FYI.

This story is over 5 years old.

Perlindungan Satwa

Bertemu Ratusan Buaya di Penangkaran Paling Menyedihkan Sepanjang Hidupku

Taman Buaya di Cikarang mengumpulkan ratusan satwa itu dalam kandang buruk dan sepi pengunjung.

Banyak kebun binatang di Indonesia mendatangkan kesedihan bagi pengunjung, alih-alih rasa suka cita. Kondisi buruk nasib satwa di bonbin Tanah Air berulang kali terekspos hingga ke luar negeri. Di Kebun Binatang Surabaya, kita tahu, sempat ramai diberitakan bagaimana hewan-hewannya mati akibat kelaparan serta malnutrisi. Tak heran jika bonbin Kota Pahlawan justru dijuluki kuburan para hewan oleh media asing. Kebun Binatang Bandung belum lama ini juga memperoleh sorotan buruk. Kelompok penyayang binatang internasional menerbitkan petisi, menuntut pemerintah kota segera menutup bonbin itu, dipicu video sedih seekor beruang madu kurus kering mengemis makanan pada pengunjung.

Iklan

Liputan-liputan media itu baru menyentuh permukaan saja dari bermacam persoalan perlindungan satwa di Indonesia. Lokasi penangkaran hewan yang sama menyedihkannya masih banyak lagi. Contohnya taman lumba-lumba di Bali, yang menggunakan kaporit untuk kolamnya membuat belasan mamalia lucu penghuninya buta. Lalu, tak perlu jauh-jauh, di dekat tempat tinggalku, Bekasi, terdapat penangkaran buaya yang entah kenapa harus ada di dunia ini. Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang ini menempatkan lebih dari 400 buaya dalam kandang mungil, berlapiskan semen, dan dipenuhi air keruh.

Begini, aku bukan pakar buaya. Belum tentu juga kondisi seperti itu jelek buat buaya toh? Setidaknya dari penglihatanku ketika berkunjung saat akhir pekan, kesannya sih tempat ini tidak terawat. Oke, karena rasanya ada yang engga beres, aku menelepon Femke den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN). Aku bertanya padanya, pernahkah mampir ke Taman Buaya Cikarang.

"Iya, aku juga sudah pernah ke sana," kata den Haas. "Taman itu berdiri sejak lama sekali. Aku ke sana 2006. Pengelolanya bahkan saat itu menjual daging, telur, dan kulit buaya untuk menambah pemasukan. Betul-betul menyedihkan."

Duh, parah beneran kalau begini. Ya sudah. Aku akhirnya terpikir membantu buaya-buaya di Cikarang. Aku masuk ke sana membawa satu karung penuh daging sapi serta ayam segar. Intinya, cukup beri makan buaya-buaya malang itu, lalu segera enyah. Seharusnya sih gampang ya. Pengelolanya juga pasti tidak akan marah.

Iklan

Dwima, sobat kentalku, ikut menemani menjalankan rencana mulia tersebut. Kami datang setelah Salat Jumat. Taman ini benar-benar kosong. Satu pengelola saja tidak terlihat. Ini ada yang jaga engga sih? Kami mudah saja langsung mendekati salah satu kandang terbesar. Supaya lebih lega, kami mencari tanda "dilarang memberi makan buaya", tapi memang tidak ada sama sekali. Yang ada cuma plang bertuliskan "dilarang melempar buaya dengan batu atau kaleng. Sakit tahu!"

Semua foto oleh Dwima Hamid

Intinya, kami boleh lah ya memberi makan snack buat reptil raksasa ini. Di kandang pertama yang kami datangi berukuran raksasa, setidaknya 300 ekor buaya berdesak-desakan di dalamnya. Hmm, kalau sebanyak ini jadi sulit dong memberi makan mereka tanpa membuat keributan. Sekeliling kandang adalah pagar besi, susah juga nih kabur kalau petugas sampai tahu saya memberi makan buaya. Sembunyi di dalam kandang, bareng buaya-buaya itu, sama juga bohong.

Oke, kami coba ganti sasaran. Kali ini kami menuju lokasi atraksi buaya. Di panggung yang sepi banget itu, pawang biasanya menggelar pertunjukkan saban akhir pekan, memasukkan kepala mereka ke mulut buaya yang menganga. Kadang buaya-buaya itu mereka gendong kayak anak anjing. Berat juga usaha cari nafkah ya.

