FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Menjadi Introvert Justru Baik Bagi Kesehatan Mentalmu

Sejak kecil, manusia dianggap lebih ideal jika pandai bergaul dalam pendidikan maupun pekerjaan. Sementara penelitian psikologis menunjukkan sisi lain yang jarang dibahas.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

Resmi sudah dari suduh pandang ilmiah: manusia modern seringkali kecapekan dan kewalahan mengelola hubungan sosial. Dua pertiga orang dewasa mengatakan pada para peneliti di Durham University bahwa mereka membutuhkan istirahat lebih banyak, dalam penelitian global dengan 18,000 responden. Hal ini sebetulnya tidak terlalu mengejutkan, karena para ilmuwan telah mewanti-wanti bahwa jam kerja kita membuat kita terus-terusan kurang tidur. Yang lumayan mengejutkan adalah, manusia sebetulnya sangat butuh sendirian untuk beristirahat secara penuh. Membaca dan menghabiskan waktu seorang diri termasuk kegiatan-kegiatan paling restoratif, dianggap sebagai aktivitas ideal oleh 52,1 persen responden. Hasil penelitian tersebut mengesankan orang-orang akan lebih berbahagia kalau mereka memiliki pendekatan introvert pada hidup, di mana kamu mengisi ulang tenaga dengan cara menghabiskan waktu sendirian. Karena setidaknya setengah populasi adalah ekstrovert—yang tidak membutuhkan banyak waktu sendirian—saya mau tahu apakah sains telah keliru menilai perkara kebiasaan gaul ini. Para peneliti dari Durham University mengukur kepribadian para peserta, dan menemukan bahwa introvert cenderung menganggap tidak melakukan apa-apa dan menyendiri sebagai istirahat. "Namun bahkan para ekstrovert menganggap aktivitas sendirian ini sebagai istirahat, ketimbang bersosialisasi dengan kawan-kawan," ujar Profesor Felicity Callard, yang memimpin penelitian ini. "Menurut sampel secara keseluruhan, aktivitas-aktivitas sosial, seperti menghabiskan waktu dengan kawan-kawan dan keluarga, pergi minum-minum, berada dalam posisi rendah pada daftar aktivitas beristirahat. Hal ini tentu saja indikasi bahwa waktu menyendiri sangat bermanfaat bagi semua orang."

