal Bitcoin ternyata tetap dibahas tersendiri. Pihak universitas menghubungi Tenga dan mengundangnya mengajar soal bitcoin. “Tentu saja, [Korut] adalah negara yang janggal,” ujar Tenga. “Rasanya jadi dosen tamu di sini seperti pergi ke planet lain.” Tenga menghabiskan seminggu mengajar di Universitas Teknologi Pyongyang. Selama kunjungannya, dia memberi lima kuliah masing-masing berdurasi 90 menit untuk kelas berisi 40 pelajar dalam rentang usia 20-25 tahun, serta seminar ekstra untuk para dosen dan pengelola fakultas. Sebagian besar orang Korut yang dia temui fasih berbicara dalam Bahasa Inggris, kata Tenga saat dihubungi VICE News. Para pelajar sadar mengenai apa yang terjadi di dunia di luar Korea Utara dan mereka sejak lama sudah mendengar soal bitcoin. Kendati demikian, Tenga menegaskan mereka tidak tahu cara mining dan trading mata uang digital ini. Meski pengetahuan mereka soal Bitcoin terbatas, Tenga mengakui para mahasiswa Korut belajar sangat cepat untuk topik ini. Tenga mengaku hanya diizinkan mengunjungi tempat-tempat di luar universitas dengan pendampingan staf pemerintah—namun di dalam sekolah, dia boleh ke mana-mana seorang diri. “Di dalam kampus, tidak ada pengawasan sama sekali. Saya bebas berkeliaran sendirian dan tidak ada yang mengontrol saya—bahkan saat mengajar,” ujarnya. “Tidak ada petugas pemerintah Korut yang mengawasi materi ajar saya.”

Iklan

Empat bulan lalu, laporan dari Recorded Future, perusahaan intelijen keamanan yang didukung CIA dan Google, mengklaim penambangan bitcoin terjadi di Korea Utara. Kesimpulan itu didasarkan rekaman lalu lintas data internet dari negara tersebut. Tenga skeptis rezim Kim Jong-un sudah mampu menambang bitcoin sendiri—sebuah proses yang membutuhkan banyak komputer canggih dan khusus. Warga Korea Utara tertarik pada teknologi, jadi bisa saja ada pakar komputer di negara itu melakukan tes penambangan Bitcoin. Tapi, menurut Tengah, mustahil ada aktivitas menambang cryptocurrency yang berjalan rutin, apalagi disponsori negara. “Saya menjalankan bitcoin node sepanjang hari selama ke sana, jadi mungkin orang-orang yang mengawasi lalu lintas internet Korea Utara berpikir seseorang sedang melakukan mining,” ujar Tenga. Node bitcoin adalah sebutan untuk komputer yang mengandung keseluruhan blockchain bitcoin, fungsinya membantu memverifikasi semua transaksi yang terjadi dalam jaringan. Tenga diberi akses internet selama berada di Universitas Pyongyang. Selama menyambangi Ibu Kota Korut, Tenga bahkan dibolehkan mengakses situs-situs seperti Twitter dan Google, meski dia hampir yakin bahwa aktivitasnya online dipantau intelijen pemerintah.

Seandainya belum mampu secara teknologi, setidaknya Korut sedang berusaha memahami keuntungan dari bisnis mata uang digital. “[Universitas tersebut] menggelar kursus ini, mendatangkan pakar asing, bahkan mengizinkan orang asing mendidik pelajar Korut dan pejabat negara. Buat saya, minimal ini menandakan Korut menyadari pentingnya bitcoin dan cryptocurrency sebagai sumber pemasukan bagi rezim,” ujar Moriuchi dari Recorded Future. Pyongyang University of Science and Technology tidak merespons permintaan klarifikasi dari VICE News soal tujuan kursus ini. Setidaknya seorang juru bicara menyampaikannya pada NK News: “Kursus singkat kami dimaksudkan untuk mendampingi DPRK dengan membangun kapasitas yang mendukung efektivitas perkembangan dan menguntungkan orang-orang di DPRK.” Saat ditanya mengenai risiko adanya aktivitas bitcoin ilegal karena kursus tersebut, sang jubir menambahkan “Kami sangat sadar akan sanksi dan risiko penyalahgunaan sumber daya dan cara-cara [menggunakannya], dan mengurus untuk menghindari area sensitif atau terlarang.” Awal tahun ini, perusahaan pengamanan cyber AS FireEye menuduh Pyongyang menyerang sekurang-kurangnya tiga perusahaan cryptocurrency Korea Selatan dan menggunakan unsur bitcoin anonim untuk menghindari sanksi finansial yang diberlakukan AS dan negara-negara lain. Korut sejak tahun lalu sudah diblokade secara ekonomi oleh negara anggota PBB karena ngotot menjalankan rangkaian tes peluru kendali lintas benua serta meledakkan bom nuklir. Sanksi ekonomi terbaru dari Dewan Keamanan PBB, misalnya, memblokade akses ekspor tekstil Korut ke pasar internasional hingga 90 persen. Adanya sanksi membatasi kemampuan Pyongyang mendapatkan devisa dan pemasukan untuk membiayai ambisi nuklirnya. Bank-bank di Cina, yang sangat lamban menghentikan dukungan atas rezim Kim Jong-un, belakangan akhirnya berhenti memberi pinjaman ataupun memfasilitas ekspor-impor dari Korea Utara. Keputusan perbankan Cina itu semakin mengisolasi perekonomian negara tersebut. Karena itulah, dengan terlibat dalam bisnis Bitcoin yang kuat unsur anonimnya, Korut mendapat jalan keluar untuk mengakali sistem perbankan tradisional dan sanksi PBB. “Tentu saja adanya sanksi ekonomi tempo hari adalah alasan Korut akhirnya terjun ke aktivitas mata uang digital,” ujar Luke McNamara, peneliti di FireEye, pada Bloomberg. “[Korea Utara] mungkim memandangnya sebagai solusi yang cukup murah untuk mendapatkan sumber pemasukan baru.” Warga Korea Utara memang ditaksir akan lebih mudah memahami konsep perdagangan bitcoin, karena mereka tidak terbiasa pada sistem perbankan tradisional. “Mereka tidak punya konsep perbankan sentral modern yang terkadang memepersulit orang-orang dalam memahami bitcoin karena mereka sudah terbiasa dengan sistem finansial lainnya,” kata Tenga. Meski Korea Utara memiliki sistem bank sentral, sebagian besar warga negara justru tidak punya rekening bank. Untuk aktivitas ekonomi sehari-hari, mereka hanya pakai uang tunai kertas yang peredarannya terbatas. Pyongyang University of Science and Technology—kampus digagas oleh Kim Chin Kyung, warga Kristen keturunan Amerika-Korea— sebelumnya pernah dituduh melatih pasukan peretas yang bekerja untuk pemerintah Korut. Kampus tersebut menyangkal tuduhan intelijen itu, yang dianggap tidak berdasar sama sekali.

Pengamat politik dan internasional tetap yakin, bahwa kampus ini punya andil melahirkan peretas yang bekerja untuk pemerintahan diktator Kim Jong-un. Kampus tersebut sering menggelar seminar “teknologi dan sains lanjutan,” yang diduga kuat mengajarkan mahasiswa IT keterampilan dasar untuk menjadi peretas. Korut sebelumnya sudah terbukti menjadi pelaku aksi pembobolan data dan email perusahaan Sony pada 2014 dan serangan WannaCry ransomware baru-baru ini.