Di lokasi atraksi, buayanya cuma enam ekor. Lebih kondusif untuk diberi makan. Aku segera melempar daging sapi ke buaya terdekat. Dia nonton daging itu jatuh, dipandangi sebentar, dan… tetap bengong. Aduh, kayaknya buaya di sini sama sekali sedang tidak lapar.

Iklan

Baiklah, aku keliling lagi menuju kandang berikutnya. Kandangnya tidak terkunci. Aku membuka pintu lalu masuk mendekat buaya-buaya yang sedang berjemur di kolam (oke memang ini tindakan tolol). Aku melempar satu potong daging ayam ke kolam. Lagi-lagi buayanya anteng saja. Jadi aku berusaha menarik perhatian mereka pakai tongkat kayu (iya, ini juga tolol). Gara-gara suara tongkat, satu penjaga taman buaya memergoki kami. Duh, mampus. Ketahuan. Aku sudah pasrah diusir oleh si penjaga. Rupanya, boro-boro diusir, saya justru diberi satu ekor ayam hidup. Sekali lagi, hidup-hidup. Dia menjelaskan pada saya, buaya tidak doyan daging yang sudah diolah. Buaya adalah reptil predator purba dengan bobot bisa mencapai 1.000 kilogram. Makan daging olahan tampaknya memang bukan selera mereka.

Oke, aku menjalankan saran si penjaga Taman Buaya. Kulempar ayam hidup tadi ke kolam. Dalam waktu sekian detik, ayam itu segera disergap mulut buaya, lalu diseret dalam air. Prosesnya cepat sekali. Aku merasa bersalah karena memberi makan ayam hidup. Hanya saja, harus diakui bila pemandangan itu memang menakjubkan.

Beberapa saat kemudian, si penjaga tidak sekadar menawarkan ayam hidup. Dia menjual buaya hidup. Ya, aku tidak salah dengar. Harganya mulai dari Rp1 juta untuk anakan buaya, plus tambah Rp2 juta khusus agar kita memperoleh semua surat resmi. Segala prosesnya bisa dia atur, aku tinggal terima bersih. Brengsek juga sih. Setidaknya aku dan kawanku tidak ditawari daging buaya, soalnya itu lebih brengsek lagi.

Iklan

Hmm, oke, Taman Buaya di Cikarang ini benar-benar menyedihkan. Kenapa sih tempat berisi binatang malah kondisinya seburuk itu di Indonesia? Kenapa engga ditutup saja oleh pemerintah?

Berdasarkan UU Keanekaragaman Hayati Nomor 5 Tahun 1990, semua orang yang menangkap, memelihara, hingga berburu hewan dilindungi akan dipenjara atau didenda. "Tapi hukum ini sudah terlalu kuno dan perlu diperbarui lagi karena definisi pelanggarannya sudah banyak berubah," kata den Haas. Sekarang yang banyak terjadi adalah praktik teledor kebun binatang milik pemerintah ataupun swasta, yang sudah memiliki izin resmi dari Kementerian Kehutanan. Pengelola memperlakukan binatang mereka secara tidak layak. "Standar perlindungan ini di Indonesia tidak jelas untuk setiap spesies. Sampai-sampai, jika ada hewan di bonbin meminum air bersih, itu sudah bisa dianggap kemewahan," imbuhnya.

JAAN sudah berusaha menyusun RUU Perlindungan Hewan agar masalah di Surabaya, Bandung, Cikarang, dan banyak lokasi kebun binatang lainnya tak lagi terjadi. Masalahnya perubahan ini butuh kemauan dari pengusaha kebun binatang. Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia dikenal tak banyak melakukan reformasi serius untuk melindungi hak para satwa.

"Para pemilik kebun binatang menguatamakan profit di atas segalanya," kata den Haas. Jangan heran, jika kondisi di Cikarang tidak akan banyak berubah. Taman buaya itu dimiliki oleh perorangan. JAAN memperkirakan situasi para buaya akan seperti itu terus sampai kapanpun, tanpa ada intervensi pemerintah.

"Yang dibutuhkan segera di Indonesia adalah adanya tim independen untuk memeriksa standar kelayakan hidup hewan di penangkaran dan juga kebun binatang."