Sanna Balsaro-Palsule, mahasiswa Ph.D bidang psikologi dari University of Cambridge, berkata kita semua butuh waktu untuk mengisi ulang tenaga. Meski kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara berbeda, pilihan kebanyakan orang sebetulnya mirip-mirip: menyendiri. Dia melihat sebuah perbedaan antara beristirahat dan yang disebutnya sebagai "hal-hal restoratif." Beristirahat adalah kebutuhan mendasar manusia, sedangkan hal-hal restoratif adalah tempat-tempat, kegiatan-kegiatan, dan kondisi pikiran yang mengizinkan orang-orang beristirahat. Dalam penelitiannya, Balsari-Palsule menemukan perbedaan tipis antara hal-hal yang dianggap restoratif bagi orang-orang introvert dan ekstrovert. "Saya telah menemukan bahwa introvert dan ekstrovert melaporkan bahwa pergi makan siang dengan kolega mereka termasuk ke dalam hak restoratif, saat hari kerja yang padat. Baru ketika saya tanya-tanya lebih lanjut, ternyata introvert menganggap makan siang dengan satu kolega restoratif sedangkan ekstrovert menganggap kegiatan yang sama namun dengan tiga kolega restoratif. Selain itu, introvert dan ekstrovert menganggap olahraga lari sebagai kegiatan restoratif, namun ternyata introvert gemar berlari sendiri dan ekstrovert senang berlari dalam kelompok." Jadi apakah ekstrovert membutuhkan waktu restoratif juga? Ternyata tidak juga, menurut Balsari-Palsule. "Bagi ekstrovert yang telah menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam keadaan atau kondisi introversi dan harus bersikap di luar karakter mereka, saya membayangkan menambah waktu menyendiri akan menjemukan," ujarnya. "Di sisi lain, ekstrovert yang secara sengaja mencari waktu menyendiri mungkin lebih produktif dalam suasana bekerja. Waktu menyendiri dapat berarti waktu menghindar dari gangguan dan kekuatan-kekuatan yang diasosiasikan dengan kemampuan menjadi introspektif dan untuk memikirkan hal-hal sampai tuntas." Bukan sebuah kebetulan bahwa Rebecca Lynch berusia 34 tahun, pembuat "introjis"—yaitu emoji untuk introvert—menyebut diri sendiri sebagai "super-introvert." Namun dia tidak setuju dengan Balsari-Palsule, dan bilang bahkan kalaupun ekstrovert harus memaksa diri sendiri menjalani waktu menyendiri, mereka sebaiknya melakukan itu. "Saya rasa introvert ekstrem lebih sadar ketika mereka perlu berdiam diri dan menyendiri untuk beberapa saat, karena mereka secara fisik merasa capek berada di sekitar orang-orang. Sedangkan ekstrovert bisa melanjutkan aktivitas," ujarnya. "Namun waktu menyendiri sangat penting bagi semua orang; itulah saat kita berpikir paling mendalam, ketika kita menemukan ide-ide kreatif. Saya tahu orang-orang kreatif ekstrovert yang kesulitan dengan hal tersebut dan harus memaksa diri untuk menyendiri." Guru Bahasa Inggris Jack Dobson, 25 tahun, lebih mencari keseimbangan dari gaya hidupnya yang ekstrovert. "Saya membutuhkan banyak kontak sosial dalam hidup, dan bayangan berinteraksi dengan orang-orang yang saya kenal ataupun tidak, tidak mempengaruhi hidup saya. Oleh sebab itu, menjadi seorang ekstrovert bukan berarti kita tidak mungkin merasa letih berinteraksi—ini hanya berarti kita bisa menjalani lebih banyak aktivitas sosial sebelum sampai pada limit kita. Saya rasa kita semua butuh waktu untuk berefleksi dan melakukan hal-hal yang kita sukai. Saya menyukai menghabiskan waktu sendiri dan saya merasa hal tersebut memberikan kita kejernihan berpikir dan istirahat tenang. Meski begitu, saya juga merasa kalau kelamaan menyendiri bikin kangen berinteraksi sosial, dan kalau itu tidak terjadi, saya bisa merasa lumayan kecewa." Masyarakat kita cenderung menilai ekstrovert lebih tinggi, dan saat di sekolah, menjalani pekerjaan pertama atau perkuliahan (bagi yang kuliah), menghabiskan waktu sendiri sering dinilai membosankan atau malas, alih-alih penting untuk kesehatan mental kita. Namun menurut Robert de Vries, dosen sosiologi kuantitatif di University of Kent, kita semua harus bersikap lebih seperti ekstrovert daripada introvert. Dia menganalisis penelitian terdahulu dan menemukan bahwa ekstrovert cenderung lebih sukses dan 25 persen lebih mungkin mendapatkan pekerjaan dengan upah besar. "Beberapa penelitian yang kami ulas menemukan orang-orang yang ekstrovert saat remaja lebih mungkin berhasil dalam karirnya saat dewasa," ujarnya. "Orang-orang ekstrovert lebih percaya diri, mudah bersosialisasi, dan asertif. Lebih mudah menganggap kualitas-kualitas seperti ini mendongkrak performa di sekolah dan karir." Tentu saja, tak setiap saat kita butuh waktu menyendiri. de Vries bilang hal ini tergantung setiap individu dan kondisi mereka. "Sebagian besar penelitian akademik soal waktu menyendiri fokus pada sisi negatif, seperti kesepian dan kurangnya dukungan sosial," uajrnya. "Di sisi lain, ada banyak orang yang kewalahan karena terus-menerus berinteraksi," ujarnya.
Sampai penelitian ini terus dikembangkan, kita akan mencoba memilih yang terbaik dari dua dunia. Banyak dari kita kekurangan waktu istirahat karena "kita tidak bisa melakukan segalanya," namun mencari keseimbangan adalah langkah yang tepat. Kita bisa menjadi orang yang lebih segar dan lebih bahagia dalam pekerjaan—dan menemukan bahwa terkadang kita memilih tinggal di rumah saja pada akhir pekan.

Follow Jessica di Twitter.